A.
Pengertian
al-‘Urf dan Tradisinya
Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu ( عرف
– يعرف )
sering diartikan dengan “al-Ma’ru>f”
(المعروف) dengan arti:
“sesuatu yang dikenal”. Kalau dikatakan فلان أولى فلانا
عرفا (Si Fulan lebih dari yang lain
dari segi ‘urfnya) maksudnya bahwa si Fulan lebih dikenal dibandingkan
dengan yang lain. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian
“diakui oleh orang lain”. Kata al-‘Urf juga terdapat dalam al-Qur’an dengan arti “ma’ru>f”
(معروف) yang artinya
kebajikan (berbuat baik), seperti dalam Q.S. al-A’ra>f/7:199:[1]
Terjemahannya:
“jadilah pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang bodoh.”[2]
Adapun al-‘Urf secara istilah adalah sesuatu yang telah
dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa
perbuatan, atau keadaan meninggalkan, dan ia juga dinamakan sebagai adat.[3]
Ulama berbeda pendapat tentang apakah al-‘Urf dan adat adalah sama. Para ahli bahasa Arab
ada yang menyamakan antara kata adat dan al-‘Urf , kedua kata itu mutara>dif
(sinonim). Seandainya kedua kata itu dirangkaikan dalam suatu kalimat,
seperti: “hukum itu didasarkan kepada adat dan al-‘Urf , tidaklah
berarti kata adat dan al-‘Urf itu berbeda maksudnya meskipun digunakan kata
sambung “dan” yang biasa dipakai sebagai kata yang membedakan antara dua kata.
Karena kedua kata itu memiliki arti yang sama, maka dalam contoh tersebut, kata
al-‘Urf adalah penguat terhadap
kata adat.[4]
Para ulama us}u>l al-Fiqh ada yang membedakan
antara adat dengan al-‘Urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah
satu dalil untuk menetapkan hukum syara’ adat didefinisikan dengan:
الأمر المتكرر من غير علاقة عقلية
“Sesuatu yang
dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.”[5]
Definisi ini menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan
dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat.
Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas,
yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur,
makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang
menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran
yang baik dan buruk.[6]
Adapun al-‘Urf menurut ulama us}u>l al-Fiqh adalah:
عادة جمهور قوم في قول أو فعل
“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam
perkataan atau perbuatan.”[7]
Al-‘Urf lebih umum daripada adat, al-‘Urf mencakup
tentang perkataan dan perbuatan, sedangkan adat hanya terbatas pada perbuatan
saja.[8]
Namun sebagian ulama us}u>l al-Fiqh juga berpendapat bahwa adat itu
lebih umum daripada al-‘Urf yang
hukumnya memiliki hubungan keterkaitan dengan akal, dan yang tidak memiliki
hubungan keterkaitan dengan hukum akal. Contoh yang kebiasan yang berhubungan
dengan hukum akal seperti bergeraknya cincin pada jari-jari, atau
kebiasan-kebiasan yang alami seperti haid, hamil dan terjadinya musim panas dan
dingin pada negara tertentu. Sedangkan contoh kebiasaan yang tidak berkaitan
dengan hukum akal seperti, perkataan dan perbuatan yang bersumber dari satu
orang ataupun lebih.[9]
Kata al-‘Urf pengertiannya tidak melihat dari segi
berulangkalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan
tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut
pandang berdeda ini (dari sudut berulang-ulang kali dan dari sudut dikenal)
yang menyebabkan timbulnya dua nama tersebut.[10]
Terjadinya perbedaan dalam memaknai al-‘Urf dan
adat tidak terlepas dari segi penggunaannya dalam kehidupan masyarakat, al-‘Urf
selalu digunakan untuk suatu jamaah atau golongan, sedangkan kata adat
dapat digunakan untuk sebagian orang di samping berlaku pula untuk golongan.
Apa yang telah biasa dilakukan seseorang, maka perbuatan itu dapat dikatakan
sebagai kebiasaan orang itu atau ada orang itu, namun tidak dapat dikatakan
sebagai al-‘Urf orang itu. Dapat disimpulkan bahwa ulama yang
berpendapat bahwa al-‘Urf dan adat adalah dua hal yang berdeda jika
ditinjau dari segi pemaknaan secara bahasa, sedangkan ulama yang mengatakan
bahwa al-‘Urf dan adat adalah dua hal yang sama, karena melihat keduanya
dari segi penggunaannya sebagai dalil hukum, yaitu menjadikan al-‘Urf sebagai landasan hukum.
B.
Macam-macam al-‘Urf
Pembagian atau macam-macam al-‘Urf dapat ditinjau
dari beberapa segi:
1.
Al-‘Urf
ditinjau dari segi sebab dan hubungannya,
dibagi menjadi dua macam:
a.
Al-‘Urf
al-Qauli> atau al-‘Urf al-Lafz}i> (العرف
القولي أو العرف اللفظي) adalah kebiasaan yang telah dikenal banyak orang yang berlaku
dalam penggunaan kata-kata dan ucapan. Misalnya, ungkapan (الدابة), yang secara
bahasa adalah segala sesuatu[11]
yang merangkak di atas tanah. Namun sebagian orang mengkhususkan maknanya
sebagai kuda dan sebagian lagi memaknainya sebagai himar.[12]
Contoh lain, adalah kata (لحم)
yang artinya “daging”, baik daging sapi, ikan atau hewan lainnya. Pengertian
umum lahmun juga mencakup daging ikan, seperti yang terdapat dalam al-Qur’an
Q.S. al-Nahl/16:14:[13]
Terjemahannya:
“Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar
kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya,…”[14]
Namun dalam adat kebiasaan berbahasa sehari-hari
dikalangan orang-orang Arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk
“ikan”. Jadi, apabila ada seseorang bersumpah, untuk tidak memakan daging, tapi
ternyata dikemudian hari ia memakan daging ikan, maka menurut adat masyarakat
Arab, orang tersebut tidak melanggar sumpah.[15]
b.
Al-‘Urf al-Fi’li> atau al-‘Urf
al-‘Amali> (العرف الفعلي أو العرف العملي), adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan
biasa mereka atau muamalah mereka. Contohnya, seperti transaksi jual beli dalam
masyarakat yang dikenal dengan istilah al-Baiy’ al-Mu’a>t}a>h yaitu
dengan cara mengambil barang dan membayar dengan uang tanpa adanya akad yang
jelas. Jual beli dengan cara ini dibenarkan
dalam pandangan al-‘Urf.[16]
2.
Ditinjau dari segi cakupannya, al-‘Urf
dibagi menjadi dua macam:
a.
Al-‘Urf al-‘A<m (العرف
العام) adalah kebiasaan yang
berlaku secara umum diseluruh masyarak
dan diberbagai penjuru dunia. Seperti, penggunaan WC umum, atau permandian umum
(kolam renang) yang memungut bayaran, orang hanya membayar seharga tariff masuk
yang telah ditentukan tanpa memperhitungkan berapa banyak air yang dipakainya
dan berapa lama ia menggunakan permandian tersebut.
b.
Al-‘Urf al-Kha>s} (العرف
الخاص) adalah kebiasaan yang
berlaku di daerah tertentu atau sekelompok orang ditempat tertentu dan pada
waktu tertentu. Contohnya, kebiasaan dikalangan pedagang apabila terdapat cacat
tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan. Pembayaran uang sewa tiap
bulan atau tiap tiga bulan atau tiap tahun terhadap si penyewa rumah,
memperbaharui akad sewa rumah, dan kebiasaan yang berlaku dikalangan pengacara
hukum bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dia lakukan harus dibayar dahulu
sebagian oleh kliennya, dan sebagiannya lagi dibayar setelah adanya keputusan
hukum dari mahkamah pengadilan.[17]
3.
Ditinjau dari segi keabsahannya
dari pandangan syara’, al-‘Urf dibagi menjadi dua macam:
a.
Al-‘Urf al-S}a>hi>h (العرف
الصحيح), adalah kebiasaan yang
berlaku dimasyarakat yang tidak bertentangan dengan syara’, tidak
mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Contohnya, pada masa
pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak perempuan dan hadiah
ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
b.
Al-‘Urf al-Fa>sid (العرف
الفاسد), adalah kebiasaan yang
berlaku dimasyarakat namun bertentangan dengan syara’, menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan
pedagang dalam menghalalkan riba, menghidangkan khamar dalam suatu pesta,
bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam perayaan-perayaan umum, dan segala
bentuk kebiasaan yang bertentangan dengan syariat.[18]
C.
Kehujjahan
al-‘Urf
Para ulama usu>l
al-Fiqh sepakat bahwa al-‘Urf al-S}a>hi>h, yaitu yang tidak
bertentangan dengan syara’, baik yang menyangkut al-‘Urf al-‘A<m dan
al-‘Urf al-Kha>s}, maupun yang berkaitan dengan dengan al-‘Urf
al-Lafz}i> dan al-‘Urf al-‘Amali>, dapat dijadikan dalil dalam
menetapkan hukum.[19]
Dalil-dalil
para ulama atas ke-hujjahan al-‘Urf :
Pertama, dari al-Qur’an,
firman Allah Q.S. al-A’ra>f/7:99:[20]
Éè{
uqøÿyèø9$# óßDù&ur
Å$óãèø9$$Î/
óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
Terjemahannya:
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
makruf, serta janganlah perdulikan orang-orang yang bodoh.”[21]
Dalam ayat ini,
Allah swt. menyuruh manusia untuk
mengikuti al-‘Urf, meskipun sebenarnya dalam ayat ini, maksud dari al-‘Urf
adalah makna dari segi bahasanya
yaitu perkara yang baik dan makruf, akan tetapi tidak menyalahi jika makna al-‘Urf
dalam ayat ini dikaitkan dengan
makna ist}ila>hi>, karena makna bahasa lebih umum daripada makna ist}ila>hi>.[22]
Kedua, dari Hadis, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, dikatakan bahwa ketika Rasulullah saw. hijrah
ke Madinah, Nabi melihat penduduk setempat melakukan jual beli pesanan (al-Salam)[23].
Lalu Rasulullah saw. bersabda:[24]
مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ وَوَزْنٍ
مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
“Siapa yang melakukan jual beli
salam pada kurma, maka hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya, dan tenggang
waktunya.”[25]
Hadis di atas menunjukkan bolehnya jual beli al-Salam yang
telah menjadi kebiasaan penduduk Madinah, sehingga para ulama memasukkannya
sebagai kategori al-‘Urf.
Ketiga, ijmak,
para ulama telah sepakat menggunakan al-‘Urf
yang tidak bertentangan dengan nas al-Qur’an dan sunnah sebagai
dalil dalam menetapkan sebuah hukum.[26]
Keempat, qiya>s dan
akal, bahwa para ulama telah menetapkan ke-hujjahan al-‘Urf dengan dalil istiqra> yaitu, bahwasanya jika seseorang menelusuri
beberapa cabang-cabang syariat, maka akan didapati sebagian dari nas telah menetapkan
kebiasaan-kebiasaan baik yang telah ada sebelum datangnya Islam. Seperti, jual
beli al-Salam, al-‘Araya, dan al-Mud{a>rabah.[27]
Dan segala sesuatu yang memiliki maslahah.[28]
Kesemua dalil di atas menunjukkan bahwa al-‘Urf adalah
salah satu bagian yang oleh para ulama telah bersepakat menjadikannya sebagai hujjah
dalam menetapkan sebuah hukum syariat.
D.
Syarat-syarat al-‘Urf
Para ulama usu>l al-Fiqh menyatakan bahwa al-‘Urf
baru dapat dijadikan sebagai salah
satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1.
Hendaklah
al-‘Urf itu yang berlaku secara
umum, dan dilakukan oleh mayoritas masyarakat. Apabila kebiasaan itu ada yg
berbeda dari biasanya, dan masyarakat yang melakukannya lebih minoritas
daripada masyarakat yang tidak melakukannya, maka tidak terjadi al-‘Urf.[29]
2.
Hendaknya
al-‘Urf telah memasyarakat ketika
persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Maksudnya adalah, al-‘Urf
yang akan dijadikan sandaran hukum
itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitan
dengan ini terdapat kaidah us}u>liyyah yang menyatakan:
لاَ عِــــــبــــْرَةَ لِلــــــْعُرفِ الطَّا رِئ
“Al-‘Urf yang datang kemudian, tidak dapat
dijadikan sandaran hukum terhadap kasus yang telah lama.”[30]
3.
Hendaklah
al-‘Urf tidak bertentangan dengan
yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi, karena nas ungkapan itu
lebih didahulukan daripada diam. Jika dua orang yang melakukakn transaksi akad
sepakat bahwa hal ini berdeda dengan apa yang berlaku di al-‘Urf, maka
mereka melakukan sesuai dengan apa yang disepakati bukan dengan al-‘Urf. Sesuatu
yang dilakukan secara al-‘Urf apabila kedua orang yang melakukan
transaksi akad itu diam (tidak menemukan kejelasan dalam nas).[31]
Karena ada kaidah yang mengatakan (لا عبرة للدلالة في
مقام التصريح).
4.
Hendaklah
al-‘Urf itu tidak bertentangan dengan nas syara’ dalam al-Qur’an dan hadis, atau bertentangan
dengan syariat-syariat yang sudah pasti, sehingga menyebabkan hukum yang
dikandung oleh nas itu tidak bisa diterapkan. Al-‘Urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’,
karena ke-hujjahan al-‘Urf bisa diterima apabila tidak ada nas yang
mengandung hukum permasalahan yang dihadapi. Seperti, kebiasaan masyarakat yang
menyuguhkan minuman memabukkan dalam pesta-pesta dan perhelatan-perhelatan
umum.[32]
E.
Pengaruh al-‘Urf Terhadap Perubahan Hukum
Al-‘Urf yang berubah-ubah tidak memiliki pengaruh
untuk mengubah nas-nas syariat yang sudah pasti berlaku terhadap suatu perkara.
Dan sesuatu yang sudah jelas hukumnya, dan telah ditetapkan oleh nas baik yang
bersifat perintah dan larangan, itu tidak dapat dipengaruhi hukumnya oleh al-‘Urf.
Seperti mengharamkan sesuatu yang sudah haram, adanya saling ridha dalam
hal akad. Dan segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh syariat untuk
kemaslahatan perorangan maupun kemaslahatan umum.
Adapun hukum-hukum yang bersifat ijtihadi> yang
lahir dari proses qiya>s atau maslahah, atau yang didasari oleh qiya>s
dan maslahah, adalah hal-hal yang bisa berubah oleh al-‘Urf. Seperti
yang dikatakan dalam kaidah al-Fiqhiyyah:[33]
لا يـــنكر تـــغـــير الأحكـــام بــتغــير الأزمـــــــــان
“Tidak diingkari adanya perubahan
suatu hukum, disebabkah oleh adanya perubahan zaman.”
Ibnu Abidin juga pernah berkata:
“karena
melihat kedudukan al-‘Urf bisa berubah
sesuai dengan perubahan zaman, maka hukum yang dibangun atas dasar al-‘Urf juga ikut berubah.”[34]
Di bawah ini adalah sebuah contoh fatwa ulama mutaakhkhiru>n
yang berbeda dengan para ulama terdahulu:
“Para
ulama mutakhkhiru>n telah berfatwa bolehnya mengambil upah atau
bayaran terhadap majlis-majlis al-Qur’an, atau untuk para imam shalat, atau
untuk para muadzzin dan segala bentuk yang berkaitan dengan hal-hal
shalat, puasa dan haji. Fatwa ini berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh
ulama-ulama terdahulu. Apabila pemberian upah tidak diberlakukan terhadap para
pengajar-pengajar (agama), dan para da’i yang bertugas menyebarkan syiar agama,
dan mereka lebih menyibukkan diri untuk mencari upah dari perdagangan, pabrik,
dan pertanian, maka dipastikan ilmu-ilmu al-Qur’an akan hilang dan syiar-syiar
Islam akan punah.”[35]
Dari
gambaran di atas menunjukkan bahwa, segala bentuk hukum yang bersifat asa>siyyah
dan telah ditetapkah oleh nas-nas syariat, itu tidak dapat dipengaruhi oleh
perubahan hukum al-‘Urf. Berbeda dengan hukum yang bersifat ijtihadi>
yang dibangun atas dasar qiya>s dan maslahah, adalah bentuk hukum yang bisa
berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
[1]Amir Syarifuddin, Us}u>l
Fiqh, Juz II (Cet. I; Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 363.
[2]Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya (Surabaya: Fajar
Mulya, 2002), h. 305.
[3]Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu
Us}u>l al-Fiqh (Cet. VIII; Cairo:
Maktabah al-Da’wah al-Isla>miyah, 2002), h. 89.
[4]Amir Syarifuddin, loc. cit.
[5]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Juz
I (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 137-138.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]Wahbah al-Zahaili, op. cit., h. 105.
[10]Amir Syarifuddin, loc. cit.
[11]Maksud sesuatu disini adalah
binatang dan termasuk juga manusia.
[12]Abdul al-Karim bin Ali bin
Muhammad al-Namlah, Al-Muhazzab Fi Usu>l al-Fiqh al-Muqa>ran, Juz
III (Cet. I; Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1999), h. 1021.
[13]Amir Syarifuddin, op. cit., h.
367.
[14]Departemen Agama RI, op.
cit., h. 471.
[15]Amir Syarifuddin, loc. cit.
[16]Abdul al-Karim bin Ali bin
Muhammad al-Namlah, loc. cit.
[17]Wahbah al-Zahaili, op. cit., h.
108.
[19]Nasrun Haroen, op. cit., h.
142.
[20]Wahbah al-Zahaili, op. cit., h.
110.
[21]Departemen Agama RI, loc.
cit.
[22]Wahbah al-Zahaili, loc. cit.
[23]Al-Salam, adalah jual beli yang bertangguh
dengan yang segera. Juga dikatakan sebagai menjual suatu yang disifatkan dalam
tanggungan, yaitu dengan mendahulukan harga dan menangguhkan barangnya untuk waktu tertentu.
[24] Nasrun Haroen, loc. cit.
[25]Diriwayatkan oleh
al-Bukha>ri.
[26]Wahbah al-Zahaili, op. cit., h.
112.
[27]Al-‘Arayah, adalah menjual kurma basah yang
masih berada dipohonnya dengan tamar
yang telah dipetik dengan cara anggaran. Sedangkan al-Mud}a>rabah adalah salah satu bentuk kontrak kerja sama
yang mana melibatkan pemilik modal dan pengusaha yang keuntungannya dibagi bersama berdasarkan perjanjian.
[28]Wahbah al-Zahaili, op. cit., h.
113.
[29]Muhammad Sulaiman Abdullah
al-Asyqar, Al-Wa>d}ih Fi Us}u>l al-Fiqh (Cet. II; Cairo: Da>r
al-Sala>m, 2004), h. 157.
[30]Nasrun Haroen, op. cit., h.
144.
[31]Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar,
loc. cit.
[32]Wahbah al-Zahaili, op. cit., h.
122.
[34]Dikutip dari Wahbah al-Zuhaili, Ibid.,
h. 127.
[35]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar