Arti kaidah ini adalah:
Kebijakan pemimpin, pemerintahan yang tertinggi, dan tiap
kepala pemerintahan yang mengurus perkara orang islam, menurut syariat tidak dibenarkan dan tidak boleh dilaksanakan kalau tidak
berorientasi kepada kebaikan secara umum,
sebab kalau tidak, kebijakan tersebut cacat dan lalim.
Penjelasan kosa
kata
Yang dimaksud
dengan rakyat adalah semua manusia yang dibawah kekuasaan seorang pemimpin.
Imam dalam
istilah ini adalah pemimpin seluruh kaum muslimin di muka bumi, seperti khulafa>urra>syidi>n
dan pemimpin-pemimpin setelah mereka seperti kepala Negara Islam, dan semua
kepala pemerintahan yang mengurus negara.
Prinsip ini telah
ditulis asysya>fiiy
dan mengatakan:
kedudukan
pemimpin terhadap rakyatnya seperti posisi wali terhadap anak yatim
Umar r.a berkata:
Saya memposisikan diri saya terhadap harta Allah seperti posisi wali
yatim terhadap harta anak yatim, kalau saya butuh saya mengambilnya, kalau saya
tidak butuh lagi saya kembalikan, dan kalau saya berkelebihan saya menahan diri
untuk tidak mengambilnya.
Al Ima>m Umar ibn alkhat}t}a>b menganalogikan
posisi dirinya terhadap harta kaum muslimin dengan posisi seorang wali yatim
terhadap harta anak yatim tersebut. Beliau tidak boleh mengambilnya kalau tidak
butuh, dasar hukumnya firman Allah swt.
Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka
hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu), dan barangsiapa
yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kalau ada yang mengatakan: sebetulnya Asysya>fiiy tidak mengambil
perkataan seorang sahabat, karena baginya perkataan seorang sahabat bukan landasan
hukum. Kita jawab : sesungguhnya redaksi ayat itulah yang digunakan sebagai alasan hukum :
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah
kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu)
tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan
barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kewajiban penguasa/pemerintah terhadap rakyat
Prinsip ini akan mengontrol batasan-batasan wilayah kebijakan yang boleh
dieksekusi seorang pemimpin yang mengatur problematika kaum muslimin secara
umum. Baik seorang kepala
negara, gubernur, hakim, ataupun pegawai pemerintah. Prinsip ini juga
menegaskan bahwa pemerintah dan orang-orang yang posisinya seperti mereka dalam
mengeksekusi semua produk kebijakan, tugas, dan fungsi harus didasarkan dalam
kerangka dan konstruksi kebaikan untuk semua.
Para pemimpin negara, gubernur, hakim, dan setiap person
yang mendapatkan tanggung jawab terhadap urusan orang banyak bukannya pekerja untuk
diri mereka, sesungguhnya mereka adalah perwakilan masyarakat luas dalam
mengatur perkara umat. Kewajiban mereka adalah mempertimbangkan, memenej kebijakan
yang terbaik dalam menegakkan keadilan dan menghilangkan kelaliman, memberikan
haknya orang yang berhak, memelihara akhlak
yang mulia, membersihkan masyarakat dari kerusakan, memancarkan ilmu
pengetahuan, memerangi kebodohan, memiliki perhatian yang tinggi terhadap harta
benda dan aset umum, dan hanya membelanjakan pada issue yang dirasakan langsung
manfaatnya oleh orang banyak.
Tidak
boleh memihak atau berat sebelah kepada
seseorang karena posisinya, tendensi lain atau kerakusan. Kerena
seseorang yang mengurusi perkara kaum muslimin tidak boleh mengambil satu
dirham pun dengan cara illegal, dan tidak memberikannya
kecuali di tangan yang orang berhak.
Begitu
pula tidak dibolehkan mengambil sedikitpun dari harta seseorang
kecuali dengan cara yang benar dan
dibenarkan oleh kebiasaan masyarakat.
Sumber hukum
prinsip ini adalah:
Tidaklah seorang yang diberi amanah untuk memimpin rakyat,
kemudian ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, pasti Allah mengharamkan surga
baginya.
Tiadalah seorang pemimpin muslim yang mengurusi urusan kaum
muslimin, kemudian tidak memperjuangkan dan membimbing mereka sebagaimana ia
membimbing dan memperjuangkan
dirinya, pasti ia tidak akan masuk surga bersama mereka .
Rasulullah saw. bersabda dalam doanya :
Ya Allah, barang siapa yang mengurusi
urusan ummatku dan ia mempersulit mereka walaupun sedikit, maka persulit juga
dia. Dan barang siapa yang mengurusi urusan ummatku dan ia memudahkan mereka walaupun
sedikit, maka mudahkan pula dia.
Hadis-hadis diatas menunjukkan seorang pemimpin wajib
bersungguh-sungguh memperhatikan rakyatnya, bekerja keras demi kemaslahatan
mereka, memberikan bimbingan dan nasihat keagamaan dan dunia mereka, kalau ini
tidak dilakukan,
dianggap pengkhianat, diharamkan masuk surga, kekal
dalam neraka bersama Haman Qarun dan Ubayyah ibn Khalf.
Ini adalah ancaman keras terhadap para pemimpin yang
sewenang-wenang, maka barang siapa yang menyianyiakan, mengkhianati, dan tidak
adil terhadap orang-orang yang telah ditetapkan Allah untuk dibimbing dan
diperhatikan (rakyat), pada hari kiamat ia akan dimintai pertanggungjawaban
kezalimannya.
Cabang-Cabang Kaidah
Cabang-cabang kaidah
ini sangat banyak dalam implementasinya, diantara yang
paling penting adalah:
1.
Al-Ma>wardi> mengatakan : Pemerintah tidak boleh mengangkat orang
fasik menjadi imam salat, walaupun kami
menganggap salat dibelakangnya tetap sah. Karena penunjukan orang fasik menjadi imam hukumnya makruh, dan mengajak
manusia melakukan hal yang makruh yaitu salat di belakang orang fasiq bukanlah
kemaslahatan. Kalau
pemerintah tetap mengangkat orang fasik menjadi
imam salat berarti ia tidak memperhatikan
kemaslahatan.
Terlebih lagi, seorang pemimpin
tidak boleh mengangkat yang baik selama ada yang lebih baik, kalau ia lakukan, berarti
telah berkhianat kepada Allah, rasulNya, dan komunitas muslimin. Sesuai dengan
firman Allah:
Apakah orang-orang beriman
itu sama dengan orang-orang yang fasik? mereka tidak sama.
Rasulullah saw. bersabda:
Janganlah orang fa>jir mengimami orang mukmin, kecuali
kalau dipaksa oleh penguasa, atau takut cambukannya dan pedangnya.
Dan sabda Rasulullah
saw.
Jadikanlah imam-imam orang yang terbaik
diantara kalian, karena mereka itu adalah delegasi
antara kalian dan tuhan kalian.
2. Begitu
juga, bila kepala negara bimbang dalam
mentukan pilihan terhadap tawanan apakah dibunuh, dijadikan budak, membayar
tebusan atau berbuat baik kepadanya. Kepala
Negara
tidak
boleh hanya menuruti maunya sendiri, tetapi harus pertimbangkan
sisi maslahah melalui musyawarah. Kalau saat itu dia belum menemukan kemaslahatan untuk negara,
dia harus menawannya sampai menemukan kemaslahatan.
Ketika
terjadi Perang Badar, Rasululullah saw. pernah berkonsultasi kepada
sahabat-sahabatnya tentang tawanan, Umar berpendapat tawanan dibunuh saja, Abu
Bakr berpendapat mereka diamankan, Rasulullah cenderung pendapat Abu Bakr dan
mengambilnya, maka turunlah ayat:
Tidak
patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah
menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.
maka Rasulullah
saw. bersabda,
“Seandainya
siksaan turun dari langit, tidak ada yang selamat kecuali Umar”.
Ini
adalah petunjuk bahwa kebijakan pemerintah wajib berorientasi kepada
kemaslahatan umum untuk rakyat, sebab kalau tidak, akan berhadapan dengan murka,
kemarahan, dan siksaan Allah di dunia dan akhirat.
3. Bila
seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris, maka harta yang
ditinggalkan dimasukkan dalam kas negara kaum muslimin. Bila ia dibunuh dengan
sengaja maka yang menjadi walinya adalah pemerintah.
Sebagaimana
sabda Rasulullah saw.
Pemerintah adalah
wali bagi orang yang tidak memiliki wali.
Pemerintah
tidak boleh memaafkan si pembunuh secara gratis, karena hal itu tidak
mendatangkan maslahah. Tetapi pembunuh harus dikisas atau membayar diyat untuk kemudian dimasukkan dalam kas negara.
4. Jika
pemerintah menikahkan seorang perempuan yang tidak memiliki wali, pemerintah
tidak boleh menikahkan dengan orang yang tidak setara dengannya. walaupun
perempuan tersebut menyetujuinya, karena kesetaraaan merupakan salah
satu bahan pertimbangan dalam pernikahan, dan merupakan hak orang islam.
Para
fuqaha sangat mempertimbangkan kesetaraan, karena diantara dampak pernikahan
yang tidak setara adalah kerugian di pihak perempuan dan keluarganya, yang seringkali
akan diikuti pula dengan celaan terhapnya dan
juga wali-walinya yang lain.
Bila
seorang perempuan menikahkan dirinya dengan seorang yang tidak setara, maka jangan berharap
kemaslahatan pernikahan akan terealisasi dan kelanggengan pergaulan suami
isteri. kemaslahatan dan kelanggengan pernikahan hanya terwujud minimal bila
suami setara dengan isteri. Karena dalam urusan rumah tangga suami berperan
sebagai kepala yang memiliki kekuatan yang lebih.
Sebagaimana
firman Allah.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. sebab itu wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar.
Dan firman Allah swt.
Dan para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya
Seringkali
isteri merasa hina kalau suaminya memiliki kedudukan yang lebih rendah keturunan,
agama dan akhlak, begitu juga keluarga isteri dan wali-walinya merasa hina
besanan dengan orang yang tidak setingkat agama, kedudukan, dan nasab mereka. dan
biasanya ikatan besanan terputus atau melemah.
Karenanya diriwayatkan dari Umar ibn Khattab
berkata:
Sungguh
saya melarang pernikahan orang-orang yang berkedudukan dengan yang tidak
sederajat.
5.
Penanggung jawab baitulmal tidak boleh mendahulukan pemberian kepada orang
yang tidak butuh dari orang yang butuh. Kalau dia lakukan, maka dianggap tidak
menjaga kemaslahatan.
Kepemilikan
dan pemberian adalah wewenang Allah swt. bukan wewenang seorang pemimpin,
sehingga seorang pemimpin tidak boleh menyerahkan sesuatu kecuali yang telah
ditentukan Allah swt. Tugas pemimpin adalah menyalurkan pembagian dengan cara
yang adil.
Diantara
bentuk keadilan adalah mendahulukan orang yang lebih butuh, menyamakan orang
yang sama-sama butuh. kalau petugas membagikan kepada keduanya, sesungguhnya
telah dimaklumi bahwa Allah telah menjadikannya sebagai pemilik sebelum dibagi.
Ringkasnya; seseorang tidak
boleh mengambil sesuatu dari baitulmal sebelum dibagi, karena dengan sistem
pembagian, maka berapapun yang ia peroleh itulah ketentuan Allah. Orang yang
mengambil sendiri sebelum dibagi dianggap melampaui batas dan hakim harus
menta’zir, Rasulullah saw. bersabda:
Siapapun
yang kalian dapati berlaku curang maka pukullah, dan bakarlah hartanya.
Pengecualian
kaidah ini diantaranya :
Jika seorang bapak atau kakek dalam keadaan tidak
mabuk, dan selalu tepat dalam menentukan pilihan, dibolehkan menikahkan anak
kecilnya yang tidak selevel dengannya. Pengecualian ini dikhususkan untuk ayah
dan kakek, tidak berlaku untuk wali-wali yang lainnya. Karena tindakan seorang
ayah tidak dicurigai, dan bila salah satu syarat kafa>ah disepelekan
tentu karena ada pertimbangan lain dalam bingkai untuk mewujudkan mashlahah.
Nice post kak
BalasHapusFia