Maqa>sid al-Syari>‘ah Dan Metode Memahaminya Menurut al-Ima>m al-Sya>t}ibi>
by. Andi Yaqub
BAGIAN
KETIGA DARI KITAB AL-MUWA<FAQA<T
(المُوَا فَقَا تُ)
كتَابُ المَقَاصِد (BAB
AL-MAQĀS{ID)
Maqa>s}id yang dibahas terbagi atas dua,
yaitu: maksud sya>ri‘ (qas}du al-sya>ri‘) dan maksud mukallaf
(qas}du al-mukallaf).
Yang pertama merupakan maksud sya>ri‘ dalam menetapkan syariat dan
selanjutnya maksud sya>ri‘
dalam menetapkan syariat agar dapat dipahami. Setelah itu membebankan (kepada mukallaf) sesuai tuntutan dan kehendak
syariat itu sendiri. Dan yang terakhir adalah tujuan sya>ri‘ ketika mewajibkan para mukallaf berada dalam hukum syariat. Jadi ada empat bagian dalam
hal ini.
Dan
kami akan mengemukakan sebelum masuk pada pembahasan yang diinginkan, sebagai muqaddimah kala>miyah. Penjelasan
secara umum dalam masalah ini, yaitu bahwasanya penetapan berbagai hukum dan
syariat tidak lain bertujuan untuk kemaslahatan manusia secara langsung maupun
tidak langsung. Dan ini merupakan pernyataan yang mau tidak mau harus
dilengkapi dengan dalil sah tidaknya atau benar salahnya pernyataan tersebut.
Dan bukan tempatnya di sini untuk mempermasalahkannya. Dan telah terdapat
perbedaan pendapat dalam ilmu kalam, ketika al-Razi menganggap bahwa
hukum-hukum Allah swt. sama sekali tidak memiliki ‘illat (sebab, hikmah,
tujuan yang bisa dijelaskan) sebagaimana halnya perbuatan-perbuatan-Nya. Di
sisi lain, kaum Mu’tazilah sepakat bahwa hukum-hukum Allah swt. dapat
dijelaskan yaitu selalu memperhatikan kemaslahatan hamba, dan ini yang dipegang
oleh kebanyakan fuqaha kontemporer. Dan ketika ilmu us}ūl
fiqh dipaksa
menetapkan ‘illat bagi hukum-hukum syariat yang ada, maka ditetapkan
bahwa ‘illat di sini berarti tanda-tanda (definisi, pemahaman, dst) yang
memperkenalkan atau yang dapat mendefinisikan hukum-hukum tersebut secara
khusus. (Kita tidak akan membahas lebih dalam masalah ini).
Yang
dipegang atau yang menjadi sandaran adalah bahwasanya kita mencari dan berusaha
mendapatkan hasil dan kesimpulan dengan berbagai dalil yang ada (istiqra>) bahwa syariat ditetapkan
demi kemaslahatan manusia, dan hal ini tidak dibantah oleh ar-Razi maupun yang
lainnya. Maka sesungguhnya Allah swt. berfirman tentang diutusnya Rasul dan
inilah yang merupakan tujuan dasar: “(mereka
Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya
Rasul-rasul itu...” (QS al-Nisa’/4:165). “Dan
tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh
alam.” (QS al-Ambiya>’/21:107). Dan firman-Nya tentang asal-usul
penciptaan:… “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan
adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di
antara kamu yang lebih baik amalnya…” (QS Hu>d/11:7). “Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS al-Zariyat/51:56) “yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya…” (QS al-Mulk/67:2)
Adapun
penetapan-penetapan ‘illat bagi perincian-perincian hukum yang ada dalam
al-Qur’an dan sunah maka sangatlah banyak, misalnya setelah Allah swt. merinci
tahapan-tahapan wudu lalu Dia menjelaskan: “….Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.” (QS al-Maidah/5:6) dan Firman Allah swt mengenai puasa:
“… diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah/2:183). Dan tentang salat: “…
Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar…”
(QS al-Ankabut/29:45). Tentang arah kiblat: “…maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu…” (QS al-Baqarah/2:150).
Mengenai jihad: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,
karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya…” (QS al-Hajj/22:39). Tentang qis}a>s}. “Dan dalam qis}a>s} itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal…” (QS al-Baqarah/2:179).
Dan tentang penegakan tauhid: “…Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)" (QS al-A‘raf/7:172).
Jika
metode istiqra> mampu menjelaskan dan
menunjukkan ini semua, dan mendatangkan manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, maka kita dapat memastikan bahwa masalah ini berlaku bagi semua
rincian hukum-hukum syariat yang ada. Dan dari kalimat ini maka metode qiya>s dan ijtihad diakui dan
digunakan sesuai dengan ketentuan-ketentuannya, hanya saja kita masih perlu
membahas apakah qiya>s maupun ijtihad dalam hal ini
wajib atau tidak, diserahkan kepada ketentuan-ketentuan yang ada.
Bagian Pertama
Penjelasan tentang maksud sya>ri‘ dalam menetapkan syariat dan
terdapat beberapa masalah.
Masalah
Pertama:
Pembebanan-pembebanan
syariat bermuara pada pemeliharaan dan penjagaan bagi maksud syariat itu
sendiri (maqa>s}id al-syari‘ah) terhadap para makhluk. Maqa>s}id al-syari‘ah ini terdiri dari tiga, yaitu:
(1) D{arūriyah, (2) H{a>jiyah, dan (3)Tah}si>niyah.
D{arūriyah artinya sesuatu yang wajib atau
mutlak ada demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia, apabila ia tidak ada
maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya kehidupan. Begitu pula
kemaslahatan, kebahagiaan dan keselamatan akhirat akan luput dan binasa sehingga
yang tersisa hanyalah kerugian yang nyata.
Pokok-pokok
ibadah kembali pada menjaga agama dari segi al-wujūd, seperti: iman, mengucapkan dua
kalimat syahadat, menegakkan salat, mengeluarkan zakat, berpuasa, menunaikan
haji, dan sebagainya. Sedangkan adat (nilai-nilai dan tradisi kemasyarakatan)
kembali kepada menjaga jiwa dan akal dari segi al-wujūd, seperti: mengkonsumsi makanan,
minuman, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya. Sementara muamalah kembali
pada menjaga keturunan (kelangsungan kehidupan manusia) dan harta dari segi al-wujūd, begitu pula menjaga jiwa dan
akal, akan tetapi melalui perantaraan adat. Adapun jina>yat– menggabungkannya menyeru
kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran–kembali pada menjaga seluruh sisi dan
aspek kehidupan dari segi al-‘a}dam.
Ibadah
dan adat sudah kita berikan contoh. Adapun muamalah kembali kepada kemaslahatan
manusia dengan sesamanya, seperti berpindahnya hak milik dengan ‘iwad (alat tukar atau pengganti) atau
tanpa ‘iwad, atau dengan akad
kepemilikan budak atau manfaat jasa dan barang, Sedangkan jinayat –sebagaimana
yang sudah dijelaskan– berarti membatalkan (meniadakan) sehingga disyariatkan
pembatalan tersebut yang dapat menghindarkan serta merusak kemaslahatan
manusia, seperti: qisa}s dan diya>t untuk keselamatan jiwa, had untuk menjaga akal,
penjaminan nilai harta untuk mejaga keturunan, penjaminan untuk menjaga harta,
dan sebagainya.
Jadi
d}arūriyah itu ada lima , yaitu: menjaga dan memelihara agama,
jiwa, keturunan, harta dan akal. Dan ulama mengatakan bahwa kelima d}arūriyah ini menjadi perhatian semua
agama yang ada.
Adapun
h}a>jiyah, berarti sesuatu yang
dibutuhkan atau yang sebaiknya ada agar dalam melaksanakannya leluasa dan
menghilangkan kesempitan yang biasanya engarah pada kondisi menyulitkan dan
menyusahkan, dan akhirnya tidak terlaksananya sesuatu yang dituntut. Jika hal
ini tidak diantisipasi, maka masuklah mukallaf
–pada jumlah-- dalam kesempitan dan kesulitan sekalipun belum sampai pada
tingkat merusak dan membahayakan kemaslahatan umum.
H{a>jiyah ini berlaku pada masalah
ibadah, adat, muamalah dan jina>yat. Dalam ibadah misalnya beberapa
keringanan yang diberikan sehubungan adanya kesulitan ketika sakit dan dalam
perjalanan. Dalam adat, seperti membolehkan berburu, menikmati berbagai hal
yang halal seperti makanan, minuman, tempat tinggal, kendaraan, dan sebagainya.
Dalam bidang muamalah seperti utang piutang, kerjasama bagi hasil, jual beli
secara salam (pesanan), jual beli barang yang diikutkan pada aqad atas yang
mengikuti barang tersebut seperti buah dengan pohon, harta budak, Dan dalam jinayat
seperti hukum kolusi, melukai, pembagian harta, pembayaran diyat bagi yang membunuh, jaminan
pekerja/buruh, dan yang semisal dengan itu.
Adapun
tah}siniyah berarti mengambil apa-apa
yang pantas dan masuk akal berupa akhlak-akhlak yang baik dan perilaku yang
mulia serta menjauhi hal-hal yang rendah dan hina yang sebelumnya dihindari dan
dinilai oleh akal sehat sebagai sesuatu yang tidak pantas. Bagian ini dihimpun
oleh satu bidang yang diistilahkan dengan maka>rimul akhlaq.
T{ahsiniyah berlaku pada semua bidang di
atas.
Dalam
ibadah misalnya: menghilangkan najis–termasuk semua bagian thaharah--, menutup
aurat, memakai perhiasan (atau pakaian yang bagus dan pantas), bertaqarrub
dengan berbagai kebajikan yang sunnah (bukan wajib atau fardu) seperti sedekah
dan semacamnya. Sedangkan adat, misalnya adab makan dan minum, menjauhi makanan
yang bernajis atau minuman yang kotor, berlebih-lebihan atau boros. Dalam
muamalat seperti: larangan menjual barang-barang yang dikategorikan najis atau
menjual kelebihan air dan rumput, pencabutan hak bersaksi dan hak memimpin dari
para hamba sahaya atau budak, begitu pula hak memimpin dari para wanita serta
hak menikahkan diri mereka sendiri dan sebagainya. Sedangkan jina>yat, seperti larangan melakukan qis}a>s} terhadap seorang yang merdeka
akibat membunuh seorang budak begitupula larangan membunuh wanita, anak-anak
dan para pendeta dalam perang jihad.
Sedikit
contoh di atas menunujukkan bahwa yang lainnya yang searti dan sejalan
dengannya mengisyaratkan hal yang sama. Inilah contoh-contoh yang semuanya
kembali pada tradisi dan nilai-nilai luhur yang merupakan tambahan (pelengkap
dan penyempurna) bagi maslahat d}arūriyah dan h}a>jiah yang sebelumnya menjadi dasar
dan pokok dikarenakan ketiadaan nilai-nilai ini tidak serta merta meniadakan
(hal yang bersifat) d}arūriyah ataupun h}ajjiah. Ia
hanya sebagai pelengkap dan penghias.
Masalah Kedua:
Ketiga
tingkatan ini disertai dengan apa yang kita sebut dengan pelengkap atau
penyempurna, dimana jika tatimmah ini tidak ada maka tidak berarti
hikmahnya pun hilang atau cacat.
Pertama,
Menghukum dengan cara yang sama dalam qis}a>s} seperti yang dilakukan si
pembunuh misalnya yang merupakan contoh d}arūriyah, tidak ada suatu keharusan
untuk melakukannya dan tidak pula mesti oleh karena suatu kebutuhan mendesak
untuk melakukannya, akan tetapi itu hanya sebagai pelengkap dan penyempurna.
Begitu pula dengan nafkah yang berlaku umum, utang piutang atau upah yang
berlaku umum, larangan memandang wanita yang bukan muhrim, meminum sedikit
minuman keras (yang memabukkan), larangan riba, bersikap wara’/hati-hati dalam
perkara syubha>t, menampakkkan syiar-syiar agama
seperti salat berjamaah baik yag fardu maupun yang sunnat, begitu pula Salat
Jum’at, gadai dan menyaratkan ada saksi dalam transaksi jual beli; jika kita
mengatakan bahwa ini semua termasuk d}arūriyah.
Adapun
kedua (h}ajjiyah), misalnya
memberlakukan kufu’ (kesetaraan
antara pasangan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan), mahar mis\li untuk wanita yang belum baligh dimana hal ini bukan
merupakan sesuatu yang mutlak sebagaimana halnya kebutuhan nikah itu sendiri
bagi wanita yang belum baligh. Dan jika kita mengatakan bahwa jual beli
termasuk h}a>jiyah maka memberikan kesaksian,
gadai, termasuk penyempurna. Contoh lain: menggabungkan (jama’) antara dua salat ketika dalam perjalanan begitu pula seorang
yang sakit ketika ia khawatir kesadarannya akan hilang, dimana ini semua
merupakan takmilah bagi tingkatan ini. Oleh karena itu, jika ia tidak
disyariatkan maka berarti meniadakan unsur keringanan dan kemudahan.
Sedangkan
tingkat yang ketiga, maka sama halnya adab-adab membuang h}adas, sunnah-sunnah t}ah}arah,
meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan amalan-amalan ibadah sekalipun ia
tidak wajib, menginfakkan sebagian hasil usaha yang halal, memilih hewan untuk
kurban atau aqiqah serta budak untuk dimerdekakan dan sebagainya. Berangkat
dari contoh-contoh di atas, maka dapat dikatakan bahwa h}a>jiyah (contoh-contoh h}a>jiyah) merupakan penyempurna bagi d}arūriyah, dan tah}siniyah merupakan penyempurna bagi h}a>jiyah. Jadi d}arūriyah adalah asal atau pokok
kemaslahatan sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut. Insya Allah.
Masalah
Ketiga:
Setiap
pelengkap–sebagaimana halnya ia sebagai penyempurna memiliki syarat, yaitu
memberlakukannya tidak sampai membatalkan yang pokok (al-as}lu). Oleh karena itu, setiap penyempurna jika ia yang
diberlakukan maka akan mengakibatkan pembatalan terhadap al-as}lu. Dengan demikian ia tidak menjadi sebuah syarat. Ada dua alasan dalam hal
ini:
Pertama,
oleh karena membatalkan al-as}lu
(pokok) berarti juga membatalkan penyempurna, dikarenakan penyempurna dengan
yang disempurnakan bagaikan sifat dengan mausūf (yang disifati). Maka ketika
pemberlakuan sifat membawa kepada pengembangan mausūf maka menyebabkan pula
pengembangan sifat. Dengan demikian, pemberlakuan takmilah berdasarkan
pandangan atau logika ini menyebabkan ia justru tidak dianggap atau tidak
diberlakukan, dan ini mustahil serta tidak dapat dibayangkan. Dan sekiranya
mustahil, maka penyempurna yang tidak diberlakukan sementara al-as}lu diberlakukan tanpa ada
tambahan.
Kedua,
jika kita mengandaikan bahwa maslahat yang merupakan penyempurna dapat
tercapai dikala masla>h}at yang merupakan al-as}lu justru tidak tercapai maka
seharusnya maslahat al-as}liyah yang
dicapai terlebih dahulu karena keduanya merupakan sebuah rangkaian (hirarki).
Contoh:
menjaga kelangsungan hidup merupakan keharusan umum, sedangkan menjaga murū’ah (kemuliaan hidup) merupakan
kebaikan dan anjuran. Najis diharamkan demi menjaga murū’ah serta mempertahankan nilai-nilai
dan tradisi mulia, namun jika kondisi darurat memaksa memakan najis demi
kelangsungan hidup maka memakan najis lebih diutamakan.
Demikian
pula jual beli yang pada dasarnya d}arūriyah, sementara larangan penipuan
dan pembodohan di dalamnya merupakan penyempurna. Maka jika disyariatkan bahwa
tidak boleh terjadi penipuan secara mutlak maka niscaya jual beli tidak akan
terjadi. Seperti halnya sewa menyewa. Ia merupakan d}arūriyah, juga bisa h}a>jiyah. Sedang disyariatkan kehadiran salah satu barang yang
ditukarkan dalam transaksi termasuk penyempurna. Namun hal ini berlaku pada
jual beli barang bergerak karena bisa dilakukan dan tidak menyulitkan; tidak
pada barang yang tidak bergerak (tidak dihadirkan) kecuali akad salam. Dalam
sewa menyewa, hal ini tidak dapat dilakukan sehingga persyaratan akan tampak
dan jelas manfaat yang akan diperoleh justru akan menutup pintu mua>malah – dalam hal ini sewa menyewa
itu sendiri--. Padahal sewa menyewa dibutuhkan. Dengan demikian ia dibolehkan
sekalipun ‘iwad (upah atau barang
yang disewa) tidak dihadirkan saat akad. Contoh lain: melihat aurat untuk
tujuan pengobatan misalnya.
Begitu
pula dengan memerangi (jihad) penguasa yang zalim dan para ulama membolehkan.
Imam Malik berkata, : ”Jika jihad ini ditinggalkan, maka itu berarti menimpakan
mudarat kepada kaum muslimin.” Jadi jihad adalah d}arūriyah, sementara penguasa juga d}arūriyah. Adapun keadilan (dalam
memerintah) maka ia merupakan penyempurna dalam hal ini. Dan penyempurna jika
sampai membatalkan al-as}lu maka ia
tidak berlaku. Oleh karena itu, datanglah perintah jihad melawan penguasa yang
zalim yang diriwayatkan Rasulullah saw.
Juga
perintah salat di belakang (ma’mum)
para penguasa yang zalim. Oleh karena meninggalkannya berarti meninggalkan
perintah berjama’ah, sedangkan berjama’ah itu sendiri merupakan syiar agama
yang diperintahkan. Adapun keadilan merupakan penyempurna yang dituntut dalam
hal ini. Namun al-as}lu tidak batal disebabkan adanya penyempurna.
Diantaranya
pula, menyempurnakan pelaksanaan rukun-rukun salat merupakan penyempurna bagi d}arūriyah yaitu salat itu sendiri. Jika
pelaksanaannya justru mengarah pada tidak dilaksanakannya salat –bagi seorang
yang sakit yang tidak mampu lagi misalnya--maka penyempurna dalam hal ini
batal. Atau dalam usaha menyempurnakannya menimbulkan kesulitan, maka kesulitan
ini harus dihilangkan bagi orang yang tidak mampu menyempurnakannya dan ia salat
sesuai dengan kelonggaran-kelonggaran yang diperuntukkan kepadanya.
Contoh lain: menutup aurat yang
merupakan kesempurnaan salat. Jika ia diwajibkan secara mutlak, maka tentunya salat
tidak dapat terlaksana bagi orang yang memang tidak memiliki penutup bagi auratnya.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh lain dalam syariat ini yang semuanya
berjalan dan memperlihatkan hal yang senada.
Akhirnya,
lihat pula apa yang dikatakan al-Ghazali dalam Kitab Al-Mustazhari tentang
seorang imam yang belum memenuhi syarat-syarat menjadi imam salat sepenuhnya,
lalu diqiyaskanlah contoh-contoh lain
yang sama kepadanya.
Masalah
Keempat:
Al-Maqa>s}id al-d}arūriyah merupakan dasar (al-as}lu) bagi h}a>jiyah dan tah}siniyah.
Jika
diibaratkan, d}arūriyah ini rusak secara mutlak maka
tentunya h}a>jiyah dan tah}siniyah juga
secara mutlak rusak. Namun jika pada awalnya yang rusak adalah keduanya, maka
tidak harus d}aruriyah ikut rusak secara mutlak. Memang benar, rusaknya tah}siniyah secara mutlak terkadang menyebabkan
rusaknya h}a>jiyah ditinjau dari sudut mana saja.
Dan terkadang rusaknya h}a>jiyah secara mutlak terkadang
menyebabkan rusaknya pula d}arūriyah ditinjau dari sudut mana saja.
Karena itu, jika d}aruriyah dijaga maka hendaknya h}a>jiyah juga ikut dijaga, dan jika h}a>jiyah dijaga maka hendaknya tah}}siniyah
juga ikut dijaga, jadi sudah valid bahwa tah}siniyah
membantu h}a>jiyah dan h}a>jiyah membantu d}arūriyah. Dan sesungguhnya d}arūriyah yang menjadi tuntutan utama.
Inilah
lima sub tema
yang harus dijelaskan lebih lanjut, yaitu:
Pertama, d}arūriyah merupakan dasar bagi h}a>jiyah dan tah}siniyah.
Kedua, rusaknya d}arūriyah mutlak menyebabkan rusaknya h}a>jiyah dan tah}siniyah.
Ketiga, rusaknya h}a>jiyah dan tah}siniyah tidak mutlak menyebabkan
rusaknya
d}arūriyah.
Keempat, terkadang rusaknya tah}siniyah secara mutlak atau h}a>jiyah secara mutlak menyebabkan
rusaknya d}arūriyah ditinjau dari sudut mana saja.
Kelima, menjaga h}a>jiyah dan tah}siniyah
hendaknya dilakukan demi d}arūriyah.
Penjelasan
Pertama: Sesungguhnya
maslahat agama dan dunia dibangun berdasarkan kewajiban menjaga dan memelihara
kelima poin d}arūriyah yang telah dikemukakan
sebelumnya. Maka jika dikatakan eksistensi kehidupan dunia ini dibangun
diatasnya sehingga sekiranya ia rusak maka tidak ada kehidupan yang tersisa
bagi dunia ini –yaitu yang khusus bagi para mukallaf
dan pembebanan terhadap mereka--.
Begitu pula urusan akhirat tidak
dapat terwujud kecuali dengannya.
Sehingga
jika tidak ada agama maka tidak ada pula balasan yang diharapkan. Dan jika
tidak ada mukallaf maka tidak ada
pula yang mengamalkan agama. Jika tidak ada akal maka tidak ada pembebanan
beragama. Jika tidak ada keturunan maka tidak ada nilai dan tradisi yang tersisa.
Jika tidak ada harta maka kehidupan tidak lagi tersisa –harta yang dimaksud
adalah harta yang dimiliki dan dikuasai penuh oleh pemiliknya tanpa ada orang
lain yang turut memilikinya, baik itu makanan, minuman, pakaian dengan berbagai
jenisnya serta yang dikategorikan harta. Kesemuanya ini jelas dan tidak
diragukan oleh seorang yang mengetahui perkara-perkara dunia dan bahwasanya ini
merupakan bekal bagi kehidupan akhirat.
Jika
hal ini sudah diyakini bersama maka h}a>jiyah sesungguhnya merupakan penjaga
dalam kawasan penjagaan ini dikarenakan ia senantiasa menjadi penyempurna bagi d}aru>riyah,
dimana kesukaran dan kesulitan dapat teratasi dengan melaksanakannya serta
cenderung membawa para mukallaf ke
sikap pertengahan; bukan berlebih-lebihan ataupun mengurangi. Contoh-contoh
yang sudah dikemukakan sebelumnya menunjukkan hal tersebut, seperti tidak
dibolehkannya penipuan dan pembodohan (ketidaktahuan pembeli) dalam jual beli,
dihilangkannya kesulitan disebabkan sakit sehingga si sakit boleh salat dalam
keadaan duduk atau berbaring, juga meninggalkan puasa hingga ia sehat. Demikian
pula seorang musafir yang meninggalkan puasa dan mengqasar salatnya dan
seterusnya. Jika ini semua dipahami maka seorang yang berakal tidak akan ragu
bahwa semua perkara h}a>jiyah ini merupakan cabang yang tidak
terlepas dari perkara d}arūriyah.
Demikian
pula dengan tah}siniyah, oleh karena
ia menyempurnakan h}a>jiyah atau d}arūriyah. Maka jika menyempurnakan d}arūriyah, itu sudah jelas adanya. Dan jika
ia menyempurnakan h}a>jiyah maka h}a>jiyah merupakan penyempurna d}arūriyah. Sedang penyempurna bagi
penyempurna (yang lain) merupakan penyempurna pula. Dengan demikian tah}siniyah adalah cabang bagi d}arūriyah yang menjadi pokok/dasar (al-as}lu) dan yang dibangun atasnya.
Penjelasan
Kedua: Tampak
pada penjelasan sebelumnya bahwa jika diyakini d}arūriyah adalah tujuan pokok dan yang
lainnya dibangun atasnya sebagai salah satu sifat atau cabang darinya. Maka
apabila ia rusak maka pastilah rusak pula kedua turunannya (yaitu h}a>jiyah
dan tah}siniyah). Oleh karena al-as}lu,
maka jika ia rusak maka terlebih al-far‘u
(cabang) yang sudah pasti akan rusak pula.
Maka
jika jual beli dicabut dari syariat ini maka pasti penipuan dan pembodohan di
dalamnya tidak akan terjadi juga. Jika hukum qis}ās} dicabut maka al-muma>s\alah
di dalamnya tidak mungkin terjadi juga, dikarenakan ia merupakan salah satu
sifat (bagian) darinya, dan mustahil sifat terwujud tanpa ada mausuf (yang disifati). Demikian pula
ketika salat dicabut dari orang yang pingsan (tidak sadarkan diri) dan wanita haidh,
maka tidaklah mungkin terwujud dari keduanya bacaan-bacaan itu sendiri atau
takbir, atau berjamah, ataupun bersuci dari hadas\
atau najis. Dan jika ada hukum yang menetapkan suatu perkara lalu perkara
tersebut dicabut, namun hukum yang dimaksud tetap tertuju padanya, maka ia
merupakan sebuah kemustahilan mutlak. Dari sini diketahui bahwa salat ketika ia
dicabut maka dicabut pula bagian-bagian yang mengikuti dan menyempurnakannya,
seperti bacaan-bacaan, takbir, doa dan sebagainya dikarenakan ia merupakan
sifat yang mutlak baginya. Jadi, tidaklah benar jika dikatakan bahwa salatnya
yang dicabut sementara sifat atau bagian-bagiannya tidak dicabut.
Ini
pula yang kita katakan jika salat misalnya dilarang atau puasa dilarang seperti
salat setelah salat subuh hingga waktu duha dan setelah asar hingga magrib atau
puasa di hari raya. Maka semua yang menjadi sifat/bagian yang merupakan
penyempurna baginya berada di bawah larangan tersebut. Tidak mungkin salat
dilarang kecuali dengan melarang pula seluruh af’al dan aqwal di
dalamnya. Jadi penyempurna berada di bawah larangan atau termasuk yang dilarang
secara total.
Jadi
kita tidak mengatakan bahwa semuanya itu merupakan hakikat tersendiri yang
tidak termasuk larangan dalam hal ini, sehingga seacra mutlak tidaklah dilarang.
Dan jika ia tidak dilarang secara mutlak maka tidaklah mesti dicabut sekalipun
ia berposisi sebagai pengikut. Jadi rusaknya al-as}lu tidaklah harus menyebabkan rusaknya al-far‘u. dan juga karena perbandingan antara wasilah (perantara) dan maqa>sidnya
bagaikan taharah dengan salat; terkadang wasilah tetap eksis sekalipun maqa>sidnya tidak ada. Contoh lain:
tetap mencukur kepala sekalipun tidak lagi berambut dalam ibadah haji. Jadi,
jika sesuatu itu merupakan hakikat tersendiri maka tidak harus –ketika ia
dijadikan penyempurna- dicabut ketika yang disempurnakan dicabut.
Bacaan dan takbir dalam hal ini
memiliki dua sisi, sisi dimana ia merupakan bagian dari salat dan sisi dimana
ia adalah hakikat tersendiri. Pembahasan kita bukanlah pada sisi yang kedua
tetapi dari sisi dimana ia merupakan penyempurna salat sehingga kedudukannya
seperti sifat dan mausuf. Dan sifat
mustahil adanya ketika tiak ada mausuf
karena sifat merupakan wujud yang secara akal tidak mungkin berdiri sendiri.
Dengan demikian tidak benar pernyataan bahwa penyempurna tetap ada sekalipun
yang disempurnakan olehnya tidak ada.
Adapun
masalah wasilah, masalah lain. Akan
tetapi perumpamaan kita di sini adalah adanya wasilah menjadi bagian dari
tujuan dimana ia diciptakan karenanya, sehingga tidaklah mungkin –dalam kondisi
ini-- wasilah tetap ada ketika tujuan tidak ada lagi, kecuali ada dalil yang
menetapkan keberadaannya (tetap ada) sehingga menjadi tujuan tersendiri. Dan
jika kemudian ia ditarik menjadi wasilah
bagi tujuan yang lain, tidak mengapa. Karena itu, orang yang tidak mempunyai
rambut sekalipun tetap menyisirkan pisau cukur di atas kepalanya.
Dengan
kaidah ini pula maka benar jika pisau cukur diletakkan dan disisirkan di atas
kepala seorang yang dilahirkan dalam keadaan sudah terkhitan, berdasarkan
kenyataan bahwa meletakkan dan menyisirkan di sini merupakan tujuan tersendiri.
Jika tidak maka tidak sah. Kaidahnya sendiri benar dan bantahan terhadapnya
tidaklah mampu membatalkannya. Namun Allah swt yang lebih mengetahui yang gaib
dan Maha Bijaksana.
Penjelasan
Ketiga: Sesungguhnya
d}arūriyah dengan yang lainnya bagaikan al-mausuf dengan sifatnya. Dan sudah
diketahui bahwa al-mausuf tidak
tercabut dengan tercabutnya sebagian sifatnya. Seperti itulah masalah kita ini.
Salat
misalnya, jika zikir, bacaan atau takbir atau selain dari itu, yang termasuk
sifatnya batal karena suatu sebab, maka salat itu sendiri tidak ikut batal.
Jika
penipuan dan ketidaktahuan pembeli tercabut, tidak berarti jual beli itu
sendiri turut batal. Seperti jual beli kayu atau pakaian yang jelek, buah pala
dan sejenisnya (memiliki kulit buah yang hanya dibuang nantinya) atau apa-apa
yang tidak diketahui secara pasti di tanah atau didalamnya seperti wortel,
umbi-umbian ataupun ukuran kebun dan sebagainya.
Demikian
pula, jika al-mumatsalah dalam qis}a>s}
tercabut, tidaklah berarti qishash dengan sendirinya batal. Hakikat yang paling
dekat yang dapat menjelaskan ini semua adalah hakikat sifat dan mausuf sebagaimana sifat tidak harus
membatalkan mausuf jika ia sendiri
batal. Kecuali jika sifat itu za>ti>
(unsur yang tidak terpisahkan) dimana ia menjadi bagian dari hakikat mausuf, maka ia menjadi rukun diantara
rukun-rukun hakikat serta salah satu qaidah dari al-as}lu itu sendiri
sehingga al-as}lu rusak dengan rusaknya salah satu qaidahnya. Contoh:
ruku’, sujud dan yang semacamnya dimana salat rusak dengan rusaknya salah satu
diantaranya –dengan catatan: bagi yang mampu melakukannya--. Tidak ada keraguan
dalam masalah ini. Dan bagian yang sifatnya seperti ini bukanlah merupakan d}aru>riyah,
h}a>jiyah
ataupun tah}siniyah.
Kita
tidak mengatakan bahwa diantara sifat-sifat salat yang sempurna ialah ia tidak
dilakukan di tempat atau di rumah hasil jarahan. Juga diantara kesempurnaan
penyembelihan ialah dnegan pisau yang bukan hasil rampokan. Sekalipun demikian,
segolongan ulama berpendapat bahwa salat dan penyembelihan di sini batal. Kalau
begitu, maka kebatalan sifat yang menyebabkan kebatalan mausuf.
Yang
kita katakan adalah barang siapa yang berpendapat bahwa salat dan penyembelihan
dalam masalah ini sah maka itu berdasarkan ketentuan di atas. Dan barang siapa
yang berpendapat akan kebatalannya maka ia mendasarkan bahwa bagian ini adalah
zati>, sehingga salat dengan sendirinya dilarang; dikarenakan semua rukunnya
–yang merupakan wujud yang diusahakan-- juga hasil dari rampokan disebabkan
rukun-rukun tersebut adalah wujud yang dihasilkan di tempat rampokan. Jadi
keharaman al-as}lu kembali kepada
keharaman wujud yang dihasilkan. Dengan demikian salat di sini dengan
sendirinya dilarang. Sama halnya larangan salat pada dua sisi siang (salat
sunnah setelah salat ashar) dan puasa pada hari raya.
Demikian
pula penyembelihan ketika pisau dilarang digunakan karena penggunaannya dari
rampokan, maka menyembelih pun ikut terlarang sehingga penyembelihan dengan
sendirinya dilarang. Dengan demikian kebatalan merambah al-as}lu disebabkan batalnya bagian yang merupakan za>ti> berdasarkan pandangan ini.
Dari
sini tergambar kejelasan dalam pembahasan yang menjadi sumber perbedaan
pendapat dalam masalah salat di rumah hasil rampokan. Akan tetapi semua ini
tidak menyebabkan pembahasan kita ini tentang al-as}lu cacat, karena
sebelumnya tidak tergambar adanya perbedaan sebab dirasakan masuk akal.
Perbedaan yang sebelumnya tergambar ada pada masalah memasukkan al-furu’ ke dalam al-as}lu atau
tidak menggolongkan ke dalamnya.
Penjelasan
Keempat: Terdapat beberapa sisi dalam
penjelasan ini, yaitu:
Pertama: Setiap tingkatan ketika ia
berbeda dalam kekuatan dan posisi – d}arūriyah yang paling kuat lalu disusul h}a>jiyah
kemudian tah}siniyah—namun saling
terkait satu dengan yang lainnya, maka pembatalan oleh yang lebih ringan/lemah
merupakan keberanian terhadap yang lebih kuat darinya serta celah unutk
merusaknya sehingga ia bagaikan daerah terlarang baginya dan yang mengembala
disekitar daerah larangan sangatlah dekat atau hampir masuk didalamnya. Maka
yang merusak penyempurna sama halnya ia perusak terhadap yang disempurnakan.
Salat
misalnya, ia memiliki penyempurna selain berbagai rukun dan fardu-fardunya.
Sudah dimaklumi bersama bahwa merusak penyempurna mengarah kepada kerusakan fardu-fardu
dan rukun, oleh karena yang ringan merupakan jalan kepada yang berat.
Perhatikanlah sabda Rasulullah saw, “pengembala di sekitar daerah larangan,
hampir-hampir ia jatuh ke dalamnya.” Dan Sabda Rasulullah saw, “Allah melaknat
seorang pencuri yang mencuri sebutir telur lalu ia pun dipotong tangannya, dan
mencuri seutas tali lalu ia dipotong tangannya.” Juga seseorang pernah berkata,
“sesungguhnya aku meletakkan tirai penghalang antara diriku dan yang diharamkan
sekalipun aku tidak mengharamkannya.”
Inilah sebuah dasar yang qat’i yang disepakati dan akan
dikemukakan lagi pada bagian kedua dari kitab ini.
Seorang
yang berani terhadap yang ringan dengan cara merusaknya maka terbuka baginya
untuk berani terhadap yang lainnya. Demikianlah seorang yang berani merusaknya
maka ia akan berani terhadap d}arūriyah. Karena itu, terkadang dalam
pembatalan penyempurna secara mutlak menyebabkan pula pembatalan d}arūriyah ditinjau dari sudut apa saja.
Artinya,
ia meninggalkan penyempurna dan merusaknya secara mutlak serta tidak
melakukannya. Kalaupun ia melakukannya maka hanya sedikit. Atau ia melaksankan
sejumlah penyempurna jika penyempurna memang banyak, namun tetap yang
ditinggalkan atau yang dirusak lebih banyak. Karena itu jika seorang membatasi salatnya
dengan fardu-fardunya saja maka salatnya tidak dianggap baik, bahkan lebih
dekat kepada sekedar salat. Dari sini, ada yang mengatakan salatnya bahkan
batal. Juga dalam jual beli, jika tidak ada yang merupakan penyempurna seperti
tidak adanya penipuan dan pembodohan maka hampir tidak tercapai maksud dan
tujuan akad dari penjual dan pembeli atau salah satu dari keduanya. Sehingga
ada atau tidak adanya akad, lebih baik dibanding jika ia ada. Demikianlah
seterusnya.
Kedua: Semua tingkatan jika
dibandingkan dengan yang lebih kuat darinya maka bagaikan sunnat dengan fardu.
Menutup aurat dan mengahdap kiblat misalnya, jika dibandingkan dengan salat itu
sendiri maka ia bagaikan sunnat terhadapnya. Begitu pula dengan membaca surah (setelah
al-fatihah), takbir dan tasbih. Demikain pula makanan dan minuman yang bukan
najis dan bukan pula milik orang lain serta disembelih sebelumnya (jika ia
hewan), jika ditinjau dari kelangsungan hidup manusia maka ia bagaikan sunnat.
Juga adanya barang dagangan diketahui serta dapat dimanfaatkan secara syar’i
dan seterusnya jika ditinjau dari jual beli itu sendiri maka sifat-sifat
tersebut bagaikan sunnat terhadapnya.
Sudah
menjadi ketetapan –dalam bab al-ahkam- bahwa sesuatu yang dianjurkan secara parsial
bisa naik menjadi sesuatu yang wajib secara menyeluruh. Maka jika yang mandub
dirtinggalkan secara mutlak maka itu sama dengan meninggalkan suatu rukun di
antara rukun-rukun yang wajib dikarenakan ia secara keseluruhan sudah menajdi
wajib padanya. Demikian pula jika yang sama kedudukannya dengan mandub atau
yang serupa dengannya ditinggalkan. Berdasarkan ini pula, sah jika dikatakan
bahwa pembatalan terhadap penyempurna secara mutlak terkadang menyebabkan
pembatalan terhadap d}arūriyah dari sudut apa saja.
Ketiga: Keseluruhan h}ājiyah
dan tah}siniyah bisa naik menjadi
salah satu bagian dari d}arūriyah, oleh karena kesempurnaan d}arūriyah –dimana ia sebagai d}arūriyah - dan baik jika sekiranya mukallaf mendapat keluasan dan
kelonggaran di dalamnya, dan bukan kesulitan dan kesempitan. Demikian juga
perkara nilai dan tradisi, akhlak yang mulia (di semua bidang) tetap ada dan
terjaga bersamanya sehingga orang-orang yang berakal mampu melihatnya sebagai
sebuah kebaikan. Karena itu, jika ia ditinggalkan maka bagian d}arūriyah mengenakan pakaian adalah suatu
yang sulit, dan berlawanan dengan apa yang dianggap baik oleh adat. Selanjutnya
kewajiban d}arūriyah menjadi beban dan tidak jelas
dalam pandangan dimana syariat diletakkan di atasnya. Sementara dalam hadis,
Rasulullah saw bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Jadi seakan-akan jika penyempurna hilang maka yang wajib tidak terwujud juga
sesuai dengan kehendaknya dan ini merupakan cacat yang jelas bagi yang wajib
tersebut. Adapun jika cacat yang ada pada penyempurna d}arūriyah tersebut pada sebagian saja
atau pada sisi yang ringan saja darinya dan tidak sampai menghilangkan
keindahan serta tidak menutup pintu kelapangan darinya, maka ia tidak sampai
menghilangkannya, dan ini jelas.
Keempat: Setiap h}ājiyah dan tah}siniyah membantu bagi d}arūriyah serta penghibur dan perias bagi
wajahnya yang istimewa; apakah sebagai pengantar baginya, teman atau pengikut.
Berdasarkan semua ini, yang jelas ia dikelilingi pelayan yang siap membantu. Ia
pun lebih pantas dan berhak terwujud dan terlaksana dengan baik.
Demikian
juga sesungguhnya salat misalnya, jika didahului dengan taharah maka ia pun
merasakan kesiapan untuk sebuah perkara besar dan agung. Ketika ia menghadap
kiblat dan berhadapan, ia merasakan kehadiran yang dihadapi olehnya. Tatkala ia
menghadirkan niat penghambaan (ta’abbud),
ia pun membuahkan ketundukan, kepatuhan dan ketenangan. Lalu ia masuk
kedalamnya sesuai dengan tahapan-tahapannya dengan menambahkan (bacaan) surah
sebagai pelengkap terhadap Ummul Qur’an (al-Fatihah) yang fardu karena semuanya
adalah Kalam Tuhan juga tempat ia mengahadap. Saat ia bertakbir, bertasbih dan
bertasyahhud maka kesemuanya itu adalah peringatan bagi hati semoga hati
terbangun dari sikap lalai untuk bermunajat kepada Tuhannya dan berdiri di
hadapan-Nya. Demikian seterusnya. Dan jika ia mendahului salatnya dengan salat
sunnah maka itu adalah tahapan baginya dan upaya menghadirkan hati dan jiwa di
hadapan-Nya. Dan ketika ia mengikutkannya pula dengan salat sunnah maka ia
pantas karena ia telah menghadirkan hati dan jiwanya dalam salat fardu.
Di
sini tergambar bahwa bagian-bagian salat dijadikan tidak lepas dari zikir yang
dibarengi dengan amal (perbuatan) agar lisan dan anggota tubuh sejalan di atas
satu irama, yaitu hadir di hadapan Allah swt dengan kepatuhan, ketundukan,
pengagungan dan penghambaan dan tidak ada satu titik pun darinya yang sepi dari
zikir dan amal sehingga tertutup pintu kelengahan dan kelalaian serta bisikan
setan.
Jika
anda bisa melihat penyempurna yang beredar di sekitar darah larangan d}arūriyah, ini menjadi pelengkap baginya
serta penguat di sampingnya. Sehingga jika ia sepi darinya atau sebagian besar
darinya sepi dari penyempurna maka itu merupakan cacat baginya. Demikianlah
semua d}arūriyah beserta penyempurna berjalan di
atas tahapan-tahapan kenyataan ini, yang dapat dipahami oleh orang-orang yang
merenunginya.
Penjelasan
Kelima: Sebelumnya
sudah jelas. Oleh karena d}arūriyah terkadang rusak disebabkan
rusaknya penyempurna-penyempurnanya maka penjagaan terhadap penyempurna tersebut
–demi d}arūriyah itu sendiri- sangatlah
dituntut. Dan jika ia merupakan penghias dimana kedudukan d}arūriyah tidaklah tampak kecuali
dengannya sangat maka sangat benar jika ia tidak diabaikan/ditinggalkan.
Berdasarkan
ini semua maka jelas bahwa tujuan utama dari ketiga bagian yang ada (d}arūriyah, h}ājiyah dan tah}siniyah) adalah menjaga dan memelihara yang pertama yaitu
bagian d}arūriyah. Ini pula yang menajdi
perhatian di semua agama yang tidak lagi diperdebatkan sebagaimana perdebatan
mereka dalam masalah furu‘. Inilah
yang menjadi pokok agama, dasar dan pondasi syariat serta ruang lingkup agama.
Penjelasan tentang Sisi untuk
Mengenal Maqas}id Syari‘ah dengan Netral
Pasal
Bagian ini mencakup pembahasan
yang sangat banyak, yang pada pembahasan sebelumnya telah terulang beberapa
kali, dan masih akan banyak lagi
pembahasan seperti itu, tetapi harus ada penutup dari pembahasan ini sebagai penjelas
dan mendeskripsikan kesempurnaan maksudnya dengan izin Allah swt.
Seseorang boleh saja berkata:
pembahasan-pembahasan terdahulu didasarkan pada pengetahuan tentang maksud
syariat, lalu apa yang bisa digunakan untuk mengetahui hal mana yang menjadi maksud
syariat dan mana yang tidak?
Jawabannya: bahwa pertimbangan dalam
hal ini dibagi sesuai dengan pembagian logis dalam tiga bagian:
Pertama: dapat
dikatakan bahwa maksud syariat tidak dapat kita ketahui sampai kita memiliki
sesuatu yang mendeskripsikannnya. Hal tersebut tidak akan kita dapatkan kecuali
melalui penjelasan bahasa, terpisah dari observasi makna yang diperlukan untuk
induksi, serta tidak memerlukan lafal secara linguistik, baik dengan mengatakan
bahwa tuntutan-tuntutan syariat tidak memperhitungkan maslahat seorang hamba pada
kasus tertentu, atau dengan mengatakan tidak harus memperhitungkan sebuah
maslahat. Meskipun terjadi pada beberapa kasus, namun kita tidak dapat
mengetahuinya sama sekali, sehingga kita tidak bisa mengatakannya sebagai
analogi. Hal ini dipertegas dengan riwayat yang menolak logika dan analogi. Maka
kesimpulannya adalah melihat makna lahiriyah secara mutlak, yaitu pendapat
Z{ahiriyah yang membatasi wilayah ilmu pengetahuan tentang maksud syariat
dengan hal lahiriyah dan teks. Semoga hal ini akan dibahas pada pembahasan
Qiyas insya Allah.
Kedua: dari
sudut lain yang lain, yang terdiri dua jenis: Pertama: klaim bahwa maksud
syariat tidak dalam hal lahiriyah ini tidak seperti yang dipahami, tetapi “maksud”
adalah sesuatu yang lain di balik itu. Hal ini tidak diterima dalam semua
syariat sehingga tidak tersisa secara lahiriyah pegangan yang memungkinkan
untuk menyentuh pengetahuan tentang maksud syariat. Ini adalah pendapat setiap
orang yang ingin menghancurkan syariat. Orang-orang tersebut adalah golongan “al-Ba>t}iniyyah”,
ketika mereka berkata tentang imam yang ma‘sum, maka mereka tidak dapat
melakukannya kecuali mencederai teks dan permukaan syariat agar menjadi
legitimasi terhadap pendapat mereka. Pendapat ini condong kepada kekufukuran, hanya
kepada Allah-lah tempat berlindung. Sebaiknya kita tidak memperhatikan
kata-kata mereka. Kita pindah pada jenis lain yang dekat dengan pertimbangan
pertama, yaitu jenis kedua, yang mengatakan: bahwa maksud syariat adalah
membimbing kita kepada makna lafal, yaitu tidak mempertimbangkan lahiriyah dan
teks, tetapi mutlak hanya secara makna. Jika makna teks bertentangan dengan
makna teoritisnya, maka makna tekstual dikesampingkan dan mendahulukan makna
teoritisnya. Hal ini bisa berlandaskan atas kewajiban menjaga maslahat secara
mutlak, atau tidak wajib tetapi dengan penelitian makna secara seksama sehingga
lafal-lafal syariat mengikuti makna teoritis. Ini adalah pendapat “orang-orang
yang mendalami Qiyas” yang lebih mendahulukannya daripada teks.
Ketiga: menggunakan
dua hal ini bersamaan, yaitu tidak makna
teks dan tidak pula sebaliknya, agar syariat berjalan pada satu sistem sehingga
tidak menimbulkan pertentangan dan perdebatan. Pendapat inilah yang lebih
banyak diikuti ulama yang ra>sikh, yang bisa dijadikan patokan untuk
mengetahui maksud syariat. Maka kami katakan—Semoga Allah memberi
bimbingan-Nya—hal ini bisa diketahui dari beberapa segi:
Salah satunya: Hanya pada perintah
dan larangan primer yang jelas, karena perintah diketahui bahwa ia adalah
sesuatu untuk melaksanakan tindakan. Terjadinya suatu tindakan ketika ada
perintah adalah maksud syariat. Begitu pula dengan larangan yang diketahui untuk
meniadakan tindakan atau menolaknya. Tidak terjadinya suatu perbuatan adalah
maksud syariat, sedangkan melakukannya adalah menyalahi maksud syariat,
sebagaimana tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan adalah melanggar
syariat. Ini adalah pendapat yang jelas dan integral bagi mereka yang
menganggap maksud syariat dalam perintah dan larangan tanpa melihat ‘illat,
dan bagi mereka yang menganggap ‘illat dan maslahat sebagai esensi
syariat.
Sumber: Abu> Ish}a>q
al-Sya>t}ibi>. al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Syari>‘ah. Jilid
I. Juz II. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah. t.th.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar