Kembali Ke Dasar 10.000 Jam

Countdown

Rabu, 25 Maret 2015

A.    Pengertian al-‘Urf  dan Tradisinya
Kata ‘urf  berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu ( عرف – يعرف ) sering diartikan dengan “al-Ma’ru>f” (المعروف) dengan arti: “sesuatu yang dikenal”. Kalau dikatakan فلان أولى فلانا عرفا (Si Fulan lebih dari yang lain dari segi ‘urfnya) maksudnya bahwa si Fulan lebih dikenal dibandingkan dengan yang lain. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian “diakui oleh orang lain”. Kata al-‘Urf  juga terdapat dalam al-Qur’an dengan arti “ma’ru>f” (معروف) yang artinya kebajikan (berbuat baik), seperti dalam Q.S. al-A’ra>f/7:199:[1] 
Terjemahannya:
“jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang bodoh.”[2]
 Adapun al-‘Urf  secara istilah adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perbuatan, atau keadaan meninggalkan, dan ia juga dinamakan sebagai adat.[3] Ulama berbeda pendapat tentang apakah al-‘Urf  dan adat adalah sama. Para ahli bahasa Arab ada yang menyamakan antara kata adat dan al-‘Urf , kedua kata itu mutara>dif (sinonim). Seandainya kedua kata itu dirangkaikan dalam suatu kalimat, seperti: “hukum itu didasarkan kepada adat dan al-‘Urf , tidaklah berarti kata adat dan  al-‘Urf  itu berbeda maksudnya meskipun digunakan kata sambung “dan” yang biasa dipakai sebagai kata yang membedakan antara dua kata. Karena kedua kata itu memiliki arti yang sama, maka dalam contoh tersebut, kata al-‘Urf  adalah penguat terhadap kata adat.[4]
Para ulama us}u>l al-Fiqh ada yang membedakan antara adat dengan al-‘Urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’  adat didefinisikan dengan:
الأمر المتكرر من غير علاقة عقلية
“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.”[5]
Definisi ini menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan buruk.[6]
Adapun al-‘Urf  menurut ulama us}u>l al-Fiqh adalah:
عادة جمهور قوم في قول أو فعل
“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.”[7]
Al-‘Urf  lebih umum daripada adat, al-‘Urf mencakup tentang perkataan dan perbuatan, sedangkan adat hanya terbatas pada perbuatan saja.[8] Namun sebagian ulama us}u>l al-Fiqh juga berpendapat bahwa adat itu lebih umum daripada al-‘Urf  yang hukumnya memiliki hubungan keterkaitan dengan akal, dan yang tidak memiliki hubungan keterkaitan dengan hukum akal. Contoh yang kebiasan yang berhubungan dengan hukum akal seperti bergeraknya cincin pada jari-jari, atau kebiasan-kebiasan yang alami seperti haid, hamil dan terjadinya musim panas dan dingin pada negara tertentu. Sedangkan contoh kebiasaan yang tidak berkaitan dengan hukum akal seperti, perkataan dan perbuatan yang bersumber dari satu orang ataupun lebih.[9]
Kata al-‘Urf  pengertiannya tidak melihat dari segi berulangkalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berdeda ini (dari sudut berulang-ulang kali dan dari sudut dikenal) yang menyebabkan timbulnya dua nama tersebut.[10]
Terjadinya perbedaan dalam memaknai al-‘Urf dan adat tidak terlepas dari segi penggunaannya dalam kehidupan masyarakat, al-‘Urf selalu digunakan untuk suatu jamaah atau golongan, sedangkan kata adat dapat digunakan untuk sebagian orang di samping berlaku pula untuk golongan. Apa yang telah biasa dilakukan seseorang, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai kebiasaan orang itu atau ada orang itu, namun tidak dapat dikatakan sebagai al-‘Urf orang itu. Dapat disimpulkan bahwa ulama yang berpendapat bahwa al-‘Urf dan adat adalah dua hal yang berdeda jika ditinjau dari segi pemaknaan secara bahasa, sedangkan ulama yang mengatakan bahwa al-‘Urf dan adat adalah dua hal yang sama, karena melihat keduanya dari segi penggunaannya sebagai dalil hukum, yaitu menjadikan al-‘Urf  sebagai landasan hukum.
B.    Macam-macam al-‘Urf
Pembagian atau macam-macam al-‘Urf dapat ditinjau dari beberapa segi:
1.      Al-‘Urf  ditinjau dari segi sebab dan hubungannya, dibagi menjadi dua macam:
a.       Al-‘Urf al-Qauli> atau al-‘Urf al-Lafz}i> (العرف القولي أو العرف اللفظي) adalah kebiasaan yang telah dikenal banyak orang yang berlaku dalam penggunaan kata-kata dan ucapan. Misalnya, ungkapan (الدابة), yang secara bahasa adalah segala sesuatu[11] yang merangkak di atas tanah. Namun sebagian orang mengkhususkan maknanya sebagai kuda dan sebagian lagi memaknainya sebagai himar.[12] Contoh lain, adalah kata (لحم)  yang artinya “daging”, baik daging sapi, ikan atau hewan lainnya. Pengertian umum lahmun juga mencakup daging ikan, seperti yang terdapat dalam al-Qur’an Q.S. al-Nahl/16:14:[13]
Terjemahannya:
“Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya,…”[14]
Namun dalam adat kebiasaan berbahasa sehari-hari dikalangan orang-orang Arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk “ikan”. Jadi, apabila ada seseorang bersumpah, untuk tidak memakan daging, tapi ternyata dikemudian hari ia memakan daging ikan, maka menurut adat masyarakat Arab, orang tersebut tidak melanggar sumpah.[15]
b.      Al-‘Urf al-Fi’li> atau al-‘Urf al-‘Amali> (العرف الفعلي أو العرف العملي), adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa mereka atau muamalah mereka. Contohnya, seperti transaksi jual beli dalam masyarakat yang dikenal dengan istilah al-Baiy’ al-Mu’a>t}a>h yaitu dengan cara mengambil barang dan membayar dengan uang tanpa adanya akad yang jelas. Jual beli dengan cara ini dibenarkan  dalam pandangan al-‘Urf.[16]
2.      Ditinjau dari segi cakupannya, al-‘Urf  dibagi menjadi dua macam:
a.       Al-‘Urf al-‘A<m (العرف العام) adalah kebiasaan yang berlaku secara umum diseluruh  masyarak dan diberbagai penjuru dunia. Seperti, penggunaan WC umum, atau permandian umum (kolam renang) yang memungut bayaran, orang hanya membayar seharga tariff masuk yang telah ditentukan tanpa memperhitungkan berapa banyak air yang dipakainya dan berapa lama ia menggunakan permandian tersebut.
b.      Al-‘Urf al-Kha>s} (العرف الخاص) adalah kebiasaan yang berlaku di daerah tertentu atau sekelompok orang ditempat tertentu dan pada waktu tertentu. Contohnya, kebiasaan dikalangan pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan. Pembayaran uang sewa tiap bulan atau tiap tiga bulan atau tiap tahun terhadap si penyewa rumah, memperbaharui akad sewa rumah, dan kebiasaan yang berlaku dikalangan pengacara hukum bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dia lakukan harus dibayar dahulu sebagian oleh kliennya, dan sebagiannya lagi dibayar setelah adanya keputusan hukum dari mahkamah pengadilan.[17]
3.      Ditinjau dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, al-‘Urf dibagi menjadi dua macam:
a.       Al-‘Urf al-S}a>hi>h (العرف الصحيح), adalah kebiasaan yang berlaku dimasyarakat yang tidak bertentangan dengan syara’, tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Contohnya, pada masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak perempuan dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
b.      Al-‘Urf al-Fa>sid (العرف الفاسد), adalah kebiasaan yang berlaku dimasyarakat namun bertentangan dengan syara’, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, menghidangkan khamar dalam suatu pesta, bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam perayaan-perayaan umum, dan segala bentuk kebiasaan yang bertentangan dengan syariat.[18]
C.    Kehujjahan al-‘Urf
Para ulama usu>l al-Fiqh sepakat bahwa al-‘Urf al-S}a>hi>h, yaitu yang tidak bertentangan dengan syara’, baik yang menyangkut al-‘Urf al-‘A<m dan al-‘Urf al-Kha>s}, maupun yang berkaitan dengan dengan al-‘Urf al-Lafz}i> dan al-‘Urf al-‘Amali>, dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.[19]
Dalil-dalil para ulama atas ke-hujjahan ­al-‘Urf :
Pertama, dari al-Qur’an, firman Allah Q.S. al-A’ra>f/7:99:[20]
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
Terjemahannya:
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta janganlah perdulikan orang-orang yang bodoh.”[21]
Dalam ayat ini, Allah swt.  menyuruh manusia untuk mengikuti ­al-‘Urf, meskipun sebenarnya dalam ayat ini, maksud dari al-‘Urf  adalah makna dari segi bahasanya yaitu perkara yang baik dan makruf, akan tetapi tidak menyalahi jika makna al-‘Urf  dalam ayat ini dikaitkan dengan makna ist}ila>hi>, karena makna bahasa lebih umum daripada makna ist}ila>hi>.[22]
Kedua, dari Hadis, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, dikatakan bahwa ketika Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, Nabi melihat penduduk setempat melakukan jual beli pesanan (al-Salam)[23]. Lalu Rasulullah saw. bersabda:[24]
مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
“Siapa yang melakukan jual beli salam pada kurma, maka hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya, dan tenggang waktunya.”[25]
Hadis di atas menunjukkan bolehnya jual beli al-Salam yang telah menjadi kebiasaan penduduk Madinah, sehingga para ulama memasukkannya sebagai kategori al-‘Urf.
Ketiga, ijmak, para ulama telah sepakat menggunakan al-‘Urf  yang tidak bertentangan dengan nas al-Qur’an dan sunnah sebagai dalil dalam menetapkan sebuah hukum.[26]
Keempat, qiya>s dan akal, bahwa para ulama telah menetapkan ke-hujjahan al-‘Urf  dengan dalil istiqra>  yaitu, bahwasanya jika seseorang menelusuri beberapa cabang-cabang syariat, maka akan didapati sebagian dari nas telah menetapkan kebiasaan-kebiasaan baik yang telah ada sebelum datangnya Islam. Seperti, jual beli ­al-Salam, al-‘Araya, dan al-Mud{a>rabah.[27] Dan segala sesuatu yang memiliki maslahah.[28]
Kesemua dalil di atas menunjukkan bahwa al-‘Urf adalah salah satu bagian yang oleh para ulama telah bersepakat menjadikannya sebagai hujjah dalam menetapkan sebuah hukum syariat.
D.    Syarat-syarat al-‘Urf
Para ulama usu>l al-Fiqh menyatakan bahwa al-‘Urf  baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Hendaklah al-‘Urf  itu yang berlaku secara umum, dan dilakukan oleh mayoritas masyarakat. Apabila kebiasaan itu ada yg berbeda dari biasanya, dan masyarakat yang melakukannya lebih minoritas daripada masyarakat yang tidak melakukannya, maka tidak terjadi al-‘Urf.[29]
2.      Hendaknya al-‘Urf  telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Maksudnya adalah, al-‘Urf  yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitan dengan ini terdapat kaidah us}u>liyyah yang menyatakan:
لاَ عِــــــبــــْرَةَ لِلــــــْعُرفِ الطَّا رِئ
Al-‘Urf  yang datang kemudian, tidak dapat dijadikan sandaran hukum terhadap kasus yang telah lama.”[30]
3.      Hendaklah al-‘Urf  tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi, karena nas ungkapan itu lebih didahulukan daripada diam. Jika dua orang yang melakukakn transaksi akad sepakat bahwa hal ini berdeda dengan apa yang berlaku di al-‘Urf, maka mereka melakukan sesuai dengan apa yang disepakati bukan dengan al-‘Urf. Sesuatu yang dilakukan secara al-‘Urf apabila kedua orang yang melakukan transaksi akad itu diam (tidak menemukan kejelasan dalam nas).[31] Karena ada kaidah yang mengatakan (لا عبرة للدلالة في مقام التصريح).
4.      Hendaklah al-‘Urf itu tidak bertentangan dengan nas syara’ dalam         al-Qur’an dan hadis, atau bertentangan dengan syariat-syariat yang sudah pasti, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung oleh nas itu tidak bisa diterapkan. Al-‘Urf  seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’, karena ke-hujjahan al-‘Urf bisa diterima apabila tidak ada nas yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi. Seperti, kebiasaan masyarakat yang menyuguhkan minuman memabukkan dalam pesta-pesta dan perhelatan-perhelatan umum.[32]
E.    Pengaruh al-‘Urf Terhadap Perubahan Hukum
Al-‘Urf  yang berubah-ubah tidak memiliki pengaruh untuk mengubah nas-nas syariat yang sudah pasti berlaku terhadap suatu perkara. Dan sesuatu yang sudah jelas hukumnya, dan telah ditetapkan oleh nas baik yang bersifat perintah dan larangan, itu tidak dapat dipengaruhi hukumnya oleh al-‘Urf. Seperti mengharamkan sesuatu yang sudah haram, adanya saling ridha dalam hal akad. Dan segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh syariat untuk kemaslahatan perorangan maupun kemaslahatan umum.
Adapun hukum-hukum yang bersifat ijtihadi> yang lahir dari proses qiya>s atau maslahah, atau yang didasari oleh qiya>s dan maslahah, adalah hal-hal yang bisa berubah oleh al-‘Urf. Seperti yang dikatakan dalam kaidah al-Fiqhiyyah:[33]
لا يـــنكر تـــغـــير الأحكـــام بــتغــير الأزمـــــــــان
“Tidak diingkari adanya perubahan suatu hukum, disebabkah oleh adanya perubahan zaman.”
Ibnu Abidin juga pernah berkata:
“karena melihat kedudukan al-‘Urf  bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, maka hukum yang dibangun atas dasar al-‘Urf  juga ikut berubah.”[34]
Di bawah ini adalah sebuah contoh fatwa ulama mutaakhkhiru>n yang berbeda dengan para ulama terdahulu:
“Para ulama mutakhkhiru>n telah berfatwa bolehnya mengambil upah atau bayaran terhadap majlis-majlis al-Qur’an, atau untuk para imam shalat, atau untuk para muadzzin dan segala bentuk yang berkaitan dengan hal-hal shalat, puasa dan haji. Fatwa ini berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh ulama-ulama terdahulu. Apabila pemberian upah tidak diberlakukan terhadap para pengajar-pengajar (agama), dan para da’i yang bertugas menyebarkan syiar agama, dan mereka lebih menyibukkan diri untuk mencari upah dari perdagangan, pabrik, dan pertanian, maka dipastikan ilmu-ilmu al-Qur’an akan hilang dan syiar-syiar Islam akan punah.”[35]
Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa, segala bentuk hukum yang bersifat asa>siyyah dan telah ditetapkah oleh nas-nas syariat, itu tidak dapat dipengaruhi oleh perubahan hukum al-‘Urf. Berbeda dengan hukum yang bersifat ijtihadi> yang dibangun atas dasar qiya>s  dan maslahah, adalah bentuk hukum yang bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman.



[1]Amir Syarifuddin, Us}u>l Fiqh, Juz II (Cet. I; Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 363.
[2]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya  (Surabaya: Fajar Mulya, 2002), h. 305.
[3]Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Us}u>l al-Fiqh  (Cet. VIII; Cairo: Maktabah al-Da’wah al-Isla>miyah, 2002), h. 89.
[4]Amir Syarifuddin, loc. cit.
[5]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Juz I (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 137-138.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]Wahbah al-Zahaili, op. cit.,  h. 105.
[9]Ibid., h. 106.
[10]Amir Syarifuddin, loc. cit.
[11]Maksud sesuatu disini adalah binatang dan termasuk juga manusia.
[12]Abdul al-Karim bin Ali bin Muhammad al-Namlah, Al-Muhazzab Fi Usu>l al-Fiqh al-Muqa>ran, Juz III (Cet. I; Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1999), h. 1021.
[13]Amir Syarifuddin, op. cit., h. 367.
[14]Departemen Agama RI, op. cit., h. 471.
[15]Amir Syarifuddin, loc. cit.
[16]Abdul al-Karim bin Ali bin Muhammad al-Namlah, loc. cit.
[17]Wahbah al-Zahaili, op. cit., h. 108.
[18]Ibid., h. 109.
[19]Nasrun Haroen, op. cit., h. 142.
[20]Wahbah al-Zahaili, op. cit., h. 110.
[21]Departemen Agama RI, loc. cit.
[22]Wahbah al-Zahaili, loc. cit.
[23]Al-Salam, adalah jual beli yang bertangguh dengan yang segera. Juga dikatakan sebagai menjual suatu yang disifatkan dalam tanggungan, yaitu dengan mendahulukan harga dan menangguhkan barangnya untuk  waktu tertentu.
[24] Nasrun Haroen, loc. cit.
[25]Diriwayatkan oleh al-Bukha>ri.
[26]Wahbah al-Zahaili, op. cit., h. 112.
[27]Al-‘Arayah, adalah menjual kurma basah yang masih berada dipohonnya  dengan tamar yang telah dipetik dengan cara anggaran. Sedangkan al-Mud}a>rabah  adalah salah satu bentuk kontrak kerja sama yang mana melibatkan pemilik modal dan pengusaha yang keuntungannya  dibagi bersama berdasarkan perjanjian.
[28]Wahbah al-Zahaili, op. cit., h. 113.

[29]Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar, Al-Wa>d}ih Fi Us}u>l al-Fiqh (Cet. II; Cairo: Da>r al-Sala>m, 2004), h. 157.
[30]Nasrun Haroen, op. cit., h. 144.
[31]Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar, loc. cit.
[32]Wahbah al-Zahaili, op. cit., h. 122.
[33]Ibid., h. 126.
[34]Dikutip dari Wahbah al-Zuhaili, Ibid.,  h. 127.
[35]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar