Kembali Ke Dasar 10.000 Jam

Countdown

Kamis, 26 Maret 2015

KEBIJAKAN IMAM/KEPALA NEGARA TERHADAP WARGA NEGARA BERKORELASI DENGAN KEMASLAHATAN

Arti kaidah ini adalah:
Kebijakan pemimpin, pemerintahan yang tertinggi, dan tiap kepala pemerintahan yang mengurus perkara orang islam, menurut syariat tidak dibenarkan dan tidak boleh dilaksanakan kalau tidak berorientasi kepada kebaikan secara umum,  sebab kalau tidak, kebijakan tersebut cacat dan lalim.
Penjelasan kosa kata
Yang dimaksud dengan rakyat adalah semua manusia yang dibawah kekuasaan seorang pemimpin.
Imam dalam istilah ini adalah pemimpin seluruh kaum muslimin di muka bumi, seperti khulafa>urra>syidi>n dan pemimpin-pemimpin setelah mereka seperti kepala Negara Islam, dan semua kepala pemerintahan yang mengurus negara.
Prinsip ini telah ditulis asysya>fiiy dan mengatakan:
kedudukan pemimpin terhadap rakyatnya seperti posisi wali terhadap anak yatim

Umar r.a berkata:
Saya memposisikan diri saya terhadap harta Allah seperti posisi wali yatim terhadap harta anak yatim, kalau saya butuh saya mengambilnya, kalau saya tidak butuh lagi saya kembalikan, dan kalau saya berkelebihan saya menahan diri untuk tidak mengambilnya.
Al Ima>m Umar ibn alkhat}t}a>b menganalogikan posisi dirinya terhadap harta kaum muslimin dengan posisi seorang wali yatim terhadap harta anak yatim tersebut. Beliau tidak boleh mengambilnya kalau tidak butuh, dasar hukumnya firman Allah swt.
Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu), dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kalau ada yang mengatakan: sebetulnya Asysya>fiiy tidak mengambil perkataan seorang sahabat, karena baginya perkataan seorang sahabat bukan landasan hukum. Kita jawab : sesungguhnya redaksi ayat itulah yang digunakan sebagai alasan hukum :
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kewajiban penguasa/pemerintah terhadap rakyat
Prinsip ini akan mengontrol batasan-batasan wilayah kebijakan yang boleh dieksekusi seorang pemimpin yang mengatur problematika kaum muslimin secara umum. Baik seorang kepala negara, gubernur, hakim, ataupun pegawai pemerintah. Prinsip ini juga menegaskan bahwa pemerintah dan orang-orang yang posisinya seperti mereka dalam mengeksekusi semua produk kebijakan, tugas, dan fungsi harus didasarkan dalam kerangka dan konstruksi kebaikan untuk semua.
Para pemimpin negara, gubernur, hakim, dan setiap person yang mendapatkan tanggung jawab terhadap urusan orang banyak bukannya pekerja untuk diri mereka, sesungguhnya mereka adalah perwakilan masyarakat luas dalam mengatur perkara umat. Kewajiban mereka adalah mempertimbangkan, memenej kebijakan yang terbaik dalam menegakkan keadilan dan menghilangkan kelaliman, memberikan haknya orang yang berhak, memelihara akhlak yang mulia, membersihkan masyarakat dari kerusakan, memancarkan ilmu pengetahuan, memerangi kebodohan, memiliki perhatian yang tinggi terhadap harta benda dan aset umum, dan hanya membelanjakan pada issue yang dirasakan langsung manfaatnya oleh orang banyak.
Tidak boleh memihak atau berat sebelah kepada seseorang karena posisinya, tendensi lain atau kerakusan. Kerena seseorang yang mengurusi perkara kaum muslimin tidak boleh mengambil satu dirham pun dengan cara illegal, dan tidak memberikannya kecuali di tangan yang orang berhak.
Begitu pula tidak dibolehkan mengambil sedikitpun dari harta seseorang kecuali dengan cara yang benar dan dibenarkan oleh kebiasaan masyarakat.
Sumber hukum prinsip ini adalah:
Tidaklah seorang yang diberi amanah untuk memimpin rakyat, kemudian ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, pasti Allah mengharamkan surga baginya.
Tiadalah seorang pemimpin muslim yang mengurusi urusan kaum muslimin, kemudian tidak memperjuangkan dan membimbing mereka sebagaimana ia membimbing dan memperjuangkan dirinya, pasti ia tidak akan masuk surga bersama mereka .
Rasulullah saw. bersabda dalam doanya :
Ya Allah, barang siapa yang mengurusi urusan ummatku dan ia mempersulit mereka walaupun sedikit, maka persulit juga dia. Dan barang siapa yang mengurusi urusan ummatku dan ia memudahkan mereka walaupun sedikit, maka mudahkan pula dia.
Hadis-hadis diatas menunjukkan seorang pemimpin wajib bersungguh-sungguh memperhatikan rakyatnya, bekerja keras demi kemaslahatan mereka, memberikan bimbingan dan nasihat keagamaan dan dunia mereka, kalau ini tidak dilakukan, dianggap pengkhianat, diharamkan masuk surga, kekal dalam neraka bersama Haman Qarun dan Ubayyah ibn Khalf.
Ini adalah ancaman keras terhadap para pemimpin yang sewenang-wenang, maka barang siapa yang menyianyiakan, mengkhianati, dan tidak adil terhadap orang-orang yang telah ditetapkan Allah untuk dibimbing dan diperhatikan (rakyat), pada hari kiamat ia akan dimintai pertanggungjawaban kezalimannya.
Cabang-Cabang Kaidah
Cabang-cabang kaidah ini sangat banyak dalam implementasinya, diantara yang paling penting adalah:
1.    Al-Ma>wardi> mengatakan : Pemerintah tidak boleh mengangkat orang fasik menjadi imam salat, walaupun kami  menganggap salat dibelakangnya tetap sah. Karena penunjukan orang fasik menjadi imam hukumnya makruh, dan mengajak manusia melakukan hal yang makruh yaitu salat di belakang orang fasiq bukanlah kemaslahatan. Kalau pemerintah tetap mengangkat orang fasik menjadi imam salat berarti ia tidak memperhatikan kemaslahatan.
Terlebih lagi, seorang pemimpin tidak boleh mengangkat yang baik selama ada yang lebih baik, kalau ia lakukan, berarti telah berkhianat kepada Allah, rasulNya, dan komunitas muslimin. Sesuai dengan firman Allah:
Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? mereka tidak sama.
Rasulullah saw. bersabda:
Janganlah orang fa>jir mengimami orang mukmin, kecuali kalau dipaksa oleh penguasa, atau takut cambukannya dan pedangnya.

Dan sabda Rasulullah saw.
Jadikanlah imam-imam orang yang terbaik diantara kalian, karena mereka itu adalah delegasi antara kalian dan tuhan kalian.

2.    Begitu juga, bila kepala negara bimbang dalam mentukan pilihan terhadap tawanan apakah dibunuh, dijadikan budak, membayar tebusan atau berbuat baik kepadanya. Kepala Negara tidak boleh hanya menuruti maunya sendiri, tetapi harus pertimbangkan sisi maslahah melalui musyawarah. Kalau saat itu  dia belum menemukan kemaslahatan untuk negara, dia harus menawannya sampai menemukan kemaslahatan.
Ketika terjadi Perang Badar, Rasululullah saw. pernah berkonsultasi kepada sahabat-sahabatnya tentang tawanan, Umar berpendapat tawanan dibunuh saja, Abu Bakr berpendapat mereka diamankan, Rasulullah cenderung pendapat Abu Bakr dan mengambilnya, maka turunlah ayat:
Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.
maka Rasulullah saw. bersabda,
Seandainya siksaan turun dari langit, tidak ada yang selamat kecuali Umar”.
Ini adalah petunjuk bahwa kebijakan pemerintah wajib berorientasi kepada kemaslahatan umum untuk rakyat, sebab kalau tidak, akan berhadapan dengan murka, kemarahan, dan siksaan Allah di dunia dan akhirat.
3.    Bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris, maka harta yang ditinggalkan dimasukkan dalam kas negara kaum muslimin. Bila ia dibunuh dengan sengaja maka yang menjadi walinya adalah pemerintah.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
Pemerintah adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.
Pemerintah tidak boleh memaafkan si pembunuh secara gratis, karena hal itu tidak mendatangkan maslahah. Tetapi pembunuh harus dikisas atau membayar diyat untuk kemudian dimasukkan dalam kas negara.
4.    Jika pemerintah menikahkan seorang perempuan yang tidak memiliki wali, pemerintah tidak boleh menikahkan dengan orang yang tidak setara dengannya. walaupun perempuan tersebut menyetujuinya, karena kesetaraaan merupakan salah satu bahan pertimbangan dalam pernikahan, dan merupakan hak orang islam.
Para fuqaha sangat mempertimbangkan kesetaraan, karena diantara dampak pernikahan yang tidak setara adalah kerugian di pihak perempuan dan keluarganya, yang seringkali akan diikuti pula dengan celaan terhapnya dan  juga wali-walinya yang lain.
Bila seorang perempuan menikahkan dirinya dengan seorang  yang tidak setara, maka jangan berharap kemaslahatan pernikahan akan terealisasi dan kelanggengan pergaulan suami isteri. kemaslahatan dan kelanggengan pernikahan hanya terwujud minimal bila suami setara dengan isteri. Karena dalam urusan rumah tangga suami berperan sebagai kepala yang memiliki kekuatan yang lebih.
Sebagaimana firman Allah.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar.

Dan firman Allah swt.
Dan para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya
Seringkali isteri merasa hina kalau suaminya memiliki kedudukan yang lebih rendah keturunan, agama dan akhlak, begitu juga keluarga isteri dan wali-walinya merasa hina besanan dengan orang yang tidak setingkat agama, kedudukan, dan nasab mereka. dan biasanya ikatan besanan terputus atau melemah.
Karenanya diriwayatkan dari Umar ibn Khattab berkata:
Sungguh saya melarang pernikahan orang-orang yang berkedudukan dengan yang tidak sederajat.
5.    Penanggung jawab baitulmal tidak boleh mendahulukan pemberian kepada orang yang tidak butuh dari orang yang butuh. Kalau dia lakukan, maka dianggap tidak menjaga kemaslahatan.
Kepemilikan dan pemberian adalah wewenang Allah swt. bukan wewenang seorang pemimpin, sehingga seorang pemimpin tidak boleh menyerahkan sesuatu kecuali yang telah ditentukan Allah swt. Tugas pemimpin adalah menyalurkan pembagian dengan cara yang adil.
Diantara bentuk keadilan adalah mendahulukan orang yang lebih butuh, menyamakan orang yang sama-sama butuh. kalau petugas membagikan kepada keduanya, sesungguhnya telah dimaklumi bahwa Allah telah menjadikannya sebagai pemilik sebelum dibagi.
Ringkasnya; seseorang tidak boleh mengambil sesuatu dari baitulmal sebelum dibagi, karena dengan sistem pembagian, maka berapapun yang ia peroleh itulah ketentuan Allah. Orang yang mengambil sendiri sebelum dibagi dianggap melampaui batas dan hakim harus menta’zir, Rasulullah saw. bersabda:
Siapapun yang kalian dapati berlaku curang maka pukullah, dan bakarlah hartanya.
Pengecualian kaidah ini diantaranya :
Jika seorang bapak atau kakek dalam keadaan tidak mabuk, dan selalu tepat dalam menentukan pilihan, dibolehkan menikahkan anak kecilnya yang tidak selevel dengannya. Pengecualian ini dikhususkan untuk ayah dan kakek, tidak berlaku untuk wali-wali yang lainnya. Karena tindakan seorang ayah tidak dicurigai, dan bila salah satu syarat kafa>ah disepelekan tentu karena ada pertimbangan lain dalam bingkai untuk mewujudkan mashlahah.

1 komentar: