Kembali Ke Dasar 10.000 Jam

Countdown

Sabtu, 14 Maret 2015

Maqasid al-Syari‘ah Dan Metode Memahaminya Menurut al-Imam al-Syatibi

Maqa>sid al-Syari>‘ah Dan Metode Memahaminya Menurut al-Ima>m al-Sya>t}ibi>

 by. Andi Yaqub
BAGIAN KETIGA DARI KITAB AL-MUWA<FAQA<T (المُوَا فَقَا تُ)
كتَابُ المَقَاصِد (BAB AL-MAQĀS{ID)
Maqa>s}id yang dibahas terbagi atas dua, yaitu: maksud sya>ri‘ (qas}du al-sya>ri‘) dan  maksud mukallaf (qas}du al-mukallaf).
Yang pertama merupakan maksud sya>ri‘ dalam menetapkan syariat dan selanjutnya maksud sya>ri‘ dalam menetapkan syariat agar dapat dipahami. Setelah itu membebankan (kepada mukallaf) sesuai tuntutan dan kehendak syariat itu sendiri. Dan yang terakhir adalah tujuan sya>ri‘ ketika mewajibkan para mukallaf berada dalam hukum syariat. Jadi ada empat bagian dalam hal ini.
Dan kami akan mengemukakan sebelum masuk pada pembahasan yang diinginkan, sebagai muqaddimah kala>miyah. Penjelasan secara umum dalam masalah ini, yaitu bahwasanya penetapan berbagai hukum dan syariat tidak lain bertujuan untuk kemaslahatan manusia secara langsung maupun tidak langsung. Dan ini merupakan pernyataan yang mau tidak mau harus dilengkapi dengan dalil sah tidaknya atau benar salahnya pernyataan tersebut. Dan bukan tempatnya di sini untuk mempermasalahkannya. Dan telah terdapat perbedaan pendapat dalam ilmu kalam, ketika al-Razi menganggap bahwa hukum-hukum Allah swt. sama sekali tidak memiliki ‘illat (sebab, hikmah, tujuan yang bisa dijelaskan) sebagaimana halnya perbuatan-perbuatan-Nya. Di sisi lain, kaum Mu’tazilah sepakat bahwa hukum-hukum Allah swt. dapat dijelaskan yaitu selalu memperhatikan kemaslahatan hamba, dan ini yang dipegang oleh kebanyakan fuqaha kontemporer. Dan ketika ilmu us}ūl fiqh dipaksa menetapkan ‘illat bagi hukum-hukum syariat yang ada, maka ditetapkan bahwa ‘illat di sini berarti tanda-tanda (definisi, pemahaman, dst) yang memperkenalkan atau yang dapat mendefinisikan hukum-hukum tersebut secara khusus. (Kita tidak akan membahas lebih dalam masalah ini).
Yang dipegang atau yang menjadi sandaran adalah bahwasanya kita mencari dan berusaha mendapatkan hasil dan kesimpulan dengan berbagai dalil yang ada (istiqra>) bahwa syariat ditetapkan demi kemaslahatan manusia, dan hal ini tidak dibantah oleh ar-Razi maupun yang lainnya. Maka sesungguhnya Allah swt. berfirman tentang diutusnya Rasul dan inilah yang merupakan tujuan dasar:  “(mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu...(QS al-Nisa’/4:165). “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS al-Ambiya>’/21:107). Dan firman-Nya tentang asal-usul penciptaan:… “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya…” (QS Hu>d/11:7). “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS al-Zariyat/51:56) “yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…” (QS al-Mulk/67:2)
Adapun penetapan-penetapan ‘illat bagi perincian-perincian hukum yang ada dalam al-Qur’an dan sunah maka sangatlah banyak, misalnya setelah Allah swt. merinci tahapan-tahapan wudu lalu Dia menjelaskan: “….Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS al-Maidah/5:6) dan Firman Allah swt mengenai puasa: “… diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah/2:183). Dan tentang salat: “… Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar…” (QS al-Ankabut/29:45). Tentang arah kiblat: “…maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu…” (QS al-Baqarah/2:150). Mengenai jihad: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya…” (QS al-Hajj/22:39). Tentang qis}a>s}. “Dan dalam qis}a>s} itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal…” (QS al-Baqarah/2:179). Dan tentang penegakan tauhid: “…Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS al-A‘raf/7:172).
Jika metode istiqra> mampu menjelaskan dan menunjukkan ini semua, dan mendatangkan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, maka kita dapat memastikan bahwa masalah ini berlaku bagi semua rincian hukum-hukum syariat yang ada. Dan dari kalimat ini maka metode qiya>s dan ijtihad diakui dan digunakan sesuai dengan ketentuan-ketentuannya, hanya saja kita masih perlu membahas apakah qiya>s maupun ijtihad dalam hal ini wajib atau tidak, diserahkan kepada ketentuan-ketentuan yang ada.

Bagian Pertama
Penjelasan tentang maksud sya>ri‘ dalam menetapkan syariat dan terdapat beberapa masalah.
Masalah Pertama:
Pembebanan-pembebanan syariat bermuara pada pemeliharaan dan penjagaan bagi maksud syariat itu sendiri (maqa>s}id al-syari‘ah) terhadap para makhluk. Maqa>s}id al-syari‘ah ini terdiri dari tiga, yaitu: (1) D{arūriyah, (2) H{a>jiyah, dan (3)Tah}si>niyah.
D{arūriyah artinya sesuatu yang wajib atau mutlak ada demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia, apabila ia tidak ada maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya kehidupan. Begitu pula kemaslahatan, kebahagiaan dan keselamatan akhirat akan luput dan binasa sehingga yang tersisa hanyalah kerugian yang nyata.
Ada dua cara dalam menjaga dan memelihara d}arūriyah, yaitu: Pertama, dengan menegakkan pilar-pilarnya dan menguatkan qawa}‘idnya, yang berarti senantiasa memperhatikan dari sisi mana kita wajib mengadakannya atau menjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya. Kedua, menghindari kekacauan-kekacauan yang terjadi atau yang bakal terjadi, yang berarti selalu memperhatikannya dari sisi dimana kita harus meniadakannya.
Pokok-pokok ibadah kembali pada menjaga agama dari segi al-wujūd, seperti: iman, mengucapkan dua kalimat syahadat, menegakkan salat, mengeluarkan zakat, berpuasa, menunaikan haji, dan sebagainya. Sedangkan adat (nilai-nilai dan tradisi kemasyarakatan) kembali kepada menjaga jiwa dan akal dari segi al-wujūd, seperti: mengkonsumsi makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya. Sementara muamalah kembali pada menjaga keturunan (kelangsungan kehidupan manusia) dan harta dari segi al-wujūd, begitu pula menjaga jiwa dan akal, akan tetapi melalui perantaraan adat. Adapun jina>yat– menggabungkannya menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran–kembali pada menjaga seluruh sisi dan aspek kehidupan dari segi al-‘a}dam.
Ibadah dan adat sudah kita berikan contoh. Adapun muamalah kembali kepada kemaslahatan manusia dengan sesamanya, seperti berpindahnya hak milik dengan ‘iwad (alat tukar atau pengganti) atau tanpa ‘iwad, atau dengan akad kepemilikan budak atau manfaat jasa dan barang, Sedangkan jinayat –sebagaimana yang sudah dijelaskan– berarti membatalkan (meniadakan) sehingga disyariatkan pembatalan tersebut yang dapat menghindarkan serta merusak kemaslahatan manusia, seperti: qisa}s dan diya>t untuk keselamatan jiwa, had untuk menjaga akal, penjaminan nilai harta untuk mejaga keturunan, penjaminan untuk menjaga harta, dan sebagainya.
Jadi d}arūriyah itu ada lima, yaitu: menjaga dan memelihara agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Dan ulama mengatakan bahwa kelima d}arūriyah ini menjadi perhatian semua agama yang ada.
Adapun h}a>jiyah, berarti sesuatu yang dibutuhkan atau yang sebaiknya ada agar dalam melaksanakannya leluasa dan menghilangkan kesempitan yang biasanya engarah pada kondisi menyulitkan dan menyusahkan, dan akhirnya tidak terlaksananya sesuatu yang dituntut. Jika hal ini tidak diantisipasi, maka masuklah mukallaf –pada jumlah-- dalam kesempitan dan kesulitan sekalipun belum sampai pada tingkat merusak dan membahayakan kemaslahatan umum.
H{a>jiyah ini berlaku pada masalah ibadah, adat, muamalah dan jina>yat. Dalam ibadah misalnya beberapa keringanan yang diberikan sehubungan adanya kesulitan ketika sakit dan dalam perjalanan. Dalam adat, seperti membolehkan berburu, menikmati berbagai hal yang halal seperti makanan, minuman, tempat tinggal, kendaraan, dan sebagainya. Dalam bidang muamalah seperti utang piutang, kerjasama bagi hasil, jual beli secara salam (pesanan), jual beli barang yang diikutkan pada aqad atas yang mengikuti barang tersebut seperti buah dengan pohon, harta budak, Dan dalam jinayat seperti hukum kolusi, melukai, pembagian harta, pembayaran diyat bagi yang membunuh, jaminan pekerja/buruh, dan yang semisal dengan itu.
Adapun tah}siniyah berarti mengambil apa-apa yang pantas dan masuk akal berupa akhlak-akhlak yang baik dan perilaku yang mulia serta menjauhi hal-hal yang rendah dan hina yang sebelumnya dihindari dan dinilai oleh akal sehat sebagai sesuatu yang tidak pantas. Bagian ini dihimpun oleh satu bidang yang diistilahkan dengan maka>rimul akhlaq.
T{ahsiniyah berlaku pada semua bidang di atas.
Dalam ibadah misalnya: menghilangkan najis–termasuk semua bagian thaharah--, menutup aurat, memakai perhiasan (atau pakaian yang bagus dan pantas), bertaqarrub dengan berbagai kebajikan yang sunnah (bukan wajib atau fardu) seperti sedekah dan semacamnya. Sedangkan adat, misalnya adab makan dan minum, menjauhi makanan yang bernajis atau minuman yang kotor, berlebih-lebihan atau boros. Dalam muamalat seperti: larangan menjual barang-barang yang dikategorikan najis atau menjual kelebihan air dan rumput, pencabutan hak bersaksi dan hak memimpin dari para hamba sahaya atau budak, begitu pula hak memimpin dari para wanita serta hak menikahkan diri mereka sendiri dan sebagainya. Sedangkan jina>yat, seperti larangan melakukan qis}a>s} terhadap seorang yang merdeka akibat membunuh seorang budak begitupula larangan membunuh wanita, anak-anak dan para pendeta dalam perang jihad.
Sedikit contoh di atas menunujukkan bahwa yang lainnya yang searti dan sejalan dengannya mengisyaratkan hal yang sama. Inilah contoh-contoh yang semuanya kembali pada tradisi dan nilai-nilai luhur yang merupakan tambahan (pelengkap dan penyempurna) bagi maslahat d}arūriyah dan h}a>jiah yang sebelumnya menjadi dasar dan pokok dikarenakan ketiadaan nilai-nilai ini tidak serta merta meniadakan (hal yang bersifat) d}arūriyah ataupun h}ajjiah. Ia hanya sebagai pelengkap dan penghias.
Masalah Kedua:
Ketiga tingkatan ini disertai dengan apa yang kita sebut dengan pelengkap atau penyempurna, dimana jika tatimmah ini tidak ada maka tidak berarti hikmahnya pun hilang atau cacat.
Pertama, Menghukum dengan cara yang sama dalam qis}a>s} seperti yang dilakukan si pembunuh misalnya yang merupakan contoh d}arūriyah, tidak ada suatu keharusan untuk melakukannya dan tidak pula mesti oleh karena suatu kebutuhan mendesak untuk melakukannya, akan tetapi itu hanya sebagai pelengkap dan penyempurna. Begitu pula dengan nafkah yang berlaku umum, utang piutang atau upah yang berlaku umum, larangan memandang wanita yang bukan muhrim, meminum sedikit minuman keras (yang memabukkan), larangan riba, bersikap wara’/hati-hati dalam perkara syubha>t, menampakkkan syiar-syiar agama seperti salat berjamaah baik yag fardu maupun yang sunnat, begitu pula Salat Jum’at, gadai dan menyaratkan ada saksi dalam transaksi jual beli; jika kita mengatakan bahwa ini semua termasuk d}arūriyah.
Adapun kedua (h}ajjiyah), misalnya memberlakukan kufu’ (kesetaraan antara pasangan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan), mahar mis\li untuk wanita yang belum baligh dimana hal ini bukan merupakan sesuatu yang mutlak sebagaimana halnya kebutuhan nikah itu sendiri bagi wanita yang belum baligh. Dan jika kita mengatakan bahwa jual beli termasuk h}a>jiyah maka memberikan kesaksian, gadai, termasuk penyempurna. Contoh lain: menggabungkan (jama’) antara dua salat ketika dalam perjalanan begitu pula seorang yang sakit ketika ia khawatir kesadarannya akan hilang, dimana ini semua merupakan takmilah bagi tingkatan ini. Oleh karena itu, jika ia tidak disyariatkan maka berarti meniadakan unsur keringanan dan kemudahan.
Sedangkan tingkat yang ketiga, maka sama halnya adab-adab membuang h}adas, sunnah-sunnah t}ah}arah, meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan amalan-amalan ibadah sekalipun ia tidak wajib, menginfakkan sebagian hasil usaha yang halal, memilih hewan untuk kurban atau aqiqah serta budak untuk dimerdekakan dan sebagainya. Berangkat dari contoh-contoh di atas, maka dapat dikatakan bahwa h}a>jiyah (contoh-contoh h}a>jiyah) merupakan penyempurna bagi d}arūriyah, dan tah}siniyah merupakan penyempurna bagi h}a>jiyah. Jadi d}arūriyah adalah asal atau pokok kemaslahatan sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut. Insya Allah.
Masalah Ketiga:
Setiap pelengkap–sebagaimana halnya ia sebagai penyempurna memiliki syarat, yaitu memberlakukannya tidak sampai membatalkan yang pokok (al-as}lu). Oleh karena itu, setiap penyempurna jika ia yang diberlakukan maka akan mengakibatkan pembatalan terhadap al-as}lu. Dengan demikian ia tidak menjadi sebuah syarat. Ada dua alasan dalam hal ini:
Pertama, oleh karena membatalkan al-as}lu (pokok) berarti juga membatalkan penyempurna, dikarenakan penyempurna dengan yang disempurnakan bagaikan sifat dengan mausūf (yang disifati). Maka ketika pemberlakuan sifat membawa kepada pengembangan mausūf maka menyebabkan pula pengembangan sifat. Dengan demikian, pemberlakuan takmilah berdasarkan pandangan atau logika ini menyebabkan ia justru tidak dianggap atau tidak diberlakukan, dan ini mustahil serta tidak dapat dibayangkan. Dan sekiranya mustahil, maka penyempurna yang tidak diberlakukan sementara al-as}lu diberlakukan tanpa ada tambahan.
Kedua, jika kita mengandaikan bahwa maslahat yang merupakan penyem­purna dapat tercapai dikala masla>h}at yang merupakan al-as}lu justru tidak tercapai maka seharusnya maslahat al-as}liyah yang dicapai terlebih dahulu karena keduanya merupakan sebuah rangkaian (hirarki).
Contoh: menjaga kelangsungan hidup merupakan keharusan umum, sedangkan menjaga murū’ah (kemuliaan hidup) merupakan kebaikan dan anjuran. Najis diharamkan demi menjaga murū’ah serta mempertahankan nilai-nilai dan tradisi mulia, namun jika kondisi darurat memaksa memakan najis demi kelangsungan hidup maka memakan najis lebih diutamakan.
Demikian pula jual beli yang pada dasarnya d}arūriyah, sementara larangan penipuan dan pembodohan di dalamnya merupakan penyempurna. Maka jika disyariatkan bahwa tidak boleh terjadi penipuan secara mutlak maka niscaya jual beli tidak akan terjadi. Seperti halnya sewa menyewa. Ia merupakan d}arūriyah, juga bisa h}a>jiyah. Sedang disyariatkan kehadiran salah satu barang yang ditukarkan dalam transaksi termasuk penyempurna. Namun hal ini berlaku pada jual beli barang bergerak karena bisa dilakukan dan tidak menyulitkan; tidak pada barang yang tidak bergerak (tidak dihadirkan) kecuali akad salam. Dalam sewa menyewa, hal ini tidak dapat dilakukan sehingga persyaratan akan tampak dan jelas manfaat yang akan diperoleh justru akan menutup pintu mua>malah – dalam hal ini sewa menyewa itu sendiri--. Padahal sewa menyewa dibutuhkan. Dengan demikian ia dibolehkan sekalipun ‘iwad (upah atau barang yang disewa) tidak dihadirkan saat akad. Contoh lain: melihat aurat untuk tujuan pengobatan misalnya.
Begitu pula dengan memerangi (jihad) penguasa yang zalim dan para ulama membolehkan. Imam Malik berkata, : ”Jika jihad ini ditinggalkan, maka itu berarti menimpakan mudarat kepada kaum muslimin.” Jadi jihad adalah d}arūriyah, sementara penguasa juga d}arūriyah. Adapun keadilan (dalam memerintah) maka ia merupakan penyempurna dalam hal ini. Dan penyempurna jika sampai membatalkan al-as}lu maka ia tidak berlaku. Oleh karena itu, datanglah perintah jihad melawan penguasa yang zalim yang diriwayatkan Rasulullah saw.
Juga perintah salat di belakang (ma’mum) para penguasa yang zalim. Oleh karena meninggalkannya berarti meninggalkan perintah berjama’ah, sedangkan berjama’ah itu sendiri merupakan syiar agama yang diperintahkan. Adapun keadilan merupakan penyempurna yang dituntut dalam hal ini. Namun al-as}lu tidak batal disebabkan adanya penyempurna.
Diantaranya pula, menyempurnakan pelaksanaan rukun-rukun salat merupakan penyempurna bagi d}arūriyah yaitu salat itu sendiri. Jika pelaksanaannya justru mengarah pada tidak dilaksanakannya salat –bagi seorang yang sakit yang tidak mampu lagi misalnya--maka penyempurna dalam hal ini batal. Atau dalam usaha menyempurnakannya menimbulkan kesulitan, maka kesulitan ini harus dihilangkan bagi orang yang tidak mampu menyempurnakannya dan ia salat sesuai dengan kelonggaran-kelonggaran yang diperuntukkan kepadanya.
Contoh lain: menutup aurat yang merupakan kesempurnaan salat. Jika ia diwajibkan secara mutlak, maka tentunya salat tidak dapat terlaksana bagi orang yang memang tidak memiliki penutup bagi auratnya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lain dalam syariat ini yang semuanya berjalan dan memperlihatkan hal yang senada.
Akhirnya, lihat pula apa yang dikatakan al-Ghazali dalam Kitab Al-Mustazhari tentang seorang imam yang belum memenuhi syarat-syarat menjadi imam salat sepenuhnya, lalu diqiyaskanlah contoh-contoh lain yang sama kepadanya.
Masalah Keempat:                           
Al-Maqa>s}id al-d}arūriyah merupakan dasar (al-as}lu) bagi h}a>jiyah dan tah}siniyah.
Jika diibaratkan, d}arūriyah ini rusak secara mutlak maka tentunya h}a>jiyah dan tah}siniyah juga secara mutlak rusak. Namun jika pada awalnya yang rusak adalah keduanya, maka tidak harus d}aruriyah ikut rusak secara mutlak. Memang benar, rusaknya tah}siniyah secara mutlak terkadang menyebabkan rusaknya h}a>jiyah ditinjau dari sudut mana saja. Dan terkadang rusaknya h}a>jiyah secara mutlak terkadang menyebabkan rusaknya pula d}arūriyah ditinjau dari sudut mana saja. Karena itu, jika d}aruriyah dijaga maka hendaknya h}a>jiyah juga ikut dijaga, dan jika h}a>jiyah dijaga maka hendaknya tah}}siniyah juga ikut dijaga, jadi sudah valid bahwa tah}siniyah membantu h}a>jiyah dan h}a>jiyah membantu d}arūriyah. Dan sesungguhnya d}arūriyah yang menjadi tuntutan utama.
Inilah lima sub tema yang harus dijelaskan lebih lanjut, yaitu:
Pertama, d}arūriyah merupakan dasar bagi h}a>jiyah dan tah}siniyah.
Kedua, rusaknya d}arūriyah mutlak menyebabkan rusaknya h}a>jiyah dan tah}siniyah.
Ketiga, rusaknya h}a>jiyah dan tah}siniyah tidak mutlak menyebabkan rusaknya  d}arūriyah.
Keempat, terkadang rusaknya tah}siniyah secara mutlak atau h}a>jiyah secara mutlak menyebabkan rusaknya d}arūriyah ditinjau dari sudut mana saja.
Kelima, menjaga h}a>jiyah dan tah}siniyah hendaknya dilakukan demi d}arūriyah.
Penjelasan Pertama: Sesungguhnya maslahat agama dan dunia dibangun berdasarkan kewajiban menjaga dan memelihara kelima poin d}arūriyah yang telah dikemukakan sebelumnya. Maka jika dikatakan eksistensi kehidupan dunia ini dibangun diatasnya sehingga sekiranya ia rusak maka tidak ada kehidupan yang tersisa bagi dunia ini –yaitu yang khusus bagi para mukallaf dan pembebanan terhadap mereka--.
Begitu pula urusan akhirat tidak dapat terwujud kecuali dengannya.
Sehingga jika tidak ada agama maka tidak ada pula balasan yang diharapkan. Dan jika tidak ada mukallaf maka tidak ada pula yang mengamalkan agama. Jika tidak ada akal maka tidak ada pembebanan beragama. Jika tidak ada keturunan maka tidak ada nilai dan tradisi yang tersisa. Jika tidak ada harta maka kehidupan tidak lagi tersisa –harta yang dimaksud adalah harta yang dimiliki dan dikuasai penuh oleh pemiliknya tanpa ada orang lain yang turut memilikinya, baik itu makanan, minuman, pakaian dengan berbagai jenisnya serta yang dikategorikan harta. Kesemuanya ini jelas dan tidak diragukan oleh seorang yang mengetahui perkara-perkara dunia dan bahwasanya ini merupakan bekal bagi kehidupan akhirat.
Jika hal ini sudah diyakini bersama maka h}a>jiyah sesungguhnya merupakan penjaga dalam kawasan penjagaan ini dikarenakan ia senantiasa menjadi penyempurna bagi d}aru>riyah, dimana kesukaran dan kesulitan dapat teratasi dengan melaksanakannya serta cenderung membawa para mukallaf ke sikap pertengahan; bukan berlebih-lebihan ataupun mengurangi. Contoh-contoh yang sudah dikemukakan sebelumnya menunjukkan hal tersebut, seperti tidak dibolehkannya penipuan dan pembodohan (ketidaktahuan pembeli) dalam jual beli, dihilangkannya kesulitan disebabkan sakit sehingga si sakit boleh salat dalam keadaan duduk atau berbaring, juga meninggalkan puasa hingga ia sehat. Demikian pula seorang musafir yang meninggalkan puasa dan mengqasar salatnya dan seterusnya. Jika ini semua dipahami maka seorang yang berakal tidak akan ragu bahwa semua perkara h}a>jiyah ini merupakan cabang yang tidak terlepas dari perkara d}arūriyah.
Demikian pula dengan tah}siniyah, oleh karena ia menyempurnakan h}a>jiyah atau d}arūriyah. Maka jika menyempurnakan d}arūriyah, itu sudah jelas adanya. Dan jika ia menyempurnakan h}a>jiyah maka h}a>jiyah merupakan penyempurna d}arūriyah. Sedang penyempurna bagi penyempurna (yang lain) merupakan penyempurna pula. Dengan demikian tah}siniyah adalah cabang bagi d}arūriyah yang menjadi pokok/dasar (al-as}lu) dan yang dibangun atasnya.
Penjelasan Kedua: Tampak pada penjelasan sebelumnya bahwa jika diyakini d}arūriyah adalah tujuan pokok dan yang lainnya dibangun atasnya sebagai salah satu sifat atau cabang darinya. Maka apabila ia rusak maka pastilah rusak pula kedua turunannya (yaitu h}a>jiyah dan tah}siniyah). Oleh karena al-as}lu, maka jika ia rusak maka terlebih al-far‘u (cabang) yang sudah pasti akan rusak pula.
Maka jika jual beli dicabut dari syariat ini maka pasti penipuan dan pembodohan di dalamnya tidak akan terjadi juga. Jika hukum qis}ās} dicabut maka al-muma>s\alah di dalamnya tidak mungkin terjadi juga, dikarenakan ia merupakan salah satu sifat (bagian) darinya, dan mustahil sifat terwujud tanpa ada mausuf (yang disifati). Demikian pula ketika salat dicabut dari orang yang pingsan (tidak sadarkan diri) dan wanita haidh, maka tidaklah mungkin terwujud dari keduanya bacaan-bacaan itu sendiri atau takbir, atau berjamah, ataupun bersuci dari hadas\ atau najis. Dan jika ada hukum yang menetapkan suatu perkara lalu perkara tersebut dicabut, namun hukum yang dimaksud tetap tertuju padanya, maka ia merupakan sebuah kemustahilan mutlak. Dari sini diketahui bahwa salat ketika ia dicabut maka dicabut pula bagian-bagian yang mengikuti dan menyempurnakannya, seperti bacaan-bacaan, takbir, doa dan sebagainya dikarenakan ia merupakan sifat yang mutlak baginya. Jadi, tidaklah benar jika dikatakan bahwa salatnya yang dicabut sementara sifat atau bagian-bagiannya tidak dicabut.
Ini pula yang kita katakan jika salat misalnya dilarang atau puasa dilarang seperti salat setelah salat subuh hingga waktu duha dan setelah asar hingga magrib atau puasa di hari raya. Maka semua yang menjadi sifat/bagian yang merupakan penyempurna baginya berada di bawah larangan tersebut. Tidak mungkin salat dilarang kecuali dengan melarang pula seluruh af’al dan aqwal di dalamnya. Jadi penyempurna berada di bawah larangan atau termasuk yang dilarang secara total.
Jadi kita tidak mengatakan bahwa semuanya itu merupakan hakikat tersendiri yang tidak termasuk larangan dalam hal ini, sehingga seacra mutlak tidaklah dilarang. Dan jika ia tidak dilarang secara mutlak maka tidaklah mesti dicabut sekalipun ia berposisi sebagai pengikut. Jadi rusaknya al-as}lu tidaklah harus menyebabkan rusaknya al-far‘u. dan juga karena perbandingan antara wasilah (perantara) dan maqa>sidnya bagaikan taharah dengan salat; terkadang wasilah tetap eksis sekalipun maqa>sidnya tidak ada. Contoh lain: tetap mencukur kepala sekalipun tidak lagi berambut dalam ibadah haji. Jadi, jika sesuatu itu merupakan hakikat tersendiri maka tidak harus –ketika ia dijadikan penyempurna- dicabut ketika yang disempurnakan dicabut.
Bacaan dan takbir dalam hal ini memiliki dua sisi, sisi dimana ia merupakan bagian dari salat dan sisi dimana ia adalah hakikat tersendiri. Pembahasan kita bukanlah pada sisi yang kedua tetapi dari sisi dimana ia merupakan penyempurna salat sehingga kedudukannya seperti sifat dan mausuf. Dan sifat mustahil adanya ketika tiak ada mausuf karena sifat merupakan wujud yang secara akal tidak mungkin berdiri sendiri. Dengan demikian tidak benar pernyataan bahwa penyempurna tetap ada sekalipun yang disempurnakan olehnya tidak ada.
Adapun masalah wasilah, masalah lain. Akan tetapi perumpamaan kita di sini adalah adanya wasilah menjadi bagian dari tujuan dimana ia diciptakan karenanya, sehingga tidaklah mungkin –dalam kondisi ini-- wasilah tetap ada ketika tujuan tidak ada lagi, kecuali ada dalil yang menetapkan keberadaannya (tetap ada) sehingga menjadi tujuan tersendiri. Dan jika kemudian ia ditarik menjadi wasilah bagi tujuan yang lain, tidak mengapa. Karena itu, orang yang tidak mempunyai rambut sekalipun tetap menyisirkan pisau cukur di atas kepalanya.
Dengan kaidah ini pula maka benar jika pisau cukur diletakkan dan disisirkan di atas kepala seorang yang dilahirkan dalam keadaan sudah terkhitan, berdasarkan kenyataan bahwa meletakkan dan menyisirkan di sini merupakan tujuan tersendiri. Jika tidak maka tidak sah. Kaidahnya sendiri benar dan bantahan terhadapnya tidaklah mampu membatalkannya. Namun Allah swt yang lebih mengetahui yang gaib dan Maha Bijaksana.
Penjelasan Ketiga: Sesungguhnya d}arūriyah dengan yang lainnya bagaikan al-mausuf dengan sifatnya. Dan sudah diketahui bahwa al-mausuf tidak tercabut dengan tercabutnya sebagian sifatnya. Seperti itulah masalah kita ini.
Salat misalnya, jika zikir, bacaan atau takbir atau selain dari itu, yang termasuk sifatnya batal karena suatu sebab, maka salat itu sendiri tidak ikut batal.
Jika penipuan dan ketidaktahuan pembeli tercabut, tidak berarti jual beli itu sendiri turut batal. Seperti jual beli kayu atau pakaian yang jelek, buah pala dan sejenisnya (memiliki kulit buah yang hanya dibuang nantinya) atau apa-apa yang tidak diketahui secara pasti di tanah atau didalamnya seperti wortel, umbi-umbian ataupun ukuran kebun dan sebagainya.
Demikian pula, jika al-mumatsalah dalam qis}a>s} tercabut, tidaklah berarti qishash dengan sendirinya batal. Hakikat yang paling dekat yang dapat menjelaskan ini semua adalah hakikat sifat dan mausuf sebagaimana sifat tidak harus membatalkan mausuf jika ia sendiri batal. Kecuali jika sifat itu za>ti> (unsur yang tidak terpisahkan) dimana ia menjadi bagian dari hakikat mausuf, maka ia menjadi rukun diantara rukun-rukun hakikat serta salah satu qaidah dari al-as}lu itu sendiri sehingga al-as}lu rusak dengan rusaknya salah satu qaidahnya. Contoh: ruku’, sujud dan yang semacamnya dimana salat rusak dengan rusaknya salah satu diantaranya –dengan catatan: bagi yang mampu melakukannya--. Tidak ada keraguan dalam masalah ini. Dan bagian yang sifatnya seperti ini bukanlah merupakan d}aru>riyah, h}a>jiyah ataupun tah}siniyah.
Kita tidak mengatakan bahwa diantara sifat-sifat salat yang sempurna ialah ia tidak dilakukan di tempat atau di rumah hasil jarahan. Juga diantara kesempurnaan penyembelihan ialah dnegan pisau yang bukan hasil rampokan. Sekalipun demikian, segolongan ulama berpendapat bahwa salat dan penyembelihan di sini batal. Kalau begitu, maka kebatalan sifat yang menyebabkan kebatalan mausuf.
Yang kita katakan adalah barang siapa yang berpendapat bahwa salat dan penyembelihan dalam masalah ini sah maka itu berdasarkan ketentuan di atas. Dan barang siapa yang berpendapat akan kebatalannya maka ia mendasarkan bahwa bagian ini adalah zati>, sehingga salat dengan sendirinya dilarang; dikarenakan semua rukunnya –yang merupakan wujud yang diusahakan-- juga hasil dari rampokan disebabkan rukun-rukun tersebut adalah wujud yang dihasilkan di tempat rampokan. Jadi keharaman al-as}lu kembali kepada keharaman wujud yang dihasilkan. Dengan demikian salat di sini dengan sendirinya dilarang. Sama halnya larangan salat pada dua sisi siang (salat sunnah setelah salat ashar) dan puasa pada hari raya.
Demikian pula penyembelihan ketika pisau dilarang digunakan karena penggunaannya dari rampokan, maka menyembelih pun ikut terlarang sehingga penyembelihan dengan sendirinya dilarang. Dengan demikian kebatalan merambah al-as}lu disebabkan batalnya bagian yang merupakan za>ti>  berdasarkan pandangan ini.
Dari sini tergambar kejelasan dalam pembahasan yang menjadi sumber perbedaan pendapat dalam masalah salat di rumah hasil rampokan. Akan tetapi semua ini tidak menyebabkan pembahasan kita ini tentang al-as}lu cacat, karena sebelumnya tidak tergambar adanya perbedaan sebab dirasakan masuk akal. Perbedaan yang sebelumnya tergambar ada pada masalah memasukkan al-furu’ ke dalam al-as}lu atau tidak menggolongkan ke dalamnya.
Penjelasan Keempat:  Terdapat beberapa sisi dalam penjelasan ini, yaitu:
Pertama: Setiap tingkatan ketika ia berbeda dalam kekuatan dan posisi – d}arūriyah yang paling kuat lalu disusul h}a>jiyah kemudian tah}siniyah—namun saling terkait satu dengan yang lainnya, maka pembatalan oleh yang lebih ringan/lemah merupakan keberanian terhadap yang lebih kuat darinya serta celah unutk merusaknya sehingga ia bagaikan daerah terlarang baginya dan yang mengembala disekitar daerah larangan sangatlah dekat atau hampir masuk didalamnya. Maka yang merusak penyempurna sama halnya ia perusak terhadap yang disempurnakan.
Salat misalnya, ia memiliki penyempurna selain berbagai rukun dan fardu-fardunya. Sudah dimaklumi bersama bahwa merusak penyempurna mengarah kepada kerusakan fardu-fardu dan rukun, oleh karena yang ringan merupakan jalan kepada yang berat. Perhatikanlah sabda Rasulullah saw, “pengembala di sekitar daerah larangan, hampir-hampir ia jatuh ke dalamnya.” Dan Sabda Rasulullah saw, “Allah melaknat seorang pencuri yang mencuri sebutir telur lalu ia pun dipotong tangannya, dan mencuri seutas tali lalu ia dipotong tangannya.” Juga seseorang pernah berkata, “sesungguhnya aku meletakkan tirai penghalang antara diriku dan yang diharamkan sekalipun aku tidak mengharamkannya.”
Inilah sebuah dasar yang qat’i yang disepakati dan akan dikemukakan lagi pada bagian kedua dari kitab ini.
Seorang yang berani terhadap yang ringan dengan cara merusaknya maka terbuka baginya untuk berani terhadap yang lainnya. Demikianlah seorang yang berani merusaknya maka ia akan berani terhadap d}arūriyah. Karena itu, terkadang dalam pembatalan penyempurna secara mutlak menyebabkan pula pembatalan d}arūriyah ditinjau dari sudut apa saja.
Artinya, ia meninggalkan penyempurna dan merusaknya secara mutlak serta tidak melakukannya. Kalaupun ia melakukannya maka hanya sedikit. Atau ia melaksankan sejumlah penyempurna jika penyempurna memang banyak, namun tetap yang ditinggalkan atau yang dirusak lebih banyak. Karena itu jika seorang membatasi salatnya dengan fardu-fardunya saja maka salatnya tidak dianggap baik, bahkan lebih dekat kepada sekedar salat. Dari sini, ada yang mengatakan salatnya bahkan batal. Juga dalam jual beli, jika tidak ada yang merupakan penyempurna seperti tidak adanya penipuan dan pembodohan maka hampir tidak tercapai maksud dan tujuan akad dari penjual dan pembeli atau salah satu dari keduanya. Sehingga ada atau tidak adanya akad, lebih baik dibanding jika ia ada. Demikianlah seterusnya.
Kedua: Semua tingkatan jika dibandingkan dengan yang lebih kuat darinya maka bagaikan sunnat dengan fardu. Menutup aurat dan mengahdap kiblat misalnya, jika dibandingkan dengan salat itu sendiri maka ia bagaikan sunnat terhadapnya. Begitu pula dengan membaca surah (setelah al-fatihah), takbir dan tasbih. Demikain pula makanan dan minuman yang bukan najis dan bukan pula milik orang lain serta disembelih sebelumnya (jika ia hewan), jika ditinjau dari kelangsungan hidup manusia maka ia bagaikan sunnat. Juga adanya barang dagangan diketahui serta dapat dimanfaatkan secara syar’i dan seterusnya jika ditinjau dari jual beli itu sendiri maka sifat-sifat tersebut bagaikan sunnat terhadapnya.
Sudah menjadi ketetapan –dalam bab al-ahkam- bahwa sesuatu yang dianjurkan secara parsial bisa naik menjadi sesuatu yang wajib secara menyeluruh. Maka jika yang mandub dirtinggalkan secara mutlak maka itu sama dengan meninggalkan suatu rukun di antara rukun-rukun yang wajib dikarenakan ia secara keseluruhan sudah menajdi wajib padanya. Demikian pula jika yang sama kedudukannya dengan mandub atau yang serupa dengannya ditinggalkan. Berdasarkan ini pula, sah jika dikatakan bahwa pembatalan terhadap penyempurna secara mutlak terkadang menyebabkan pembatalan terhadap d}arūriyah dari sudut apa saja.
Ketiga: Keseluruhan h}ājiyah dan tah}siniyah bisa naik menjadi salah satu bagian dari d}arūriyah, oleh karena kesempurnaan d}arūriyah –dimana ia sebagai d}arūriyah - dan baik jika sekiranya mukallaf mendapat keluasan dan kelonggaran di dalamnya, dan bukan kesulitan dan kesempitan. Demikian juga perkara nilai dan tradisi, akhlak yang mulia (di semua bidang) tetap ada dan terjaga bersamanya sehingga orang-orang yang berakal mampu melihatnya sebagai sebuah kebaikan. Karena itu, jika ia ditinggalkan maka bagian d}arūriyah mengenakan pakaian adalah suatu yang sulit, dan berlawanan dengan apa yang dianggap baik oleh adat. Selanjutnya kewajiban d}arūriyah menjadi beban dan tidak jelas dalam pandangan dimana syariat diletakkan di atasnya. Sementara dalam hadis, Rasulullah saw bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Jadi seakan-akan jika penyempurna hilang maka yang wajib tidak terwujud juga sesuai dengan kehendaknya dan ini merupakan cacat yang jelas bagi yang wajib tersebut. Adapun jika cacat yang ada pada penyempurna d}arūriyah tersebut pada sebagian saja atau pada sisi yang ringan saja darinya dan tidak sampai menghilangkan keindahan serta tidak menutup pintu kelapangan darinya, maka ia tidak sampai menghilangkannya, dan ini jelas.
Keempat: Setiap h}ājiyah dan tah}siniyah membantu bagi d}arūriyah serta penghibur dan perias bagi wajahnya yang istimewa; apakah sebagai pengantar baginya, teman atau pengikut. Berdasarkan semua ini, yang jelas ia dikelilingi pelayan yang siap membantu. Ia pun lebih pantas dan berhak terwujud dan terlaksana dengan baik.
Demikian juga sesungguhnya salat misalnya, jika didahului dengan taharah maka ia pun merasakan kesiapan untuk sebuah perkara besar dan agung. Ketika ia menghadap kiblat dan berhadapan, ia merasakan kehadiran yang dihadapi olehnya. Tatkala ia menghadirkan niat penghambaan (ta’abbud), ia pun membuahkan ketundukan, kepatuhan dan ketenangan. Lalu ia masuk kedalamnya sesuai dengan tahapan-tahapannya dengan menambahkan (bacaan) surah sebagai pelengkap terhadap Ummul Qur’an (al-Fatihah) yang fardu karena semuanya adalah Kalam Tuhan juga tempat ia mengahadap. Saat ia bertakbir, bertasbih dan bertasyahhud maka kesemuanya itu adalah peringatan bagi hati semoga hati terbangun dari sikap lalai untuk bermunajat kepada Tuhannya dan berdiri di hadapan-Nya. Demikian seterusnya. Dan jika ia mendahului salatnya dengan salat sunnah maka itu adalah tahapan baginya dan upaya menghadirkan hati dan jiwa di hadapan-Nya. Dan ketika ia mengikutkannya pula dengan salat sunnah maka ia pantas karena ia telah menghadirkan hati dan jiwanya dalam salat fardu.
Di sini tergambar bahwa bagian-bagian salat dijadikan tidak lepas dari zikir yang dibarengi dengan amal (perbuatan) agar lisan dan anggota tubuh sejalan di atas satu irama, yaitu hadir di hadapan Allah swt dengan kepatuhan, ketundukan, pengagungan dan penghambaan dan tidak ada satu titik pun darinya yang sepi dari zikir dan amal sehingga tertutup pintu kelengahan dan kelalaian serta bisikan setan.
Jika anda bisa melihat penyempurna yang beredar di sekitar darah larangan d}arūriyah, ini menjadi pelengkap baginya serta penguat di sampingnya. Sehingga jika ia sepi darinya atau sebagian besar darinya sepi dari penyempurna maka itu merupakan cacat baginya. Demikianlah semua d}arūriyah beserta penyempurna berjalan di atas tahapan-tahapan kenyataan ini, yang dapat dipahami oleh orang-orang yang merenunginya.
Penjelasan Kelima: Sebelumnya sudah jelas. Oleh karena d}arūriyah terkadang rusak disebabkan rusaknya penyempurna-penyempurnanya maka penjagaan terhadap penyempurna tersebut –demi d}arūriyah itu sendiri- sangatlah dituntut. Dan jika ia merupakan penghias dimana kedudukan d}arūriyah tidaklah tampak kecuali dengannya sangat maka sangat benar jika ia tidak diabaikan/ditinggalkan.
Berdasarkan ini semua maka jelas bahwa tujuan utama dari ketiga bagian yang ada (d}arūriyah, h}ājiyah dan tah}siniyah) adalah menjaga dan memelihara yang pertama yaitu bagian d}arūriyah. Ini pula yang menajdi perhatian di semua agama yang tidak lagi diperdebatkan sebagaimana perdebatan mereka dalam masalah furu‘. Inilah yang menjadi pokok agama, dasar dan pondasi syariat serta ruang lingkup agama.
Penjelasan tentang Sisi untuk Mengenal Maqas}id Syari‘ah dengan Netral
Pasal
Bagian ini mencakup pembahasan yang sangat banyak, yang pada pembahasan sebelumnya telah terulang beberapa kali, dan  masih akan banyak lagi pembahasan seperti itu, tetapi harus ada penutup dari pembahasan ini sebagai penjelas dan mendeskripsikan kesempurnaan maksudnya dengan izin Allah swt.
Seseorang boleh saja berkata: pembahasan-pembahasan terdahulu didasarkan pada pengetahuan tentang maksud syariat, lalu apa yang bisa digunakan untuk mengetahui hal mana yang menjadi maksud syariat dan mana yang tidak?
Jawabannya: bahwa pertimbangan dalam hal ini dibagi sesuai dengan pembagian logis dalam tiga bagian:
Pertama: dapat dikatakan bahwa maksud syariat tidak dapat kita ketahui sampai kita memiliki sesuatu yang mendeskripsikannnya. Hal tersebut tidak akan kita dapatkan kecuali melalui penjelasan bahasa, terpisah dari observasi makna yang diperlukan untuk induksi, serta tidak memerlukan lafal secara linguistik, baik dengan mengatakan bahwa tuntutan-tuntutan syariat tidak memperhitungkan maslahat seorang hamba pada kasus tertentu, atau dengan mengatakan tidak harus memperhitungkan sebuah maslahat. Meskipun terjadi pada beberapa kasus, namun kita tidak dapat mengetahuinya sama sekali, sehingga kita tidak bisa mengatakannya sebagai analogi. Hal ini dipertegas dengan riwayat yang menolak logika dan analogi. Maka kesimpulannya adalah melihat makna lahiriyah secara mutlak, yaitu pendapat Z{ahiriyah yang membatasi wilayah ilmu pengetahuan tentang maksud syariat dengan hal lahiriyah dan teks. Semoga hal ini akan dibahas pada pembahasan Qiyas insya Allah.
Kedua: dari sudut lain yang lain, yang terdiri dua jenis: Pertama: klaim bahwa maksud syariat tidak dalam hal lahiriyah ini tidak seperti yang dipahami, tetapi “maksud” adalah sesuatu yang lain di balik itu. Hal ini tidak diterima dalam semua syariat sehingga tidak tersisa secara lahiriyah pegangan yang memungkinkan untuk menyentuh pengetahuan tentang maksud syariat. Ini adalah pendapat setiap orang yang ingin menghancurkan syariat. Orang-orang tersebut adalah golongan “al-Ba>t}iniyyah”, ketika mereka berkata tentang imam yang ma‘sum, maka mereka tidak dapat melakukannya kecuali mencederai teks dan permukaan syariat agar menjadi legitimasi terhadap pendapat mereka. Pendapat ini condong kepada kekufukuran, hanya kepada Allah-lah tempat berlindung. Sebaiknya kita tidak memperhatikan kata-kata mereka. Kita pindah pada jenis lain yang dekat dengan pertimbangan pertama, yaitu jenis kedua, yang mengatakan: bahwa maksud syariat adalah membimbing kita kepada makna lafal, yaitu tidak mempertimbangkan lahiriyah dan teks, tetapi mutlak hanya secara makna. Jika makna teks bertentangan dengan makna teoritisnya, maka makna tekstual dikesampingkan dan mendahulukan makna teoritisnya. Hal ini bisa berlandaskan atas kewajiban menjaga maslahat secara mutlak, atau tidak wajib tetapi dengan penelitian makna secara seksama sehingga lafal-lafal syariat mengikuti makna teoritis. Ini adalah pendapat “orang-orang yang mendalami Qiyas” yang lebih mendahulukannya daripada teks.
Ketiga: menggunakan dua hal ini bersamaan, yaitu tidak  makna teks dan tidak pula sebaliknya, agar syariat berjalan pada satu sistem sehingga tidak menimbulkan pertentangan dan perdebatan. Pendapat inilah yang lebih banyak diikuti ulama yang ra>sikh, yang bisa dijadikan patokan untuk mengetahui maksud syariat. Maka kami katakan—Semoga Allah memberi bimbingan-Nya—hal ini bisa diketahui dari beberapa segi:
Salah satunya: Hanya pada perintah dan larangan primer yang jelas, karena perintah diketahui bahwa ia adalah sesuatu untuk melaksanakan tindakan. Terjadinya suatu tindakan ketika ada perintah adalah maksud syariat. Begitu pula dengan larangan yang diketahui untuk meniadakan tindakan atau menolaknya. Tidak terjadinya suatu perbuatan adalah maksud syariat, sedangkan melakukannya adalah menyalahi maksud syariat, sebagaimana tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan adalah melanggar syariat. Ini adalah pendapat yang jelas dan integral bagi mereka yang menganggap maksud syariat dalam perintah dan larangan tanpa melihat ‘illat, dan bagi mereka yang menganggap ‘illat dan maslahat sebagai esensi syariat.

Sumber: Abu> Ish}a>q al-Sya>t}ibi>. al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Syari>‘ah. Jilid I. Juz II. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah. t.th. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar