Kaidah ketiga
Makna kaidah : Kaidah ini mengandung
pengertian bahwa ketika mukallaf
mendapati kesulitan dalam menerapkan syariat, maka syariat
meringankannya dan mempermudah sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan.
“Al-masyaqqah” kesulitan menurut
etimologi adalah: kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran. Sebagaimana
terdapat dalam surah QS an-nahl ayat 7:
Terjemahnya:
“Dan ia memikul
beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya,
melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Maksud ayat ini adalah bahwa kalian
tidak akan sanggup menuju tempat (negeri) itu ,
kecuali dengan rasa lelah dan sukar. Maka jelaslah yang dimaksud dengan “al-masyaqqah”
pada ayat di atas adalah kelelahan, kesukaran (kesulitan). Dengan demikian
kesulitan itu bisa menjadikan sebab datangnya kemudahan.
Adapun
makna “al-masyaqqah” yang dimaksud dalam kaidah ini : bahwa hukum-hukum
yang dalam penerapannya menimbulkan
kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subjek hukum), maka syariat meringankannya
sesuai dengan ukuran kemampuannya sehingga mukallaf dapat melaksanakannya tanpa
harus meninggalkannya.
Al-tai>si>r menurut bahasa adalah kemudahan dan kelunakan.
Sebagaimana hadis nabi yang artinya
“sesungguhnya agama itu mudah, dan seseorang itu tidak akan mempersulit dirinya
melainkan akan terkalahkan. Maka berlaku luruslah, dekatilah (alquran &
sunnah), dan beritakanlah kabar gembira.
Adapun yang dimaksud dengan kesulitan itu merupakan sebab adanya
kemudahan. Yaitu kesulitan yang dihadapi mukallaf dalam melaksanakan hukum syariat.
Adapun kesulitan yang mukallaf tidak bisa terlepas dari pembebanannya adalah
jihad, hukum rajam bagi pezina, memerangi pemberontak/perusak maka hal-hal
seperti itu tidak bisa diringankan. Begitu juga kesulitan dalam melaksanakan
wudhu dan mandi ketika cuaca dingin dan kesulitan melaksanakan shalat dalam
cuaca panas dan dingin begitu juga shalat subuh, berpuasa di siang yang panas
dan pada waktu siang yang panjang, begitu juga kesulitan haji. Kesemua kesulitan
ini tidak berpengaruh pada jatuhnya kewajiban ibadah tersebut dan tidak ada
keringanan atasnya karena akan menghalangi kemaslahatan ibadah dan kedisiplinan
dalam beribadah.-
Sesungguhnya
kemudahan itu adalah dihilangkannya kesulitan bagi seorang mukallaf dalam melaksanakan hukum syariat. Dan tidak
semua kesukaran itu mendatangkan sebab adanya kemudahan (keringanan). Karena
setiap apa yang dilakukan oleh mukallaf itu dalam kehidupannya sering memiliki
kesulitan-kesulitan baik dalam mencari rezki, makanan
dll. Allah SWT memberikan kemudahan kepada hambanya dalam artian perbuatan itu sukar
lagi untuk dikerjakan. Seperti shalat lima waktu bagi orang yang dalam
perjalanan.
Namun terdapat pula Masyaqqah ‘azi>mah
(kesulitan yang sangat berat) dimana
sangat sempit untuk dilakukan, dan membuat kesulitan bagi
diri dan harta. Keringanan ini wajib dilakukan untuk menjaga jiwa, dan masyarakat. Kemaslahatan agama dan dunia lebih utama
daripada ancaman dalam keterlambatan mereka dalam beribadah.
Maka hukum yang dilakukan oleh mukallaf
yang dapat memberikan kesulitan pada diri dan hartanya atau darurat , yang disebabkan
oleh sakit dan miskin diringankan oleh syariat dan menggantinya dengan sesuatu
menurut kadar kesanggupan mukallaf, sehingga mereka dapat melaksanakannya
sesuai tuntutan agama.
Dalil-dalil
yang dapat memberikan keringanan dalam syariat.
Dalil tentang adanya kemudahan ini
berdasarkan al-quran, sunnah nabi dan ijma’ sahabat. Disyariatkannya keringanan
dalam Islam karena Allah SWT menurunkan hukum-hukumnya itu dengan segala bentuk
kemudahan. Dan inilah juga yang menjadikan dasar/pondasi syariat Islam “
apabila sesuatu itu sempit, maka perluaslah/longgarkan, demikian juga apabila
sesuatu itu luas/longgar maka sempitkanlah. Kaidah tersebut dikuatkan oleh
Syafi’i.
Imam asy-syatibi mengatakan: Bahwa
dalil tentang diangkatnya kesukaran pada umat ini mempunyai batas tertentu. Semua
yang melampaui batas, maka (hukumnya) akan berbalik kepada kebalikannya sebagaimana
yang dikatakan imam al-gazali dalam kitab ihyanya.
Kaidah kesulitan mendatangkan kemudahan
merupakan Kaidah usu>li>yyah dan Kaidah fiqhi>yyah yang mempunyai dasar yang jelas dari al-Qur’an, sunnah, dan ijma.
Adapun dalil tentang kaidah ini
berdasarkan al quran. Allah SWT berfirman:.
Terjemahnya:
…Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu… (al-baqarah
185).
Terjemahnya:
Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… (al-baqarah 286).
Terjemahnya:
…..
Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya.
beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong
Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir. (al-baqarah: 286)
Ayat – ayat di atas memberikan
pengertian bahwa Allah mensyariatkan kepada hambanya sesuatu yang mudah dan
ringan sehingga mukallaf dapat melaksanakan dengan leluasa. Ketika dalam
keadaan sempit (tidak luang) menjadi suatu kelonggaran untuk dilakukan. Adapun
dalil berdasarkan sunnah nabi : Rasulullah
bersabda: “ saya di utus dimuka bumi ini untuk memberikan keringanan dan kemudahan,…barang
siapa yang tidak mengikuti sunnahku maka bukan dari golonganku”. Rasulullah
bersabda: “sesungguhnya agama itu mudah, dan seseorang itu tidak akan
mempersulit dirinya melainkan akan terkalahkan. Rasulullah
bersabda: “sesungguhnya bagi kalian itu diberi kemudahan-kemudahan dan bukan
kesulitan”. Rasulullah
bersabda: “sesungguhnya Allah memberikan syariat pada agama itu suatu
kemudahan/keluasan dan tidak menjadikannya sempit”. Rasulullah
bersabda: “sesunguhnya Allah swt.
mengangkat pada diri hambaku kesalahan, kelupaan dan karena paksaan”.
Ibn hajar al asqalany mengatakan, bahwa
kemudahan dalam agama itu ada berdasarkan atas agama-agama sebelum Islam.
Karena Allah swt. menetapkan terhadap umat ini beban seperti beban umat
terdahulu.
Ijma dan para ulama sepakat bahwa tidak
bolehnya keringanan dalam urusan yang tidak dikenal di dalam agama, meskipun
hal tersebut terjadi untuk mendapatkan pertentangan atau perbedaan di dalam
syariat dan hal tersebut dihindari oleh syariat.
Disyariatkannya ruhsah (keringanan)
yang mana hal tersebut telah ditetapkan oleh agama seperti mengqasar salat lima
waktu dalam perjalan, berbuka bagi yang punya
halangan berpuasa, dan semua hal –hal yang haram diberikan keringanan disaat
darurat yang
demikian itu merupakan keringanan/kemudahan yang diberikan oleh mukallaf dalam
melaksankan syariat.
Pengertian Rukhsah :
Rukhsah menurut bahasa: berarti
kemudahan, keringanan atau memindahkan sesuatu yang sukar ke suatu yang lebih
mudah/gampang. Ruhsah ini ditujukan kepada mukallaf (orang yang diberi beban) ketika ragu dalam
melaksanakan perintah dan disana ada beban/kesukaran itu, maka Allah swt memberikan
rukhsah bagi mukallaf untuk meninggalkan
perbuatan yang dianjurkan. Seperti orang sakit yang dalam bulan ramadhan, diringankan
oleh Allah swt. untuk berbuka puasa dan menggantinya dihari lain.
Adapun rukhsah menurut istilah adalah:
sesuatu yang berubah dari perkara asal karena adanya halangan berdasarkan dalil
syar’i yang kuat.
Rukhsah berbeda dengan azi>mah, azi>mah
menurut bahasa berarti suatu ketetapan (keinginan yang kuat), menurut istilah: hukum yang ditetapkan berdasarkan hukum
syar’i, dalam keadaan tertentu. Atau sesuatu yang pada mulanya ditetapkan
(Hukum asal), tanpa adanya sebab pelarangan (pencegahan).
Perbedaan antara keduanya: rukhsah adalah apa yang sesuai dengan dalil syar’i
yang terbebas dari pertentangan dengan yang lebih kuat dan tidak dibolehkan
berbuat maksiat . Sedangkan azimah ialah apa yang sesuai dengan dalil syar’i yang
terbebas dari pertentangan dengan yang lebih kuat yang dibolehkan melakukannya
walaupun dalam keadaan maksiat.
Syariat memberikan rahmat pada mukallaf dalam melaksanakan hukum syariat dan
menggantinya sesuai ukuran
kesanggupannya sebagai keringanan baginya.
Inilah dasar ajaran agama dimana
syariat menjadikan orang yang sakit, orang yang dalam perjalanan, orang yang lupa dan tidak tahu apa-apa, sebagai bentuk keringanan
untuk
melaksanakan sesuatu yang telah diwajibkan oleh Allah swt. Begitu pula shalat
dan puasa diberikan keringanan oleh orang
yang mendapati halangan untuk itu, demikian juga syariat tidak mewajibkan
shalat jumat bagi mereka yang sakit dan dalam perjalanan jauh. Disyariatkannya
shalat qasar bagi para musafir. Disunnatkannya shalat duduk dan baring bagi
orang yang tidak sanggup berdiri dan duduk .
Bentuk-bentuk keringan dalan syariat
itu banyak, mencakup masalah ibadah, muamalat bahkan dalam, masalah
perkara-perkara. Dan semua yang berkaitan dengannya.
Sebagaimana yang dikatakan imam suyuti bahwa semua
yang tertera di atas memiliki keringanan-keringanan
untuk menjalananinya.
Pensyariatan ruhsah bagi mukallaf yang
mempunyai halangan-halangan baik yang timbul dari semula atau selainnya (halangan
yang datang belakangan)
Pertama
v Awa>rid Samawiyah
yang
menjadikan sebab diringankannya.
Yaitu
: anak-anak, orang tidak waras, pikun, lupa, tidur, al-igma> {(orang yang tidur
panjang), orang sakit, orang mati, haid, nifas.
1.
Anak anak menjadikan sebab
adanya tahfif (keringanan), jatuh baginya apa yang telah ditetapkan karena akal
adalah syarat diwajibkannya suatu kewajiban, sementara anak-anak belum berakal
sehat.
2.
Demikian juga penyakit pikun.
3.
Sama halnya sifat lupa Allah swt. memberi
kemaafan atas itu. Yang menjadikan orang lupa tidak berdosa, karena
kelupaannya.
4.
Demikian juga ketika dalam keadaan tidur, yang
dimana mereka tidak mampu melakukan apapun namun tidak menghalangi
kewajibannya. Kecuali tidur yang panjang maka tidak diwajibkan mengganti jika
tidurnya berlanjut sehari semalam.
5.
Orang yang dalam keadaan sakit
dianjurkan beribadah sesuai kemampuaanya.
6.
Wanita yang haid dan nifas
keduanya tidak dibebani kewajiban salat karena mempunyai halangan yaitu haid
dan nifas.
7.
Orang yang mati terputuslah
semua beban hukumnya didunia.
Kedua
v Awarid Muktasabah.
Awarid muktasabah (halangan yang
diperoleh). Seperti orang yang bodoh atau tidak tahu dalam keadaan perang
sehingga tidak berpindah, maka tidak diwajibkan untuk mereka yang tidak tahu
dalam hal itu. Dan akan menjadi wajib kembali ketika mereka sudah tahu dan
mengerti.
PEMBAGIAN
KAIDAH :
KESULITAN
MENDATANGKAN KEMUDAHAN
1.
Tidak wajibnya mengqada’ shalat
bagi orang haid, berbeda dengan puasa.
2.
Disyariatkannya jual-beli, untuk
jula-beli yang menyebutkan sifat barangnya. Dan larangan jual-beli yang tidak
diketahui.
3.
Disyariatkannya talaq bagi
mereka yang sudah tidak bisa bersama lagi, demikian juga disyariatkannya khulu’
dan rujuk sesuai pada masa iddahnya.
4.
Disyariatkannya memilih antar
kaffarah dan diyat, sebagai bentuk kemudahan bagi pelaku kriminal
dan yang dikriminali. Sebagaimana disyariatkan atas nabi musa qisas dan bukan
diyat. Dan disyariatkan kepada nabi isa diyat dan qisas.
5.
Tidak berdosanya seorang
mujtahid ketika berijtihad karena kesalahannya sebagai bentuk kemudahan bagi
mujtahid dalam perkiraannya.
6.
Tidak adanya kewajiban bagi
anak-anak dan orang gila, begitu juga tidak diwajibkannya perempuan terhadapat\
semua hal yang diwajibkan atas laki-laki. Seperti shalat berjamaah, shalat
jumat, jihad dan jizya, dan dibolehkannya memakai sutra dan emas bagi mereka
(perempuan).
Kaidah
pokok ini kemudian berkembang dan melahirkan kaidah-kaidah furu’ yang terbagi
dalam beberapa bagian:
1.
Ketika suatu
perkara telah menyempit, maka longgarkanlah, dan ketika perkara itu
longgar/luas, maka sempitkanlah.
Kaidah ini dimaksudkan, apabila ada
sesuatu halangan dalam suatu perkara, maka longgarkanlah dan permudahlah. Dan
apabila halanganya itu telah hilang maka kembalikan perkara itu sesuai dengan
hukum asalnya. Maksudnya adanya darurat pada seseorang ataupun kelompok, maka
dianjurkan untuk meringankan/melonggarkan perkara itu, sampai halangan itu
hilang dan hukum itu kembali seperti semulanya. Demikian sebaliknya apabila
sesuatu perkara itu longgar/mudah. Maka persempitlah. Inilah yang dimaksud
dengan kaidah apabila perkara itu luas maka persempitlah.
Dalil Kaidah
Allah swt memberikan keringan bagi
mukallaf yang dalam keadaan takut, maka dibolehkan bagi mereka untuk mengqasar shalat dan menggantinya diwaktu
lain, Firman Allah
Terjemahnya:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa
kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Qs Annisa:
ayat 113.
Sebagaimana juga dalil berdasarkan
sunnah nabi, rasulullah saw. telah melarang membagi hewan kurban itu diatas 1/3
bagian. Tatkala sesuatu perkara itu sempit ketika mendahulukan kaum fakir yang
berada dikota, dan ketika perkara itu melonggar maka kembalilah hukum perkara
hewan kurban itu seperti semula, maka
dibolehkan bagi mereka memanfaatkan hewan kurbannya sebagaimana sebelumnya.
Bagian – bagian
Kaidah:
1.
Bolehnya
melawan pencuri dan orang yang salim agar tidak menyebarkan kejahatannya
walaupun dengan membunuhnya.
2.
Bolehnya
menghindari kesulitan kepada yang meringankan
3.
Bolehnya
meminta kesaksian muzakki> dan Muhaddis\ dalam hal periwayatan.
4.
Diterimanya
kesaksian atas kelahiran anak untuk menjaga keturunan.
5.
Bolehnya
diterima kesaksian seorang wanita dan anak-anak dalam memilih pemimpin dan pada
tempat-tempat yang tidak didatangi seorang laki-laki untuk memenuhi hak-haknya.
2.
Kemudaratan – kemudaratan
membolehkan hal –hal yang dilarang
Kemudaratan menurut bahasa terambil dari kata id}tira>r yang
artinya ||kesukaran yaitu kebutuhan yang mendesak. Adapun mahz}u>ra>t
jamak mahz}u>r yaitu perbuatan yang dilarang
untuk dilakukan.
Oleh
karena itu apapun yang membawa kepada kemudaratan
yang membolehkan hal-hal yang dilarang, mesti dilakukan sesuai kadar
terangkatnya kemudaratan. Jika seseorang menghilangkan kesukarannya dengan
sesuatu yang dilarang maka tidak boleh meluaskan keharamannya bahkan
menguranginya sesuai kadar/ukuran terangkatnya kemudaratan tersebut,
sebagaimana kaidah yang berbunyi kemudaratan diukur sesuai kadar
kemudaratannya.
Dalil Kaidah
Terjemahnya:
…Padahal
Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya ……. (al-ana>m :
119)
Ayat di atas
merupakan landasan kaidah usu>li>yyah dan
kaidah fiqhi>yyah yang berkaitan dengan keringanan
dalam syariat. Rukhsah/Keringanan ada tiga macam:
1.
Bolehnya hal-hal yang dilarang
Allah swt. disaat darurat. Seperti makan bangkai disaat darurat sesuai kadarnya
untuk mencegah kebinasaan disaat kelaparan, makan daging babi dan lain-lain.
Hal-hal
yang haram tersebut dibolehkan disaat darurat sebagaimana firman Allah swt. “kecuali
apa yang terpaksa kamu memakannya” maksudya kelaparan yang menyebabkan kalian
memakannya, dan pengecualian dari keharaman tersebut dibolehkan.
2.
Rukhsah yang tidak jatuh keharamannya
dalam keadaan apapun. Maksudnya perbuatan tersebut tetap haram akan tetapi
keringanannya datang belakangan karena dalam keadaan darurat. Contohnya
mengatakan kata-kata kafir padahal hatinya beriman karena berada dalam paksaan.
3.
Perbuatan yang tidak dibolehkan
dalam keadaan apapun dan tidak ada keringanan atasnya. Contonya membunuh orang
muslim. Perbuatan ini tidak dibolehkan dan tidak terangkat dosanya walaupun
dalam keadaan terpaksa.
Oleh karena itu kemudaratan pada jenis
yang pertama, hukum perbuatanya hilang akan tetapi d}ama>nnya tetap
meskipun kemudaratan dengan memakan harta orang lain. Pada jenis yang kedua,
kemudaratan menghilangkan dosa namun sifat perbuatan dan d}ama>nnya tetap.
Jenis yang ketiga, tidak hilang perbuatan dosa, sifat dan d}ama>nnya.
Kaidah ad}}d}aru>ra>h
tubi>hul mahz\u>ra>t (kemudaratan membolehkan hal-hal yang
dilarang) tidak mencakup jenis yang ketiga karena tidak dibolehkannya rukhsah
dalam keadaan apapun sehingga jenis yang ketiga ini merupakan pengecualian dari
kaedah ini.
Bagian – Bagian Kaidah :
1.
Pemilik utang mengambil harta
dari orang yang diberi pinjaman utang tanpa sepengetahuannya karena tidak mau
melunasi pinjamannya.
2.
Mengucapkan kalimat kufur karena
terpaksa sementara hatinya beriman.
3.
Jika sesuatu yang haram menjadi
mayoritas dimana tidak terdapat harta yang
halal maka dibolehkan sesuai kadarnya.
4.
Jika kalian terpaksa membunuh
atau berzina maka hal tersebut tidak boleh dikerjakan karena akan menambah
kerusakan yang lainnya.
5.
Darah orang yang mati syahid
bersih oleh karena itu tidak dimandikan.
Bolehnya
shalat jumat dilakukan berulang karena sulitnya bertemu dalam satu tempat. Akan
tetapi kebolehan tersebut diukur sesuai kadar yang bisa menghilangkan kesulitan
tersebut. Jika kesulitan tersebut bisa terselesaikan dengan dua kali jumat maka
jangan menggenapkan menjadi tiga jumat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar