Kembali Ke Dasar 10.000 Jam

Countdown

Sabtu, 14 Maret 2015

Niat dan Implikasi Hukum

Kaidah Pertama: al-Umu>r bi Maqa>s}idiha>
Makna Kaidah
Kaidah al-Umu>r bi Maqa>s}idiha> bermakna bahwa sesungguhnya hukum yang merupakan akibat dari sebuah perbuatan disesuaikan dengan maksud yang terkandung dari perbuatan tersebut. Dengan kata lain semua perbuatan ataupun tingkah laku Mukallaf baik perkataan ataupun perbuatan dibedakan sesuai dengan maksud yang terkandung di dalamnya. Apabila seseorang bermaksud melakukan atau meninggalkan sesuatu karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan pahala. Tetapi sebaliknya, jika karena tujuan maksiat kepada Allah, maka akan mendapatkan siksaan.
Kata “umu>r” adalah bentuk jamak dari kata “amr” yang bermakna al-fi‘l atau perbuatan yaitu aktifitas anggota tubuh yang mencakup perkataan dan perbuatan, sebab Perkataan juga bagian dari gerakan lidah, sebagaimana halnya wajib, mandu>b, haram, makruh, dan mubah.
Berdasarkan hal di atas, Kaidah ini dapat dipahami bahwa hukum perbuatan sejalan dengan maksud yang terkandung, dan akan dibedakan sesuai dengan tujuan di balik itu.
Apabila seseorang meninggalkan hal-hal yang diharamkan karena mengikuti larangan yang terdapat syariat, maka dia akan mendapatkan pahala karenanya. Namun, jika seseorang meninggalkan hal yang dilarang itu karena tabiat atau kebiasaannya, misalnya karena benci tanpa memandang pada kewajiban untuk menjauhinya, maka perbuatan tersebut dianggap biasa dan tidak mendapatkan pahala.
Contoh: Allah swt. telah mengharamkan memakan bangkai kecuali dalam keadaan darurat, sesuai firman Allah Q.S. al-Maidah/5: 3"حرمت عليكم الميتة"  yang artinya “diharamkan atas kamu bangkai”. Apabila seseorang tidak memakan bangkai karena tidak suka atau jijik untuk memakannya, maka dia tidak mendapatkan pahala. Tetapi bila meninggalkannya karena ketaatan pada perintah Allah swt., maka dia mendapatkan pahala.
Oleh karena itu membeicarakan tentang hukum sebuah perbuatan terkait dengan maksud dan niat yang dikandung, karena sesungguhnya Fikih adalah ilmu yang membahas hukum sesuatu bukan zatnya
Dalil Kaidah:
Dalil yang mendasari kaidah ini adalah sabda Rasul saw. riwayat Bukhari dan sejumlah Imam yang lain, dari Umar bin Khattab, “Inama> al-A‘ma>l bi al-Niya>t” (setiap amalan tergantung niatnya).
Hadis di atas mengindikasikan aktifitas Mukallaf tidak dianggap oleh syariat, kecuali berdasarkan niatnya. Ketika niat itu baik dan sesuai, maka akan mendapatkan pahala. Tapi kalau niat itu buruk, maka akan mendapatkan dosa, interpretasi tadi berasal dari kalangan Syafi’iyah dan yang sependapat dengannya. Sedangkan Hanafiyah menganggap bahwa hadis itu bermakna, ‘sesungguhnya kesempurnaan amal itu tergantung pada niatnya’.
Pada hadis di atas terdapat id}ma>r atau kata yang hilang yang biasa disebut para ulama bahasa dengan dila>lah al-iqtid}a>. Adapun dila>lah al-iqtid}a adalah kata hilang yang bisa menyempurnakan perkataan.  Misalnya pada Q.S. Yusuf/12: 82 "وسأل القرية" pada ayat tadi terdapat kata yang hilang yaitu "اهل".
Ketika hukum terhadap perbuatan berdasarkan pada niat dan tujuan seseorang, maka sangat perlu menggali hakikat niat, sebab niat yang kemudian menentukan kebenaran sebuah perbuatan, dan membedakan apakah sebuah perbuatan merupakan ibadah atau hanya kebiasaan.
Makna Niat
Niat menurut bahasa adalah keinginan kuat pada satu hal. Keinginan kuat tersebut diikuti dengan perbuatan. Niat dalam menurut terminologi para fukaha  adalah keinginan taat dan mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya.
Pembahasan niat masuk hampir diseluruh ranah bab-bab fikih, meskipun tidak secara keseluruhan. Ringkas kata kaidah ini singkat namun sarat makna, memiliki makna umum yang luas mencakup semua yang bersumber dari manusia baik berupa perbuatan dan perkataan. Bahkan lebih luas maknanya dari amalan duniawi dan ukhrawi, bernilai pahala atau tidak bernilai. Kata al-umu>r berbentuk umum hal ini terlihat dengan adanya "ال" al-jinsiyah yang menunjukan sebuah kata umum mencakup banyak hal tanpa batas. Lafaz ‘maqa>siduha>’ juga bermakna universal sebab bersandar pada damir  yang umum.
Tujuan Niat: yang dimaksud niat dalam ibadah dua hal:
Pertama; membedakan ibadah dan adat
Misalnya; Menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa; bisa karena berobat, karena memang tidak butuh, atau karena mengharapkan pahala. Mandi dan berwudhu bisa dilakukan dengna alasan kebersihan, mendinginkan suhu badan atau karena ibadah. Memberikan harta karena hibah, tujuan duniawi, atau ibadah kepada Allah swt. Menyembelih hewan terkadang dilakukan karena ingin makan maka hukumnya menjadi mubah atau mandu>b, atau karena ingin berkurban sebagai bentuk ibadah, atau menyembelih dengan alasan mendekatkan diri pada penguasa maka hukumnya haram. Dan hanya niat yang menjadi pembeda seluruh perbuatan tersebut.
Kedua; membedakan tingkatan ibadah. Beribadah kepada Allah swt. terkadang sifatnya wajib, sunah, atau mubah, dan yang dapat membedakan tingkatan tadi hanya niat, maka wudu, mandi, salat dan puasa terkadang wajib, sunah atau hanya nazar, dan yang membedakan tingkatannya hanya niat.
Siapa yang ingin melaksanakan salat maka wajib ditentukan jenis salat apa yang dilaksanakan; apakah fardu, sunah, ada>an, qada>a, duhur dan ashar.
Ketika ibadah itu terbatas waktunya dari segi pelaksanaannya atau wa>jib mud}ayyaq seperti pelaksanaan puasa Ramadan, sebab pada wa>jib mud}ayyaq ruang pelaksanaan ibadah menjadi sempit. Ketentuan niat pada ibadah seperti ini,  ulama fikih berbeda-beda menanggapinya.
Hanafiyah mengatakan, sesungguhnya penetuan niat tidaklah menjadi syarat. Dengan niat ibadah saja sudah cukup. Karena menentukan kembali pada hal yang sudah tertentu adalah sia-sia.
Golongan hanabilah berbeda pendapat dalam penentuan niat. Sedangkan  Syafiiyah berpendapat, disyaratkan penentuan niat untuk membedakan Ramadan dari qada>, nazar, kaffarah, dan fidyah walaupun Ramadan juga berbeda.
Seperti yang telah dipahami niat adalah tujuan yang berkolaborasi antara ibadah satu dan lainnya, yaitu tujuan ada pada kedua ibadah itu. Maka cukup dengan niat ibadah saja ketika tidak ada kemiripan dengan ibadah yang lain. Dengan kehadiran niat itu saja telah membedakan keduanya. Dan hanya dengan niat adat menjadi sebuah ibadah
Adapun ketika ada kemiripan dengan ibadah lainnya, maka perlu ditambahkan syarat penentuan niat. Misalnya, salat berbeda-beda jenis wajibnya, maka perlu ditentukan jenisnya agar dapat membedakan antara sunnah dengan wajib. Ketika sudah jelas tujuan dari ibadah itu, maka tidak perlu syarat tambahan. Ibadah puasa pada bulan Ramadan misalnya, ketika telah berniat puasa maka telah cukuplah hal tersebut. Dengan telah jelasnya keadaan itu hingga tidak ada lagi niat tambahan. Namun ketika berada di luar Ramadan maka pelaksanaan ibadah puasa Ramadan dengan niat qada>.
Beberapa hal yang tidak disyaratkan niat antara lain taharah, haji, umrah, zakat, dan kaffarah. Jika niatnya lain maka praktis ia melaksanakan ibadah yang berbeda.
Ibadah-Ibadah yang tidak disyaratkan Niat
a)      Apabila ibadah tersebut tidak ada kemiripan dengan ibadah yang lain, maka tidak membutuhkan niat sebab hanya sebuah bentuk ibadah saja. Diantara ibadah yang tidak membutuhkan niat, contohnya iman kepada Allah, pengetahuan, ketakutan, dan pengharapan kepadanya atau membaca al-Qur’an dan zikir-zikir, sebab ibadah tadi memiliki bentuk sendiri.
b)      Larangan; tidak membutuhkan niat karena hal itu sudah menjadi janji manusia. Tapi akan lebih baik kalau ia meninggalkan larangan itu karena Allah swt.
c)      Hal-hal Mubah tidak memerlukan niat, kecuali bila mengharapkan sebagai ibadah dengan meniatkan ketaatan, seperti makan, minum, tidur, bekerja dan nikah apabila diniatkan dengan benar seperti makan untuk memperkuat mencari rezki, melaksanakan ibadah, tidur di siang hari agar mendapat tenaga di malam hari untuk shalat malam, apabila semua hal-hal yang dibolehkan tadi diniatkan ibadah maka akan ada ganjaran di dalam pelaksanaannya.
Oleh sebab itu setiap perbuatan bisa menjadi ibadah, tetapi disyaratkan adanya tujuan berupa niat agar menjadi ibadah yang bernilai pahala. Hal tadi terkandung pada hadis Rasulullah saw. "انما الأعمال بالنيت,وانما لكل امرئ ما نوي", maka menetapkan niat pada hal-hal yang bersifat mubah, larangan atau adat kebiasaan merupakan syarat untuk mendapatkan ganjaran kebaikan dalam ibadah.
Hukum niat yang tidak berlandaskan perbuatan dan perbuatan yang tidak berlandaskan niat:
1.      Niat yang tidak dilandasi perbuatan.
Ketika niat tidak diikutkan dengan perbuatan, maka tidak menghasilkan sebuah hukum. Sebab niat melaksanakan perbuatan harus diikuti amalan nyata agar dapat bernilai hukum,  Contoh jika suami berniat dalam hati menceraikan istrinya, atau ingin menjual rumahnya, tapi kemudian tidak terucapkan melalui lidahnya maka aktifitas batin tersebut tidak menjadikannya sebuah hukum. Karena niat yang tidak dilandasi pelaksanaan nyata maka bukan bagian hukum syari’i.
2.      Perbuatan yang tidak dilandasi Niat.
Hal ini dapat dibedakan menjadi dua hal yaitu
(1). Ketika lafal itu jelas, maka tidak membutuhkan niat. Tapi hanya menghendaki pelaksanaan perbuatan, sebab lafal yang sudah nyata tidak membutuhkan niat lagi.
Contoh; ketika seseorang mengatakan saya menjual barang ini atau saya wasiatkan padamu barang ini, maka itu tidak membutuhkan niat, tapi dengan pelaksanaannya saja telah menetapkan hukum.
(2). Ketika lafal itu tidak jelas, maka hukum lafal tersebut disesuaikan dengan maksud pelakunya. Apabila lafal "البيع او الشراء"  menggunakan bentuk fi‘il al-mud{a>ri‘ seperti seorang pembeli atau penjual berkata "أبيع او أشتري" maka bila yang diinginkan dengan pembelian atau penjualan tersebut pada masa sekarang maka proses tersebut terlaksana, tetapi apabila lafal tersebut dimaksudkan untuk masa yang datang maka pembelian dan penjualan tersebut tidak terjadi. Oleh sebab itu berbedanya hukum disebabkan oleh perbedaan niat, dan apabila lafal yang digunakan tidak jelas atau samar-samar maka hukum disesuaikan dengan niat dan tujuannya.
Beberapa hal yang menjadi pengecualian dari kaidah di atas;
1.      Ketika seseorang mengambil barang orang lain tanpa izinnya dengan niat bercanda. Maka tetap dikategorikan sebagai pencurian. Hukum tidak memandang niat yang mengambil karena bercanda saja, tetapi sebuah perilaku pencurian.
2.      Ketika seseorang melakukan pekerjaan untuk orang lain dengan niat baik namun tanpa ijinnya, ketika terjadi kerugian dari pekerjaan itu, maka ia harus menanggungnya, meskipun terjadi diluar keinginannya. Oleh karena itu apabila seseorang mengambil uang orang yang sedang mabuk untuk menjaganya kemudian uang tersebut hilang, maka orang tersebut harus menggantinya sebab mengambil tanpa permberitahuan ke orang tersebut.
3.      Ketika menempati rumah seseorang tanpa ijin pemilik, maka ketika ia membawa benda dari rumah itu, dikategorikan sebagai pencuri.
4.      Penggunaan sebuah lafal yang bila diucapkan akan menimbulkan akibat seperti menghina dan menuduh orang lain dengan kata-kata jelas sebagai penghinaan, maka hal itu mendapatkan ganjaran walaupun tidak berniat menyakiti.
Semua hal-hal di atas tidak dapat mengubah hukum dengan berbedanya niat dan tujuan seseorang. Karena hukum itu terbentuk dari realisasi perbuatan.
Syarat-syarat Niat
Mengingat posisi niat merupakan bentuk ibadah, maka pada niat ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan bila syarat tersebut tidak dipenuhi maka tidak sah secara syariat. Syarat niat ada empat; Islam, tamyiz, memahami apa yang diniatkan, dan  tidak menafikan antara niat dan perbuatannya.
1.      Syarat pertama: Islam
Syarat pertama seseorang berniat adalah beragama Islam sebab niat merupkan ibadah, dan niat beribadah bukanlah untuk orang kafir yang tidak memenuhi syarat sahnya sebuah ibadah yaitu Islam dan Iman kepada Allah swt.
Namun menjadi pengecualian, ketika perempuan ahli kitab yang bersuamikan muslim, ketika ia suci dari haid atau nifas perlukah kemudian dia mandi dengan berniat?. Ulama berbeda pandangan tentang hal ini. Imam Syafi’i dan Ahmad menganggap dia wajib mandi, dan menyertakan niat agar halal bagi suami untuk melakukan hubungan, meskipun sang wanita ahli kitab ini bukanlah orang yang memenuhi syarat berniat, tetapi karena wajibnya mandi merupakan pemenuhan hak kepada suami maka wajib baginya. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan istri itu halal kepada suaminya hanya dengan berhenti darah haidnya dan tidak perlu dengan mandi.
Demikian pula sumpah orang kafir, sahkah sumpahnya?, dan kalau dia melanggar sumpahnya apakah mendapatkan kafarat, atau dalam kasus pembunuhan, wajibkah ia membayar kafarat?. Ulama berbeda pandangan tentang hal tersebut. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menganggap sumpahnya tidak sah, demikian pula ketika dia melanggar sumpahnya, dia tidak dikenakan kafarat termasuk pembunuhan yang bersalah. Hal ini karena kafarat merupakan ibadah, dan ibadah bukan untuk orang kafir. Allah swt. berfirman Q.S. al-Taubah: 12,   "انهم لا ايمن لهم" yang artinya “tidak ada sumpah bagi mereka (orang kafir)”. Sebagaimana tidak wajib pula orang kafir mendapatkan kafarat ketika membunuh.
Syafi’i dan Ahmad menganggap sah sumpah seorang kafir, dan ia tetap mendapatkan kafarat ketika melanggar sumpahnya. Namun harus dibarengi niat agar dapat dibedakan dengan ibadah.
2.      Syarat kedua: Tamyiz
Tamyiz bermakna kemampuan otak untuk mencerna pemahaman. Tidak sah ibadah anak kecil yang belum mumayiz dan juga orang gila. Hal ini, karena akal merupakan rangkaian syarat dari taklif atau beban syariat. Sebagaimana hadis Rasulullah saw., "رفع القلم عن الثلاثة : عن النائم حتي يستيقظ وعن الصبي حتي يبلغ وعن المجنون حتى يعقل" yang artinya “tiga hal yang tak mendapat dosa, pertama, orang yang tidur sampai dia terbangun, kedua, anak kecil sampai dia balig, dan ketiga, orang gila sampai dia normal”.
Anak yang telah mencapai usia tamyiz maka sah ibadahnya. Umurnya diperkirakan tujuh tahun atau disesuaikan dengan keadaan lingkungan, atau pengaruh sosial di sekitarnya. Dia telah mampu membedakan antara yang baik dan buruk, yang bermanfaat atau mudarat.
Cabang bahasan dari syarat ini; anak kecil, pemabuk, atau orang gila melakukan perbuatan pidana seperti membunuh apakah juga dikisas?. Hanafiah mengatakan, pembunuhan secara sengaja yang dilakukan oleh anak kecil atau orang gila maka merupakan kategori membunuh khata’ tanpa memandang anak kecil tersebut sudah mumayiz atau belum, wudunya orang mabuk batal karena mabuk, dan tidak ada kafarat bagi anak-anak dan orang gila apabila membunuh, sedangkan bagi orang mabuk tindak pidananya disamakan dengan orang sadar.
Sedangkan Syafi’iyah menetapkan pembunuhan secara sengaja pada anak kecil dan orang gila yang tidak mumayiz maka dikategorikan khata’. Namun ketika mereka telah memiliki tanda-tanda tamyiz, maka pembunuhan sengaja yang mereka lakukan tetap dikategorikan sengaja. Imam Syafi’i dan Malik berpendapat wajib kafarat bagi anak kecil atau orang gila ketika ia membunuh.
Hanabilah mengatakan, kesengajaan anak kecil melakukan kejahatan pidana tetap dihukumi sengaja bahkan menambahkannya dengan membayar diat, wudunya orang yang mabuk juga batal, meskipun mumayiz dan diserupakan seperti orang sadar dalam perbuatan dan perkataan, menurut pendapat paling kuat dalam mazhab
3.      Syarat Ketiga: Pemahaman pada Niat
Ini berarti mengetahui dengan baik hukum dari niat yang diutarakan wajib atau sunnah, ibadah atau tidak. Siapa yang tidak mengetahui fardu salat dan wajib wudhu, maka tidak sah ibadahnya. Namun kalau ia tidak tahu wajib dari beberapa sunah yang ada, maka tetap sah selama ia tidak niat sunnah pada yang fardu.
Pengecualian seperti ihram pada waktu haji. Ketika ragu tentang lokasi ihram, dan mengikuti apa yang dilakukan orang lain dalam ibadah haji, maka sah ibadahnya. Seperti yang dilakukan oleh Ali bin Abi Talib ketika ihram pada tempat di mana pernah Rasulullah saw. juga ihram. Sementara dia tidak mengetahui kejelasan hal itu, dan pada gilirannya disahkan oleh Rasulullah saw.
Adapun ibadah selain haji, tidak sah tanpa pengetahuan akan hal yang diniatkan. Perbedaan ini karena dalam ibadah haji, siapa yang memasuki rangkaian ibadah haji tidak rusak haji seseorang bahkan dengan hal yang paling merusak sekalipun yaitu jimak. Suami mengatakan kepada istrinya, saya menalakmu seperti talak yang dilakukan Zaid, sementara dia tidak tahu jumlah talak disampaikan oleh Zaid. Atau mengatakan saya menjual seperti yang telah dijual Zaid dan dia tidak tahu ukuran yang telah dijual oleh Zaid. Kedua contoh ini tidak sah karena ketidaktahuan dan tidak adanya pengetahuan tentang kondisi dan jumlah.
4.      Syarat keempat; Tidak Adanya mana>f\ antara niat dan yang diniatkan.  
Yang dimaksud dengan mana>f adalah aktfitas lain yang merusak nilai yang diniatkan. Misalnya, seseorang yang telah berniat ibadah namun murtad, maka niatnya itu batal dan tidak dianggap sebagai ibadah.
Termasuk mana>f  adalah menukar niat, apabila menukar niat wajib yang satu dengan niat wajib lainnya maka tidak ada satupun yang terjadi dari keduanya, begitupula menukar niat wajib dan menggantinya dengan sunah, atau ragu-ragu dan tidak tegas pada awal ia berniat, dan atau tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan niatnya, baik secara akal, syariat dan adat.
Contoh yang ragu dalam niatnya; ketika berniat wudu untuk melaksanakan salat, namun dia tidak laksanakan salat maka tidak sah niatnya.
Contoh ketidakmampuan dalam melakukannya; berniat wudu untuk melaksanakan salah id, tapi saat ini masih berada di bulan Muharram, atau ingin tawaf tapi tinggal di Syam, atau masih berada di Kairo, maka dalam kebolehannya terdapat perbedaan. Pendapat terkuat menyebutkan tetap sah wudunya, karena niat yang mustahil dilaksanakan bukan bagian dari membatalkan wudu. Pengecualian pada beberapa hal, antara lain;
1.      Siapa yang memiliki kewajiban berpuasa wajib, namun tidak tahu itu Ramadan, nazar, atau kafarat, sedang dia berniat puasa wajib saja, maka telah memadai hal itu. Seperti ketika seseorang lupa melaksanakan salah satu salat yang lima, kemudian dia laksanakan semua salat, tetap sah ibadahnya meskipun terjadi pengulangan.
2.      Siapa yang ragu, Imam akan salat qasar atau tidak, namun ia berniat kalau Imamnya qasar saya pun qasar, kalau tidak, saya pun demikian. ketika imam qasar maka niat seperti ini tetap sah.
3.      Orang yang berniat ihram berkata, seandainya Zaid ihram, maka sementara ini saya juga ihram. Zaid melaksanakan ihram diapun melaksanakannya, maka tetap sah niat orang tadi.
Syarat Ibadah Diterima dan Mendapat Nilai Pahala
Tujuan dari sebuah ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah swt. dan meminta keridaannya. Adapun tujuan dari sebuah niat adalah membedakan ibadah dan adat, tetapi dalam niat ada hal yang sangat penting sebuah syarat agar ibadah tersebut kemudian bernilai pahala, syarat tersebut adalah keikhlasan, Yaitu yang didasarkan karena mengharapkan ridha Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt. Q.S. al-Bayyinah/98: 5 "وما أمروا الا ليعبدوا الله محلصين له الدين حنفاء" yang artinya (mereka tidak diperintahkan kecuali beribadah kepada Allah penuh keihklasan..).
Dalam niat juga tidak dibolehkan ada hal yang menyekutukan Allah swt. karena akan membuyarkan semua amalan ibadah. Pada dasarnya niat itu tidak dapat diwakilkan karena merupakan rahasia ibadah. Namun, dikecualikan jika yang diwakilkan dalam hal perbuatan. Misalnya menggantikan puasa orang yang telah meninggal, atau menyembelih hewan kurban.
Waktu Pelaksanaan Niat
Pada dasarnya niat itu letaknya di awal ibadah. Tetapi boleh didahulukan pada taharah dan salat dengan jarak waktu yang singkat, pendapat ini diperpegangi oleh Hanafiyah, Hanabilah, imam Amidi dari golongan Syafi’iyah dan Malikiyyah. Karena niat di awal akan terus ada sampai dimulainya sebuah ibadah, seperti pada puasa apabila tidak diganti dengan niat selainnya.
Ulama yang lain menegaskan niat itu harus bergandengan dan bersamaan dengan ibadah yang dilakukan, baik taharah atau pun salat ketika melakukan takbiratul ihram.
 Pembayaran zakat karena adanya uzur, boleh didepankan niatnya menurut empat mazhab. Selanjutnya sebagian Syafi’iyah, dan Hanafiyah wajib dilaksanakan niat itu ketika penyerahan zakat ke Imam, atau ke mustah}iq tidak boleh didahulukan, tetapi pendapat pertama lebih kuat.
Niat pada puasa Ramadan wajib dilaksanakan pada malam harinya menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. Bahkan tidak sah puasanya ketika niat itu bersamaan pada waktu fajar tiba.
Hanafiyah tidak mewajibkan niat puasa Ramadan pada malam hari. Bahkan ketika niat itu ada pada saat fajar, atau setelah fajar sampai sebelum tengah hari, maka dibolehkan hal itu sebagai bentuk keringanan bagi mukalaf pada semua jenis puasa.

Malikiyah menegaskan wajib mendahulukan niat sebelum masuk fajar, baik puasa wajib maupun sunah. Berbeda dengan niat haji, karena niatnya itu ketika pelaksanaan ihram menurut mayoritas Ulama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar