Kaidah Pertama: al-Umu>r bi
Maqa>s}idiha>
Makna Kaidah
Kaidah al-Umu>r
bi Maqa>s}idiha> bermakna bahwa sesungguhnya hukum yang merupakan
akibat dari sebuah perbuatan disesuaikan dengan maksud yang terkandung dari perbuatan
tersebut. Dengan kata lain semua perbuatan ataupun tingkah laku Mukallaf baik
perkataan ataupun perbuatan dibedakan sesuai dengan maksud yang terkandung di
dalamnya. Apabila seseorang bermaksud melakukan atau meninggalkan sesuatu
karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan pahala.
Tetapi sebaliknya, jika karena tujuan maksiat kepada Allah, maka akan
mendapatkan siksaan.
Kata “umu>r”
adalah bentuk jamak dari kata “amr” yang bermakna al-fi‘l atau
perbuatan yaitu aktifitas anggota tubuh yang mencakup perkataan dan perbuatan, sebab
Perkataan juga bagian dari gerakan lidah, sebagaimana halnya wajib, mandu>b,
haram, makruh, dan mubah.
Berdasarkan
hal di atas, Kaidah ini dapat dipahami bahwa hukum perbuatan sejalan dengan maksud
yang terkandung, dan akan dibedakan sesuai dengan tujuan di balik itu.
Apabila
seseorang meninggalkan hal-hal yang diharamkan karena mengikuti larangan yang
terdapat syariat, maka dia akan mendapatkan pahala karenanya. Namun, jika
seseorang meninggalkan hal yang dilarang itu karena tabiat atau kebiasaannya,
misalnya karena benci tanpa memandang pada kewajiban untuk menjauhinya, maka perbuatan
tersebut dianggap biasa dan tidak mendapatkan pahala.
Contoh:
Allah swt. telah mengharamkan memakan bangkai kecuali dalam keadaan darurat, sesuai
firman Allah Q.S. al-Maidah/5: 3"حرمت
عليكم الميتة" yang artinya “diharamkan atas kamu bangkai”. Apabila
seseorang tidak memakan bangkai karena tidak suka atau jijik untuk memakannya,
maka dia tidak mendapatkan pahala. Tetapi bila meninggalkannya karena ketaatan
pada perintah Allah swt., maka dia mendapatkan pahala.
Oleh
karena itu membeicarakan tentang hukum sebuah perbuatan terkait dengan maksud
dan niat yang dikandung, karena sesungguhnya Fikih adalah ilmu yang membahas
hukum sesuatu bukan zatnya
Dalil Kaidah:
Dalil
yang mendasari kaidah ini adalah sabda Rasul saw. riwayat Bukhari dan sejumlah Imam
yang lain, dari Umar bin Khattab, “Inama> al-A‘ma>l bi al-Niya>t”
(setiap amalan tergantung niatnya).
Hadis di
atas mengindikasikan aktifitas Mukallaf tidak dianggap oleh syariat, kecuali berdasarkan
niatnya. Ketika niat itu baik dan sesuai, maka akan mendapatkan pahala. Tapi
kalau niat itu buruk, maka akan mendapatkan dosa, interpretasi tadi berasal
dari kalangan Syafi’iyah dan yang sependapat dengannya. Sedangkan Hanafiyah
menganggap bahwa hadis itu bermakna, ‘sesungguhnya kesempurnaan amal itu
tergantung pada niatnya’.
Pada
hadis di atas terdapat id}ma>r atau kata yang hilang yang biasa
disebut para ulama bahasa dengan dila>lah al-iqtid}a>. Adapun dila>lah
al-iqtid}a adalah kata hilang yang bisa menyempurnakan perkataan. Misalnya pada Q.S. Yusuf/12: 82 "وسأل القرية" pada
ayat tadi terdapat kata yang hilang yaitu "اهل".
Ketika
hukum terhadap perbuatan berdasarkan pada niat dan tujuan seseorang, maka
sangat perlu menggali hakikat niat, sebab niat yang kemudian menentukan
kebenaran sebuah perbuatan, dan membedakan apakah sebuah perbuatan merupakan
ibadah atau hanya kebiasaan.
Makna Niat
Niat menurut
bahasa adalah keinginan kuat pada satu hal. Keinginan kuat tersebut diikuti
dengan perbuatan. Niat dalam menurut terminologi para fukaha adalah keinginan taat dan mendekatkan diri
kepada Allah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya.
Pembahasan
niat masuk hampir diseluruh ranah bab-bab fikih, meskipun tidak secara
keseluruhan. Ringkas kata kaidah ini singkat namun sarat makna, memiliki makna
umum yang luas mencakup semua yang bersumber dari manusia baik berupa perbuatan
dan perkataan. Bahkan lebih luas maknanya dari amalan duniawi dan ukhrawi,
bernilai pahala atau tidak bernilai. Kata al-umu>r berbentuk umum hal
ini terlihat dengan adanya "ال" al-jinsiyah yang
menunjukan sebuah kata umum mencakup banyak hal tanpa batas. Lafaz ‘maqa>siduha>’
juga bermakna universal sebab bersandar pada damir yang umum.
Tujuan Niat:
yang dimaksud niat dalam ibadah dua hal:
Pertama; membedakan
ibadah dan adat
Misalnya;
Menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa; bisa karena berobat, karena memang
tidak butuh, atau karena mengharapkan pahala. Mandi dan berwudhu bisa dilakukan
dengna alasan kebersihan, mendinginkan suhu badan atau karena ibadah.
Memberikan harta karena hibah, tujuan duniawi, atau ibadah kepada Allah swt.
Menyembelih hewan terkadang dilakukan karena ingin makan maka hukumnya menjadi
mubah atau mandu>b, atau karena ingin berkurban sebagai bentuk
ibadah, atau menyembelih dengan alasan mendekatkan diri pada penguasa maka
hukumnya haram. Dan hanya niat yang menjadi pembeda seluruh perbuatan tersebut.
Kedua; membedakan
tingkatan ibadah. Beribadah kepada Allah swt. terkadang sifatnya wajib, sunah, atau
mubah, dan yang dapat membedakan tingkatan tadi hanya niat, maka wudu, mandi,
salat dan puasa terkadang wajib, sunah atau hanya nazar, dan yang membedakan
tingkatannya hanya niat.
Siapa
yang ingin melaksanakan salat maka wajib ditentukan jenis salat apa yang
dilaksanakan; apakah fardu, sunah, ada>an, qada>a, duhur
dan ashar.
Ketika
ibadah itu terbatas waktunya dari segi pelaksanaannya atau wa>jib mud}ayyaq
seperti pelaksanaan puasa Ramadan, sebab pada wa>jib mud}ayyaq ruang
pelaksanaan ibadah menjadi sempit. Ketentuan niat pada ibadah seperti ini, ulama fikih berbeda-beda menanggapinya.
Hanafiyah
mengatakan, sesungguhnya penetuan niat tidaklah menjadi syarat. Dengan niat ibadah
saja sudah cukup. Karena menentukan kembali pada hal yang sudah tertentu adalah
sia-sia.
Golongan
hanabilah berbeda pendapat dalam penentuan niat. Sedangkan Syafiiyah berpendapat, disyaratkan penentuan
niat untuk membedakan Ramadan dari qada>, nazar, kaffarah, dan fidyah
walaupun Ramadan juga berbeda.
Seperti
yang telah dipahami niat adalah tujuan yang berkolaborasi antara ibadah satu
dan lainnya, yaitu tujuan ada pada kedua ibadah itu. Maka cukup dengan niat
ibadah saja ketika tidak ada kemiripan dengan ibadah yang lain. Dengan
kehadiran niat itu saja telah membedakan keduanya. Dan hanya dengan niat adat
menjadi sebuah ibadah
Adapun
ketika ada kemiripan dengan ibadah lainnya, maka perlu ditambahkan syarat
penentuan niat. Misalnya, salat berbeda-beda jenis wajibnya, maka perlu
ditentukan jenisnya agar dapat membedakan antara sunnah dengan wajib. Ketika
sudah jelas tujuan dari ibadah itu, maka tidak perlu syarat tambahan. Ibadah
puasa pada bulan Ramadan misalnya, ketika telah berniat puasa maka telah cukuplah
hal tersebut. Dengan telah jelasnya keadaan itu hingga tidak ada lagi niat
tambahan. Namun ketika berada di luar Ramadan maka pelaksanaan ibadah puasa
Ramadan dengan niat qada>.
Beberapa
hal yang tidak disyaratkan niat antara lain taharah, haji, umrah, zakat, dan kaffarah.
Jika niatnya lain maka praktis ia melaksanakan ibadah yang berbeda.
Ibadah-Ibadah
yang tidak disyaratkan Niat
a)
Apabila ibadah
tersebut tidak ada kemiripan dengan ibadah yang lain, maka tidak membutuhkan
niat sebab hanya sebuah bentuk ibadah saja. Diantara ibadah yang tidak
membutuhkan niat, contohnya iman kepada Allah, pengetahuan, ketakutan, dan
pengharapan kepadanya atau membaca al-Qur’an dan zikir-zikir, sebab ibadah tadi
memiliki bentuk sendiri.
b)
Larangan; tidak
membutuhkan niat karena hal itu sudah menjadi janji manusia. Tapi akan lebih
baik kalau ia meninggalkan larangan itu karena Allah swt.
c)
Hal-hal Mubah
tidak memerlukan niat, kecuali bila mengharapkan sebagai ibadah dengan
meniatkan ketaatan, seperti makan, minum, tidur, bekerja dan nikah apabila
diniatkan dengan benar seperti makan untuk memperkuat mencari rezki,
melaksanakan ibadah, tidur di siang hari agar mendapat tenaga di malam hari
untuk shalat malam, apabila semua hal-hal yang dibolehkan tadi diniatkan ibadah
maka akan ada ganjaran di dalam pelaksanaannya.
Oleh sebab itu setiap perbuatan bisa
menjadi ibadah, tetapi disyaratkan adanya tujuan berupa niat agar menjadi
ibadah yang bernilai pahala. Hal tadi terkandung pada hadis Rasulullah saw. "انما الأعمال بالنيت,وانما
لكل امرئ ما نوي", maka menetapkan niat pada hal-hal yang bersifat
mubah, larangan atau adat kebiasaan merupakan syarat untuk mendapatkan ganjaran
kebaikan dalam ibadah.
Hukum niat yang
tidak berlandaskan perbuatan dan perbuatan yang tidak berlandaskan niat:
1.
Niat yang tidak
dilandasi perbuatan.
Ketika
niat tidak diikutkan dengan perbuatan, maka tidak menghasilkan sebuah hukum.
Sebab niat melaksanakan perbuatan harus diikuti amalan nyata agar dapat
bernilai hukum, Contoh jika suami
berniat dalam hati menceraikan istrinya, atau ingin menjual rumahnya, tapi
kemudian tidak terucapkan melalui lidahnya maka aktifitas batin tersebut tidak
menjadikannya sebuah hukum. Karena niat yang tidak dilandasi pelaksanaan nyata
maka bukan bagian hukum syari’i.
2.
Perbuatan yang
tidak dilandasi Niat.
Hal
ini dapat dibedakan menjadi dua hal yaitu
(1).
Ketika lafal itu jelas, maka tidak membutuhkan niat. Tapi hanya menghendaki
pelaksanaan perbuatan, sebab lafal yang sudah nyata tidak membutuhkan niat
lagi.
Contoh;
ketika seseorang mengatakan saya menjual barang ini atau saya wasiatkan padamu
barang ini, maka itu tidak membutuhkan niat, tapi dengan pelaksanaannya saja
telah menetapkan hukum.
(2).
Ketika lafal itu tidak jelas, maka hukum lafal tersebut disesuaikan dengan maksud
pelakunya. Apabila lafal "البيع او الشراء" menggunakan
bentuk fi‘il al-mud{a>ri‘ seperti seorang pembeli atau penjual
berkata "أبيع
او أشتري"
maka bila yang diinginkan dengan pembelian atau penjualan tersebut pada masa
sekarang maka proses tersebut terlaksana, tetapi apabila lafal tersebut
dimaksudkan untuk masa yang datang maka pembelian dan penjualan tersebut tidak
terjadi. Oleh sebab itu berbedanya hukum disebabkan oleh perbedaan niat, dan
apabila lafal yang digunakan tidak jelas atau samar-samar maka hukum
disesuaikan dengan niat dan tujuannya.
Beberapa hal yang menjadi pengecualian
dari kaidah di atas;
1.
Ketika
seseorang mengambil barang orang lain tanpa izinnya dengan niat bercanda. Maka
tetap dikategorikan sebagai pencurian. Hukum tidak memandang niat yang
mengambil karena bercanda saja, tetapi sebuah perilaku pencurian.
2.
Ketika
seseorang melakukan pekerjaan untuk orang lain dengan niat baik namun tanpa
ijinnya, ketika terjadi kerugian dari pekerjaan itu, maka ia harus menanggungnya,
meskipun terjadi diluar keinginannya. Oleh karena itu apabila seseorang
mengambil uang orang yang sedang mabuk untuk menjaganya kemudian uang tersebut
hilang, maka orang tersebut harus menggantinya sebab mengambil tanpa
permberitahuan ke orang tersebut.
3.
Ketika menempati
rumah seseorang tanpa ijin pemilik, maka ketika ia membawa benda dari rumah itu,
dikategorikan sebagai pencuri.
4.
Penggunaan
sebuah lafal yang bila diucapkan akan menimbulkan akibat seperti menghina dan
menuduh orang lain dengan kata-kata jelas sebagai penghinaan, maka hal itu
mendapatkan ganjaran walaupun tidak berniat menyakiti.
Semua
hal-hal di atas tidak dapat mengubah hukum dengan berbedanya niat dan tujuan
seseorang. Karena hukum itu terbentuk dari realisasi perbuatan.
Syarat-syarat
Niat
Mengingat
posisi niat merupakan bentuk ibadah, maka pada niat ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi, dan bila syarat tersebut tidak dipenuhi maka tidak sah secara
syariat. Syarat niat ada empat; Islam, tamyiz,
memahami apa yang diniatkan, dan tidak
menafikan antara niat dan perbuatannya.
1.
Syarat pertama:
Islam
Syarat
pertama seseorang berniat adalah beragama Islam sebab niat merupkan ibadah, dan
niat beribadah bukanlah untuk orang kafir yang tidak memenuhi syarat sahnya
sebuah ibadah yaitu Islam dan Iman kepada Allah swt.
Namun
menjadi pengecualian, ketika perempuan ahli kitab yang bersuamikan muslim,
ketika ia suci dari haid atau nifas perlukah kemudian dia mandi dengan berniat?.
Ulama berbeda pandangan tentang hal ini. Imam Syafi’i dan Ahmad menganggap dia
wajib mandi, dan menyertakan niat agar halal bagi suami untuk melakukan
hubungan, meskipun sang wanita ahli kitab ini bukanlah orang yang memenuhi
syarat berniat, tetapi karena wajibnya mandi merupakan pemenuhan hak kepada
suami maka wajib baginya. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan istri itu halal kepada
suaminya hanya dengan berhenti darah haidnya dan tidak perlu dengan mandi.
Demikian
pula sumpah orang kafir, sahkah sumpahnya?, dan kalau dia melanggar sumpahnya
apakah mendapatkan kafarat,
atau dalam kasus pembunuhan, wajibkah ia membayar kafarat?. Ulama berbeda pandangan tentang hal tersebut. Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik menganggap sumpahnya tidak sah, demikian pula ketika dia
melanggar sumpahnya, dia tidak dikenakan kafarat
termasuk pembunuhan yang bersalah. Hal ini karena kafarat merupakan ibadah, dan ibadah bukan untuk orang kafir.
Allah swt. berfirman Q.S. al-Taubah: 12, "انهم
لا ايمن لهم" yang
artinya “tidak ada sumpah bagi mereka (orang kafir)”. Sebagaimana tidak wajib
pula orang kafir mendapatkan kafarat ketika membunuh.
Syafi’i
dan Ahmad menganggap sah sumpah seorang kafir, dan ia tetap mendapatkan kafarat ketika melanggar sumpahnya.
Namun harus dibarengi niat agar dapat dibedakan dengan ibadah.
2.
Syarat kedua: Tamyiz
Tamyiz bermakna kemampuan otak untuk mencerna
pemahaman. Tidak sah ibadah anak kecil yang belum mumayiz dan juga orang gila. Hal ini, karena akal merupakan
rangkaian syarat dari taklif
atau beban syariat. Sebagaimana hadis Rasulullah saw., "رفع القلم عن الثلاثة : عن النائم حتي يستيقظ
وعن الصبي حتي يبلغ وعن المجنون حتى يعقل" yang
artinya “tiga hal yang tak mendapat dosa, pertama, orang yang tidur sampai dia
terbangun, kedua, anak kecil sampai dia balig, dan ketiga, orang gila sampai dia
normal”.
Anak
yang telah mencapai usia tamyiz
maka sah ibadahnya. Umurnya diperkirakan tujuh tahun atau disesuaikan dengan
keadaan lingkungan, atau pengaruh sosial di sekitarnya. Dia telah mampu
membedakan antara yang baik dan buruk, yang bermanfaat atau mudarat.
Cabang
bahasan dari syarat ini; anak kecil, pemabuk, atau orang gila melakukan
perbuatan pidana seperti membunuh apakah juga dikisas?. Hanafiah mengatakan,
pembunuhan secara sengaja yang dilakukan oleh anak kecil atau orang gila maka merupakan
kategori membunuh khata’ tanpa
memandang anak kecil tersebut sudah mumayiz atau belum, wudunya orang mabuk
batal karena mabuk, dan tidak ada kafarat
bagi anak-anak dan orang gila apabila membunuh, sedangkan bagi orang mabuk
tindak pidananya disamakan dengan orang sadar.
Sedangkan
Syafi’iyah menetapkan pembunuhan secara sengaja pada anak kecil dan orang gila
yang tidak mumayiz maka
dikategorikan khata’. Namun ketika mereka telah memiliki tanda-tanda tamyiz, maka pembunuhan
sengaja yang mereka lakukan tetap dikategorikan sengaja. Imam Syafi’i dan Malik
berpendapat wajib kafarat bagi
anak kecil atau orang gila ketika ia membunuh.
Hanabilah
mengatakan, kesengajaan anak kecil melakukan kejahatan pidana tetap dihukumi
sengaja bahkan menambahkannya dengan membayar diat, wudunya orang yang mabuk juga batal, meskipun mumayiz dan
diserupakan seperti orang sadar dalam perbuatan dan perkataan, menurut pendapat
paling kuat dalam mazhab
3.
Syarat Ketiga:
Pemahaman pada Niat
Ini
berarti mengetahui dengan baik hukum dari niat yang diutarakan wajib atau
sunnah, ibadah atau tidak. Siapa yang tidak mengetahui fardu salat dan wajib wudhu,
maka tidak sah ibadahnya. Namun kalau ia tidak tahu wajib dari beberapa sunah
yang ada, maka tetap sah selama ia tidak niat sunnah pada yang fardu.
Pengecualian seperti ihram pada waktu haji.
Ketika ragu tentang lokasi ihram, dan mengikuti apa yang dilakukan orang lain
dalam ibadah haji, maka sah ibadahnya. Seperti yang dilakukan oleh Ali bin Abi
Talib ketika ihram pada tempat di mana pernah Rasulullah saw. juga ihram. Sementara
dia tidak mengetahui kejelasan hal itu, dan pada gilirannya disahkan oleh
Rasulullah saw.
Adapun
ibadah selain haji, tidak sah tanpa pengetahuan akan hal yang diniatkan.
Perbedaan ini karena dalam ibadah haji, siapa yang memasuki rangkaian ibadah
haji tidak rusak haji seseorang bahkan dengan hal yang paling merusak sekalipun
yaitu jimak. Suami mengatakan kepada istrinya, saya menalakmu seperti talak
yang dilakukan Zaid, sementara dia tidak tahu jumlah talak disampaikan oleh
Zaid. Atau mengatakan saya menjual seperti yang telah dijual Zaid dan dia tidak
tahu ukuran yang telah dijual oleh Zaid. Kedua contoh ini tidak sah karena
ketidaktahuan dan tidak adanya pengetahuan tentang kondisi dan jumlah.
4.
Syarat keempat;
Tidak Adanya mana>f\ antara niat
dan yang diniatkan.
Yang
dimaksud dengan mana>f adalah
aktfitas lain yang merusak nilai yang diniatkan. Misalnya, seseorang yang telah
berniat ibadah namun murtad, maka niatnya itu batal dan tidak dianggap sebagai
ibadah.
Termasuk
mana>f adalah menukar niat, apabila menukar niat
wajib yang satu dengan niat wajib lainnya maka tidak ada satupun yang terjadi
dari keduanya, begitupula menukar niat wajib dan menggantinya dengan sunah,
atau ragu-ragu dan tidak tegas pada awal ia berniat, dan atau tidak memiliki
kemampuan untuk melaksanakan niatnya, baik secara akal, syariat dan adat.
Contoh
yang ragu dalam niatnya; ketika berniat wudu untuk melaksanakan salat, namun
dia tidak laksanakan salat maka tidak sah niatnya.
Contoh
ketidakmampuan dalam melakukannya; berniat wudu untuk melaksanakan salah id,
tapi saat ini masih berada di bulan Muharram, atau ingin tawaf tapi tinggal di
Syam, atau masih berada di Kairo, maka dalam kebolehannya terdapat perbedaan. Pendapat
terkuat menyebutkan tetap sah wudunya, karena niat yang mustahil dilaksanakan
bukan bagian dari membatalkan wudu. Pengecualian pada beberapa hal, antara
lain;
1.
Siapa yang
memiliki kewajiban berpuasa wajib, namun tidak tahu itu Ramadan, nazar, atau kafarat, sedang dia berniat puasa wajib saja, maka telah
memadai hal itu. Seperti ketika seseorang lupa melaksanakan salah satu salat
yang lima, kemudian dia laksanakan semua salat, tetap sah ibadahnya meskipun
terjadi pengulangan.
2.
Siapa yang ragu,
Imam akan salat qasar atau
tidak, namun ia berniat kalau Imamnya qasar saya pun qasar, kalau tidak, saya pun demikian. ketika imam qasar maka
niat seperti ini tetap sah.
3.
Orang yang
berniat ihram berkata, seandainya Zaid ihram, maka sementara ini saya juga
ihram. Zaid melaksanakan ihram diapun melaksanakannya, maka tetap sah niat orang
tadi.
Syarat Ibadah Diterima
dan Mendapat Nilai Pahala
Tujuan
dari sebuah ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah swt. dan meminta
keridaannya. Adapun tujuan dari sebuah niat adalah membedakan ibadah dan adat,
tetapi dalam niat ada hal yang sangat penting sebuah syarat agar ibadah
tersebut kemudian bernilai pahala, syarat tersebut adalah keikhlasan, Yaitu
yang didasarkan karena mengharapkan ridha Allah swt. Sebagaimana firman Allah
swt. Q.S. al-Bayyinah/98: 5 "وما
أمروا الا ليعبدوا الله محلصين له الدين حنفاء" yang artinya (mereka tidak diperintahkan kecuali beribadah
kepada Allah penuh keihklasan..).
Dalam
niat juga tidak dibolehkan ada hal yang menyekutukan Allah swt. karena akan
membuyarkan semua amalan ibadah. Pada dasarnya niat itu tidak dapat diwakilkan
karena merupakan rahasia ibadah. Namun, dikecualikan jika yang diwakilkan dalam
hal perbuatan. Misalnya menggantikan puasa orang yang telah meninggal, atau
menyembelih hewan kurban.
Waktu
Pelaksanaan Niat
Pada
dasarnya niat itu letaknya di awal ibadah. Tetapi boleh didahulukan pada
taharah dan salat dengan jarak waktu yang singkat, pendapat ini diperpegangi
oleh Hanafiyah, Hanabilah, imam Amidi dari golongan Syafi’iyah dan Malikiyyah.
Karena niat di awal akan terus ada sampai dimulainya sebuah ibadah, seperti
pada puasa apabila tidak diganti dengan niat selainnya.
Ulama
yang lain menegaskan niat itu harus bergandengan dan bersamaan dengan ibadah
yang dilakukan, baik taharah atau pun salat ketika melakukan takbiratul ihram.
Pembayaran zakat karena adanya uzur, boleh
didepankan niatnya menurut empat mazhab. Selanjutnya sebagian Syafi’iyah, dan Hanafiyah
wajib dilaksanakan niat itu ketika penyerahan zakat ke Imam, atau ke mustah}iq
tidak boleh didahulukan, tetapi pendapat pertama lebih kuat.
Niat
pada puasa Ramadan wajib dilaksanakan pada malam harinya menurut Syafi’iyah dan
Hanabilah. Bahkan tidak sah puasanya ketika niat itu bersamaan pada waktu fajar
tiba.
Hanafiyah
tidak mewajibkan niat puasa Ramadan pada malam hari. Bahkan ketika niat itu ada
pada saat fajar, atau setelah fajar sampai sebelum tengah hari, maka dibolehkan
hal itu sebagai bentuk keringanan bagi mukalaf pada semua jenis puasa.
Malikiyah
menegaskan wajib mendahulukan niat sebelum masuk fajar, baik puasa wajib maupun
sunah. Berbeda dengan niat haji, karena niatnya itu ketika pelaksanaan ihram
menurut mayoritas Ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar