Kembali Ke Dasar 10.000 Jam

Countdown

Filsafat Hukum Islam

Pasal ke-18
Kaidah-Kaidah Umum Dalam Syariat
Kita telah mengetahui bahwa falsafah al-tasyri>‘ adalah prinsip-prinsip dasar yang besar, yang dengannya berdiri kaidah-kaidah yang lengkap menyeluruh dan hukum-hukumnya yang terperinci atau yang bercabang. Falsafah adalah undang-undang atau peraturan, yaitu sumber-sumber air yang keluar dari dalamnya anak-anak sungai sebelum bercabang-cabang menjadi selokan-selokan yang kecil yang sampai ke tiap daerah dan pergi ke tiap area.
Ketika kita telah mengenal dasar-dasar yang global ini, pengenalan ini tidak sempurna kecuali bila kita telah mendapatkan dampaknya dalam hukum-hukum syariat, dan menjadi jelas bagi kita bahwa dasar-dasar ini nyata telah berdiri di atas bangunannya. maka tidak ada alternatif lain menghadirkan sebagian hukum-hukum atau kaidah-kaidah umum dalam syariat, dengan asumsi bahwa kaidah-kaidah ini adalah induk dari pokok-pokok dalam syariat, dan kita dapat mendapatkan bagian yang baik dari beberapa kaidah ini, karena sudah populer di sisi para ahli fikih Islam, mereka telah memformulasikan, kemudian menulisnya, dan menjadikannya buku-buku yang besar.
Para fuqaha telah mendefinisikan kaidah-kaidah yang umum yaitu (hukum yang lengkap menyeluruh yang sejalan dengan seluruh bagian-bagiannya). (Qa>‘idah) menghimpun semua cabang-cabang dari bab-bab yang beragam. (D{a>bit) menghimpun semua cabang-cabang dari satu bab.
Syaikh ‘Abd Wahha>b Khalla>f mengatakan:
Sesungguhnya teks-teks syariat yang telah mengatur hukum-hukum pada cabang-cabang undang-undang yang beragam seperti peraturan sipil, hukum pidana, ekonomi, dan konstitusi, telah sempurna dengan hadirnya nas-nas yang telah menetapkan landasan-landasan umum dan aturan-aturan syariat yang global, yang tidak mengkhususkan satu cabang undang-undang dari yang lainnya. Agar landasan-landasan umum dan aturan-aturan syariat yang global ini menjadi petunjuk bagi  para mujtahid dalam syariat, dan pelita dibawa cahayanya mereka merealisasikan keadilan dan kemaslahatan umat manusia.
Selanjutnya beliau mengatakan:
Di antaranya ada teks-teks syariat yang menetapkan landasan-landasan umum dan undang-undang yang global yang dijadikan panduan dalam membuat undang-undang. diantaranya ada teks-teks syariat yang menetapkan hukum-hukum pokok pada cabang-cabang undang-undang saintisme yang variatif. Di antaranya pula, al-Qur’an memberikan batasan pada hal-hal yang pokok pada tiap undang-undang, dan beragam metode memahami teks-teks tersebut dalam menghasilkan hukum-hukum, dan membuka pintu dijadikannya dasar-dasar menganalogikan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur’an terhadap apa yang ada dalam al-Qur’an, yang memperjelas bahwa teks-teks al-Qur’an syariatnya lapang/luas dan elastisitas., dan bahwa teks-teks al-Qur’an adalah kompilasi syariat yeng mencakup dasar-dasar dan landasan-landasan umum yang membantu pembuat hukum, mewujudkan keadilan dan kemaslahatan di tiap zaman dan tidak ada eksepsi dari undang-undang lain dalam mewujudkan kemaslahatan manusia.
Pertama, kaidah-kaidah pokok dalam ibadah, akhlak dan muamalah
1.     Pendapatan seseorang sesuai dengan usahanya, dan usanya tersebut dia akan melihatnya dan mendapatkan balasannya yang setimpal.
Umat manusia meraih sesuai dengan perbuatannya, bukan kebangsawanan dan kekayaannya, bukan kedudukannya, bukan kekuasaannya, bahkan bukan perjuangan sebelumnya, sebab amal baik tidak membolehkan sesorang menggandengkan dengan amal buruk.
(Mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima Taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)
Setiap perbuatan ada perhitungannya, ada pahala, ada balasannya. Kebaikan bagi manusia digandakan pahalanya, tetapi amal buruk yang datang setelahnya tidak dibiarkan tanpa balasan. (Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, Maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, Maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang Telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan).

2.     Seseorang tidak menanggung dosa orang lain.
Seseorang menaggung balasan perbuatannya, pahala perbuatannya diberikan kepadanya, hukuman perbuatannya untuknya, ganjaran perbuatan tidak akan melampauhi selain pelakunya, seorang bapak tidak dibalas karena kesalahan anaknya, seorang anak tidak dihisab karena kesalahan bapaknya, seorang istri tidak dihukum karena pidana suaminya, seorang suami tidak dihukum karena pidana istrinya, (tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.)
(Tiap-tiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya),
Ibrahim seorang nabi, ayahnya seorang musyrik. Nuh orang saleh, anaknya tidak saleh. Firaun melampauhi batas di bumi dan banyak melakukan kerusakan, dan istrinya termasuk orang yang beriman.
3.     Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya
Beban yang diwajibkan kepada manusia bukan bertujuan membinasakan, bukan merekam kelemahan mereka, bukan memberatkan, sehingga agama menjadi testing, akidah sebagai bencana, tapi beban tersebut dimaksudkan membahagiakan mereka, mengokohkan kaki mereka di atas jalan kebaikan, dan menuntun mereka berkembang dan maju, mencintai kemuliaan dan menjelekkkan yang hina di sisi mereka.
Rasulullah saw. Bersabda:
(Amalan yang paling disenangi Allah swt. adalah yang rutin walaupun sedikit) dan sabda Beliau (sesungguhnya orang yang menanam tidak ada tanah yang terputus dan tidak ada permukaan yang lebih kekal). Dan firman Allah swt. (Allah menghendaki kemudahan kepada kalian dan tidak menginginkan kesusahan) kemudian Rasulullah saw. bersabda (Lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian)(Apa yang saya larang hindarilah, dan apa yang saya perintahkan lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian).
4.     Tidak memudaratkan dan tidak dimudaratkan
Berkata Syaikh ‘Abdul Azi>z Ja>wi>si, di antara landasan Islam adalah tidak membahayakan dan tidak mendatangkan bahaya,  seorang muslim tidak boleh melakukan sesuatu yangg membahayakan dirinya, kehormatan, dan hartanya. Sebagaimana tidak boleh membahayakan orang lain, termasuk di dalamnya membebani raga dengan hal yang tidak mampu,mabuk-mabukkan, perjudian, menyakiti orang lain dengan berbagai macam gangguan sebagaimana yang dikenal masyarakat dimana ia berada, seperti membunuh jiwa, mencuri, menyogok, menipu, menggosip, menggelapkan, saksi palsu, dst.
Dan mungkin anda telah membaca apa yang telah ditetapkan para ulama kebolehan meninggalkan salat jumat karena banyak sebab, di antaranya, orang yang bau busuk mulutnya, atau bau bawang putih atau bawang merah, atau memiliki penyakit menular seperti kusta, lepra, dan semacamnya segala yang membahayakan, atau yang dibenci orang yang shalat.
Imam Syaikh Muh}ammad ‘Abduh berkata:
Melakukan shalat jumat wajib, kecuali bila banyak lumpur atau hujan deras, atau ada hal yang membuat kepayahan atau kesusahan yang meggugurkan kewajiban tersebut. Begitulah anda mendapatkan kaidah yang mencakup keselamatan badan dipriorotaskan daripada keselamatan agama, sehingga anda menjumpai agama dalam hukum-hukumnya menjaga keselamatan raga sebagaimana mewajibkan menjaga keselamatan jiwa.
Dari Kaidah yang umum ini memiliki cabang yang langsung datang setelahnya yaitu (sesungguhnya Allah senang bila keringanannya diambil sebagaimana senangnya bila kewajiban dilakukan) dan (siapa yang tidak mengambil keringanan kami, maka bukan golongan kami).
Kemudahan yang diwajibkan agama terhadap orang mukmin bukanlah keistimewaan seseorang untuk mengambil atau tidak, tapi kemudahan itu adalah bagian dari kewajiban yang melengkapinya, dan ibadah tidak tegak tanpa kemudahan, kemudahan itu bagaikan makanan yang lezat yang diwajibkan kepada orang sakit bersamaan dengan obat yang pahit, kesembuhan yang sempurna tidak akan terwujud kecuali dengan makanan lezat dan obat.
5.     Hukum asal segala sesuatu adalah boleh
Sesungguhnya yang halal itu apa yang telah dihalalkan oleh Allah swt. dan yang haram apa yang telah diharamkan Allah swt. dan apa yang didiamkan adalah ampunan.
Tiap syarat, perjanjian, dan interaksi yang didiamkan, tidak boleh dikatakan haram, karena sesungguhnya pendiaman itu adalah rahmat sunnah tanpa kelupaan dan  pembiaran.
Allah swt. berfirman (Katakanlah tidakkah kalian memperhatikan apa yang telah diturunkan Allah swt kepada kalian berupa rezki, kemudian di antaranya kalian jadikan haram dan halal, katakanlah apakah Allah telah mengizinkan kalian ataukah kalian mengatasnamakan Allah).
(Katakanlah siapa yang mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk hambanya dan rezki yang baik-baik)
Yang dimaksud membolehkan sesuatu adalah mempergunakannya, untuk makan, minum, pakaian, pengobatan, kendaraan. Menghalalkan dan mengharamkan adalah salah satu hak Allah semata.Pengharaman tidak boleh kecuali melalui teks al-Qur'an,dan teks yang datang dalam konteks ini haruslah qat’i> dan untuk membebani.
Di sini Sayyid Rasyi>d mengatakan: sesungguhnya semua hukum agama berupa keyakinan, ibadah, halal dan haram yang tidak ada dalil teksnya secara jelas dan tidak ada sunnah perbuatannya di zaman Nabi saw., maka itu bukanlah dari agama yang menjadi alasan bagi Allah terhadap orang-orang yang telah sampai dakwah rasul kepadanya, yang dituntut di dunia dan ditanyakan di akhirat
6.     Interpretasi hukum sesuai dengan perubahan waktu dan tempat
Ibn Khaldu>n berkata: sesungguhnya keadaan dunia dan bangsa-bangsa dan kebiasaan baik mereka  dan keyakinan mereka,tidak selamanya di atas cara yang satu dan metode yang permanen. Tetapi sesungguhnya terjadi perbedaan seiring pergantian hari dan waktu, dan perubahan dari keadaan ke keadaan yang lain. Sebagimana hal itu terjadi pada tiap orang, waktu, dan daerah, juga terjadi pada tiap willayah, distrik, zaman dan negara. aturan Allah yang telah terjadi pada hambanya.
Ibn Qayyim berkata: (Perubahan fatwa dan perbedaannya sesuai perubahan zaman, tempat, keadaan, niat,dan kebiasaan baik)
Dan konsekuensi dari kaidah ini adalah seorang legislator, hakim dan qadi sepatutnya memilih kemaslahatan yang dibangun di atas hukum-hukum syariat, kemudian bila kemaslahatan adalah illah/sebab dan landasan hukumnya, seharusnya juga memperhatikan kaidah yang lain,  yakni jika sebab hukum tersebut tidak ada lagi atau berubah maka hukum yang dibangun di atasnya harus gugur juga atau berubah. karenanya dalam kaidah usul dikatakan:sesungguhnya hukum syariat yang dibangun di atas sebab, keberadaan hukum itu sesuai dengan ada atau tidaknya sebab tersebut.
Al-Maula al-‘Ala>ni> berkata: hukum syariat itu dibangun di atas illahnya, bila illahnya selesai, selesai juga hukumnya.
7.     Mendahulukan akal di atas syara, yang z{a>hir saat kontradiktif
Al-Syaikh ‘Abdul al-‘Azi>z Ja>wi>si menyampaikan dalam kitabnya (Islam adalah agama fitrah dan kebebasan) tentang makalah Islam dan Nasrani:
Pemeluk agama Islam telah sepakat kecuali sedikit di antaranya yang tidak perlu dipedulikan, bahwa bila akal dan nas kontradiktif, petunjuk akallah yang diambil, sementara nas ada dua metode: metode validitas manqu>l dengan pengakuan ketidakmampuan memahaminya, urusan pemahamannya diserahkan kepada Allah. metode kedua menginterpretasi teks dengan tetap menjaga tata bahasa sampai maknanya menyerupai pemahaman akal. Landasan seperti inilah pendirian al-Qur'an, sunnah yang benar dan perbuatan Rasulullah saw. yang kesemuanya di depan akal ada jalan, hukuman–hukuman di depannya dapat dihilangkan, dan melapangkan seperti ruang yang tiada batas.
Al-Imam Najmuddi>n al-Tu>fi> berpendapat bahwa jika maslahah berben­turan dengan teks dan konsensus ulama maka perlindungan kemaslahatan harus dikedepankan daripada teks dan konsensus ulama dengan metode al-takhs}i>s} dan al-baya>n. Sayyid Rasyi>d Rid}a> mengatakan tidaklah (metode al-Tu>fi>) sama dengan al-mas}a>lih} al-mursalah sebagaimana pemahaman Malik, tapi (metode al-Tu>fi>) lebih kuat daripada itu, yaitu interpretasi terhadap teks dan ijmak dalam masalah ibadah dan hiphotesis, dan pertimbangan kebaikan dalam bermuamalah, dan hukum-hukum yang lain. Karena kemaslahatan stategi mukallaf berkaitan dengan hak-hak mereka dapat mengetahui dengan hukum adat dan akal. Sehingga jika kita memandang syariat tidak membawa faidah, maka sesungguhnya kita telah mengetahui syariat mendapatkan pemeliharaannya.
al-Tu>fi> telah menjelaskan kaidah ini kaitannya dengan muamalah: adapun muamalah dan semacamnya seperti jual beli ada maslahatnya bagi manusia sebagaimana dikeketahui. Maslahah dan dalil-dalil syariat yang lain bisa sepakat atau berbeda, kalau keduanya sepakat maka itu baik, sebagaimana sepakatnya teks, ijmak dan maslahah dalam menetapkan hukum-hukum umum yang lima dan jika keduanya berbeda, bila memungkinkan digabungkan, digabungkan keduanya seperti sebagian dalil-dalil diarahkan pada sebagian hukum dan situasi tanpa pengurangan, dengan maksud tidak hampa dari maslahah dan tidak mengantarkan mempermainkan semua dalil atau sebagiannya, jika keduanya tidak memungkinkan digabungkan ,maka maslahat diutamakan dari yang lainnya karena sabda Rasulullah saw. (tidak bermudarat dan tidak memudaratkan )
Dan itu khusus dalam menafikan kemudaratan yang pasti untuk mempertahankan kemaslahatan,mendahulukan hukumnya wajib, karena maslahat itu adalah tujuan dalam mengatur mukallaf dengan menetapkan hukum-hukum, dan dalil yang lain hanyalah sebagai sarana, dan tujuan lebih diutamakan daripada sarana.
Dan bahwa kaidah umum yang fundamental yang dianggap mutiara agama adalah (tidak ada paksaan dalam agama) maka jika Islam hadir dalam persamaan semua manusia, dan tiada yang utama di antara mereka kecuali dengan amal, dan seseorang tidak akan ditanyai kecuali perbuatannya sendiri, maka kesemuanya harus sempurna dalam bingkai kebebasan yang sempurna bagi manusia.
8.     Kesalahan pemimpin dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan memberi hukuman
Maksudnya jelas,melepaskan orang berdosa lebih daik dari menghukum orang yang tak berdosa.
Kedua: Kaidah-kaidah umum dalam interaksi dan muamalah
Kaidah pertama dari kaidah ini adalah (kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan)
Yaitu apabila hukum syara menimbulkan kesusahan,dan mukallaf tidak mampu memikulnya, wajib diringankan beban tersebut, kesulitan itu mencakup keterpaksaan dan kebutuhan
Keterpaksaan adalah apa saja yang dijadikan seseorang dalam menjaga agamanya, jiwanya, hartanya, akalnya atau keturunannya dari kebinasaan.
Kebutuhan adalah apa yang harus ada dalam kebaikan kehidupan bukan tertier yang sifatnya hiasan dan keindahan.
Dan pegangan kaidah ini telah datang dalam al-Qur'an (Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan)(maka barangsiapa yang terpaksa tanpa melampaui batas dan berlebihan maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang).dan diriwayatkan dari Aisyah ra. (tidak pernah Rasulullah memilih dua pilihan pasti memilih yang paling gampang diantara keduanya selama bukan dosa). Penerapan kaidah ini ada dalam sabda Rasulullah saw. (jangan memotong tangan dalam perjalanan) berdasarkan hadis ini fuqaha memfatwakan tidak menjatuhkan hukuman  di wilayah musuh atau saat dalam pertempuran agar orang Islam tidak lari ke pasukan musuh.
Kaidah yang kedua: Darurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang.
Kaidah ini lebih dekat ke kaidah sebelumnya: keterpaksaaan dan kebutuhan keduanya landasan kedua kaidah ini, karena kaidah ini merupakan pengecualian dari sumber yang umum yang mengharankan konsumsi hal-hal yang haram atau melakukannya sehingga ada pembatasan terhadap pengecualian ini kaidah yang lain (apa yang boleh karena kesulitan, batal/tidak dibolehkan lagi dengan hilangnya kesulitan tersebut)(apabila penghalang telah hilang, kembali menjadi terlarang) (keterpaksaan ukurannya diditentukan menurut kadar kedaruratannya)(keterpaksaan tidak membatalkan hak orang lain) dalam kaidah yang lain redaksinya (sebab itu seiring dengan akibat ada atau tidak adanya)
Dan penerapan kaidah ini, dibolehkan konsumsi khamar bagi orang sakit dan orang kehausan, dan bangkai dan daging babi bagi orang yang kelaparan.
Tapi yang takut mati atau binasa sehingga ia minum khamar orang lain atau makan daging babi orang lain wajib mengganti harga yang telah ia minum atau makan kepada pemiliknya.
Walaupun Malik dan Ibn Hanbal keduanya tidak mengharuskan orang yang terpaksa menggunakan barang orang lain dengan mengganti harganya, karena adanya kaidah wajib menyetarakan dan menghidupkan jiwa selama mampu.
Kaidah yang ketiga: Apabila ada dua kemudaratan bertentangan, pilih yang lebih ringan mudaratnya.
Dan penerapan kaidah ini adalah: dilaksanakan kemudaratan yang khusus untuk menolak kemudaratan yang umum.
Kaidah yang keempat: Hukum  segala perkara itu sesuatu sesuai dengan maksud dan niatnya.
Dan sandaran kidah ini (sahnya amal perbuatan itu sesuai dengan niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatinya)
Dan praktek kaidah ini, apabila niat perbuatan berbeda dengan perbuatannya, yang menjadi patokan adalah niatnya jika bisa dijelaskan dan ditampakkan, dan bila terjadi perbedaan lafaz kalimat dari maksudnya, maka yang diambil adalah maksudnya. Dalam  konteks ini ulama menetapkan (yang diperhitungkan adalah tujuan dan makna bukan kata-kata dan bentuknya)
Kaidah yang kelima: Menetapkan suatu hukum sesuai dengan yang nampak
Jika niat perbuatan seorang pelaku tidak dapat diketahui, maka hukumnya disesuaikan dengan apa yang nampak.
Pada kaidah ini Ust. Farid Wajdi mengatakan: sebagian sahabat Rasulullah saw. dalam peperangan membunuh orang yang menyatakan Islam, ketika hal itu sampai kepada Rasulullah, beliau sangat marah dan mengatakan (ya Allah saya berlepas diri kepadamu dari apa yang dilakukan fulan) sahabatnya menjawab, wahai Rasulullah, sesungguhnya ucapann yaitu adalah tipuan. Rasulullah menjawab (walaupun begitu karena kita diperintahkan mengambil yang nampak.)
Mengambil yang zahir adalah prinsip, yang pertama menjadikan sebagai sumber dari sumber-sumber syariat dan asas dari asas-asas muamalah adalah Islam. Rasulullah pernah tinggal bersama kaum dari golongan orang munafik yang berselimut dengan Islam dan menyembunyikan kekufurannya, menunggu dalam lingkaran kaum muslimin, membawa berita keadaan kaum muslimin kepada orang-orang kafir, mereka keluar bersama mu’minun berperang sehingga terkalahkan, dan musuh mengikutinya dan menghancurkannya, dan Nabi tetap menghormati keimanan luar mereka.
Kaidah yang keenam: Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya.
Apabila perkataan itu menunjukkan arti hakikat dan arti kiasan, maka arti secara hakikat lebih didahulukan daripada arti kiasan. Kalau tidak bisa secara hakikat maka mengamalkan arti secara kiasan. Kalau tidak bisa juga maka diabaikan saja. Kaidah ini memiliki cabang (mengamalkan suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya) dalam artian bahwa  jika dalam  interaksi ada kalimat atau statmen maka harus dimunculkan artinya dan mengetahui maksudnya. Jika jelas bahwa perkataan tersebut hanyalah permainan, tidak bermakna, sekedar  bunyi, maka diabaikan.
(Tapi apa yang dimaksud hakikat?) ada kaidah yang menjelaskan hakikat ini, yaitu (bahwa hakikat itu ditinggalkan karena penjelasan adat) yaitu jika dalam suatu ucapan maka arti kiasan lebih kuat dari arti hakikatnya, maka yang jadi patokan arti kiasannya.
Kaidah ketujuh: Orang yang diam tidak bisa disandarkan suatu ucapan, tapi diamnya ketika dibutuhkan merupakan penjelasan.
Pada dasarnya tiap perkataan itu harus jelas dan difahami, tapi terkadang maksud suatu perkataan terselubung, karenanya perkataan itu memiliki dua makna yaitu petunjuk lafaz atau ucapan dan petunjuk arti atau pemahaman. Tapi bisa saja seseorang tidak mengucapkan satu katapun. Ketika demikian, tidak dapat dikatakan mengucapkan sesuatu, kecuali bila kondisi seseorang membutuhkan penjelasan menerima atau menolak dan tidak ada makna ketiga, sebagai contoh jika ia menitip sesuatu pada seseorang dan ia diam, maka diamnya berarti ia menerimanya.
Kaidah yang kedelapan: Ucapan yang bebas tetap tidak terikat selama tidak ada dalil yang mengikatnya, baik teks maupun maksudnya.
Perkataan yang bebas tidak bisa diikat kecuali bila ada indikator yang menerangkan bahwa orang yang berbicara ingin kalau ucapannnya diikat secara gamblang ataupun mencakup didalamnya.maka dasar tiap statemen bermakna bebas dan tak terikat.
Kaidah kesembilan: Perkataan yang terakhir sesuai dengan perkataan pertama, dan yang pertama sesuai dengan yang terakhir.
Walaupun pembicaraan itu panjang dalam suatu kasus, namun tidak dapat dipisah-pisahkan, yang pertama sesuai dengan yang terakhir, atau menilainya secara keseluruhan.
Kaidah yang kesepuluh: Menjelaskan sesuatu yang ada di depan mata adalah perbuatan  yang  sia-sia, dan menjelaskan sesuatu yang tidak ada di depan mata itulah penjelasan yang berarti.
Seperti bila seorang penjual menerangkan barang dagangannya di depan pembeli  yang sudah melihatnya, penjelasannya itu bukan pembenaran karena pembeli sudah melihatnya, pembeli tidak butuh lagi orang menjelaskannya. Adapun bila barang dagangan itu tidak ada di tempat, maka penjelasan penjual diperlukan, bila terbukti  penjelasan penjual tidak sesuai dengan barangnya, maka  interaksinya belum jadi, dengan kata lain pembeli memiliki hak memilih untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi.
Kaidah-kaidah ini walaupun sifatnya umum, namun juga mencakup perjanjian dan muamalah, dan sebagiannya melampaui akad seperti, kesulitan itu mendatangkan kemudahan, Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang, disamping kaidah-kaidah umum ini, juga ada kaidah-kaidah umum semacamnya yang lebih luas cakupannya, karena kaidah tersebut juga meletakkan peraturan akhlak,muamalah dan ibadah
Ketiga: Kaidah-kaidah umum dalam penetapan dan pengukuhan
Penetapan dan pengukuhan adalah metode menjaga hak milik. Dan mengembalikan dari orang yang ingkar dan merampas, dan menolak pengakuan orang yang mengada-ada dan mengaku-ngaku. Karenanya kaidah-kaidah tersebut penting dan diwaspadai, sebagaimana  urgensi dan kewaspadaan terhadap kaidah-kaidah persetujuan suatu  perjanjian/kontrakan, sahnya, atau sebab-sebab batal dan tidak sahnya. Rasulullah saw. Bersabda (andaikan semua tuntutan manusia dikabulkan, maka semua orang akan menuntut darah keluarganya dan hartanya). Berikut ini kaidah-kaidah umum yang telah dikokohkan fuqaha syariat dan diamalkannya.


Kaidah yang pertama: Pengukuhan dengan bukti sama kedudukannya pengukuhan saksi/orang.
Bukti keterangan meningkat setara dengan saksi yang melihat langsung , karena tidak ada jalan lain bagi pengadilan menjelaskan hak milik seseorang kecuali dengan petunjuk yang dapat diterima dan masuk akal. Tanpa dalil akal ketika tidak ada juga petunjuk materi, hak-hak menjadi hampa dan kehidupan manusia menjadi rusak.kaidah ini memiliki cabang (keyakinan tidak bisa digantikan dengan keraguan).
Kaidah yang kedua: Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib disampaikan oleh yang mengingkari/tergugat
Telah disampaikan terdahulu bahwa pada dasarnya manusia jauh dari kesalahan dan dirinya lepas dari tanggungan/utang, sehingga barangsiapa yang mengaku berbeda dari asas ini, diharuskan  mendatangkan bukti/keterangan.
Yang menjadi dasar para fuqaha adalah hukum asal sesuatu itu adalah hukum sebelumnya  selama tidak ada dalil yang merubahnya) atau( bahwa yang lama itu dibiarkan sesuai dengan kondisi awalnya) namun, dikecualikan hal yang merusak. Kaidah (kemudaratan tidak boleh lama) pada pembahasan ini ada rinciannya, yaitu  ada dua macam sifat: sifat asli dan sifat yang datang)
Hukum asal sifat asli adalah ada, dan hukum asal sifat yang datang adalah tidak ada, sifat-sifat yang baru adalah dari langit seperti gila dan kurang waras, dan yang diperoleh seperti kebodohan dan dungu. Sehingga barangsiapa yang mengaku gila harus dengan bukti, karena kegilaan adalah sifat yang datang dan tidak asli. Pada saat yang sama akal itu asli keberadaanya, pasti yang tidak membutuhkan dalil.

Kaidah yang ketiga: Hukum asal kejadian adalah Menyandarkan kejadian itu pada waktu yang lebih dekat.
Apabila ada seseorang mengaku mendapatkan hibah/pemberian, dan ahli waris pemberi hibah memberi saksi bahwa hibah itu saat sakit kematian, sakit kematian itu lebih dekat dengan kejadian, karena kematian berhubungan langsung dengan hibah, sehingga orang yang diberi hibah harus membuktikan bahwa pemberian itu terjadi saat pemberi hibah masih sehat.
Kaidah yang keempat: Seseorang dituntut karena pengakuannya.
Bentuk-bentuk penetapan bukti adalah pengakuan, keterangan, dan sumpah.
Pengakuan adalah petunjuk yang paling  kuat,dan rasulullah saw telah mengajak kaum muslimin mengatakan yang benar walaupun terhadap diri mereka, begitupun al-Qur'an menyeruh seperti itu(Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri )
Pengakuan tidak memaksa kecuali orang yang mengaku, karenanya kaidah ini memiliki cabang (pengakuan adalah bukti yang hanya berlaku bagi orang yang mengakuinya saja) saat yang sama (keterangan adalah alasan hukum berdampak kepada orang lain)andaikan ada seseorang yang mengaku memiliki utang pada beberapa orang, sebagiannya mengaku dan yang lainnya tidak, maka pengakuan ini hanya berlaku bagi yang mengaku, tapi kalau utang itu ditetapkan oleh penuntut maka ketetapan itu mewajibkan semuanya baik yang mengaku maupun yang tidak.
Bukti adalah kesaksian, perbincangan ini seputar jumlah saksi,kapan empat saksi (seperti hukuman zina)dan kapan dua saksi,kapan satu saksi laki-laki dan dua perempuan, dan apakah bolehsemua saksi itu perempuan, dan bolehkah keterangan itu diterima dari seorang saksi saja, atau seorang saksi dan sumpah penuntut,dan apakah kerangan itu bisa diterima oleh seorang perempuan, perkara ini tidak masuk dalam pembahasan kita, cukup hanya sebagai isyarat saja.
Kaidah yang kelima: Sumpah palsu lebih pantas ditolak daripada keterangan yang adil.
Bila penggugat mengatakan tidak memiliki saksi-saksi, selanjutnya si tergugat bersumpah, apakah setelah itu si tergugat boleh meminta saksi atau menyampaikan keterangan setelah ia mengatakan tidak memiliki keterangan. Umar ibn al-Khattab mengatakan (Sumpah palsu lebih berhak ditolak daripada keterangan yang adil) penjelasannya adalah bila sumpah si tergugat tidak benar, tidak boleh dia diberikan hak. Pada dasarnya sumpah itu adalah keterangan yang lemah, bila si tergugat kembali dan memberikan keterangan kebohongan penggugat, tidak boleh ditolak permintaannya walaupun mendatangkan saksi bahwa dia yang berhak, harus diputuskan.
Kaidah yang keenam: Jika terjadi tarik menarik antara sesuatu yang dicegah dengan sesuatu yang dituntut, maka yang didahulukan adalah sesuatu yang dicegah(atau apabila kumpul antara sesuatu yang halal dan sesuatu yang haram, maka yang dimenangkan adalah sesuatu yang diharamkan.
Kaidah yang ketujuh: Tidak bisa dijadikan alasan keterangan-keterangan yang bertentangan, karena pertentangan adalah kesaksian yang berlawanan, alasan-alasan tersebut menjadi berguguran, alasan-alasan bertolak belakang.
Kaidah yang kedelapan: Siapapun yang berusaha membatalkan keinginannya sendiri maka usahanya tersebut tertolak, ini adalah kaidah umum yang penggunaannya tidak hanya pada interaksi, muamalah, dan penetapannya. Dan merupakan cabang dari menepati janji (barang siapa yang membatalkan maka sesungguhnya akibat pembatalan itu kembali kepada dirinya)


Keempat: Adat atau urf
Sesungguhnya adat atau urf keduanya adalah sumber undang-undang sebelum adanya undang-undang yang tertulis, tidak ada keputusan hukum kecuali yang telah berlangsung dalam kehidupan manusia, dan dalam muamalah mereka kedudukan adat dan urf dalam aturan manusia tidak hilang kecuali sedikit. Undang-undang masih merupakan anak dari adat dan urf. Keduanya tumbuh dan menetap, kemudian perkembangan undang-undang bersumber dari asas keduanya. Manusia mengira bahwa adat dan urf telah selesai masanya dan peranannya sudah berakhir, faktanya tidak seperti itu.
Sungguh syariat Islam menaruh perhatian terhadap peranan adat, dan sungguh Imam Malik menganggap perbuatan penduduk Madinah konsensus yang memadai dan dalil syari‘i ketika tidak ada teks. Dan kebanyakan perbutan penduduk Madinah adalah urf dan adat yang telah menyebar di tengah masyarakat. Ibn Nujjaim mendefinisikan adat dengan mengatakan (adat adalah sesuatu yang menetap dalam hati berupa perbuatan yang terjadi berulang-ulang serta diterima oleh tabiat yang sehat) dan di antara hadis Rasulullah saw. (apa yang dipandang orang muslim baik maka baik pula di sisi Allah) dan di antara kaidah umum tentang adat ialah:
1.      Adat adalah aturan dan bisa menjadi hukum
2.      Sesuatu yang telah diketahui secara umum hukumnya sama dengan syarat yang disyaratkan.
3.      Sesuatu yang ditentukan oleh kebiasaan umum sama dengan yang ditentukan oleh dalil nas.
4.      Hakikat diabaikan dengan adanya petunjuk adat (kekeliruan yang masyhur lebih baik daripada kebenaran yang ditinggalkan). Adat diklasifikasikan dalam tiga aspek, yaitu:
a.       Adat syar’i merupakan kebiasaan yang terbentuk berdasarkan syariat yang berhukum tetap sebagaimana syariat, seperti menutup aurat ketika beribadah.
b.      Adat yang dikontradiksikan dengan ibadah sehingga adat bermakna sama dengan muamalah, seperti mas kawin.
c.       Adat yang berarti kebiasaan umum manusia, baik yang tetap maupun yang berubah-ubah, seperti gairah makan dan minum atau cara berpakaian.

Sumber:
Fathi> Rid}wa>n, Min Falsafah al-Tasyri>‘ al-Isla>mi>. Da>r al-Kita>b. Bairut
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah:Salah Paham Negara Islam. Cet. I; Jakarta: 2011. Pustaka Alfabet.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar