PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM AL-QUR'AN
Revisi Makalah
Dipresentasikan
pada Seminar Kelas Program Doktor
Mata Kuliah
Tafsir Maud}u>‘i> Semester I Kelompok I
Oleh
Andi Yaqub
80100313009
Dosen Pemandu:
Prof. Dr. Mardan,
M.Ag.
Dr. Firdaus, M.Ag.
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR 2014
PELESTARIAN
LINGKUNGAN HIDUP DALAM AL-QUR'AN
A.
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang Masalah
Islam memproyeksikan bahwa manusia
mempunyai peranan penting dalam menjaga kelestarian alam (lingkungan hidup).
Islam merupakan agama yang memandang lingkungan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap Tuhan. Manifestasi dari keimanan
seseorang dapat dilihat dari perilaku manusia, sebagai khalifah terhadap
lingkungannya. Islam mempunyai konsep yang sangat detail terkait pemeliharaan
dan kelestarian alam.
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai
makhluk dan hamba Tuhan, sekaligus sebagai wakil (khalifah) Tuhan di muka bumi.
Manusia mempunyai tugas untuk mengabdi, menghamba (beribadah) kepada Sang
Pencipta. Tauhid merupakan sumber nilai sekaligus etika yang pertama dan utama
dalam teologi pengelolaan lingkungan.[1]
Al-Qur'an al-Karim, yang terdiri atas 6.236 ayat menguraikan berbagai
persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan
fenomenanya. Uraian-uraian
sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat kauniyyah, dan tidak
kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal tersebut. Jumlah ini
tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara tersirat.[2]
Menurut Quraish Shihab, meskipun terdapat sekian
banyak ayat-ayat tersebut, tidak menjadi jaminan bahwa al-Qur’an sama dengan
kitab ilmu pengetahuan atau bertujuan menguraikan hakekat-hakekat ilmiah.
Ketika al-Qur’an memperkenalkan diri sebagai tibyanan likulli syay’i (QS/16: 89)
bukan dimaksudkan untuk mengklaim bahwa dia menjelaskan segala sesuatu, tetapi
lebih menggambarkan
bahwa dalam al-Qur’an terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan
hidup dunia dan akhirat.[3] Fokus kajian
ini terkait dengan ayat-ayat kauniyyah dengan menguraikan bentuk pelestarian
alam.
2.
Rumusan Masalah
Mengkaji tentang pelestarian lingkungan hidup/alam dalam konteks al-Qur’an berbeda dengan terma-terma
kajian lainnya. Istilah lingkungan hidup secara baku bukanlah konsep yang
kongkrit dalam kerangka sistem ajaran Islam, jika dibandingkan dengan
terma-terma dalam wacana ilmu pengetahuan umum. Menilik pelestarian lingkungan maka terma yang sangat jelas tersurat dalam
al-Qur'an adalah bumi atau al-ard}. Bumi diistilahkan dengan term al-ard}[4]
pengungkapannya banyak ditemui dalam al-Qur'an. Berdasarkan uraian di atas maka
dirumuskan sub masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana esensi al-ard}?
b.
Bagaimana al-ard} perspektif al-Qur'an?
c.
Bagaimana eksistensi al-ard} dan hubungannya dengan manusia
menurut al-Qur'an?
B. Tinjauan Umum Tentang al-Ard}
1. Esensi al-Ard}
Term al-Ard} (الأرض) merupakan bentuk tunggal (إسم المفرد) berarti bumi, jamaknya Ard}u>na
(أرضون) atau ara>di> (أراضى).[5] Menurut Ibn Zakariyah, term al-Ard}
yang terdiri atas tiga huruf; الهموة – الراء – الضاض sehingga terbaca “الأرض” memiliki tiga makna dasar. Yakni; (1) الزكمة berarti releks; (2) الرعدة berarti gemetar; dan (3) اعالة berarti tinggi.[6] Dari keiga makna ini, maka dapat
saja dikatakan bahwa bumi itu memiliki sifat yang releks disebabkan ia
sebagai tempat bertumpuh. Boleh juga dikatakan gemetar
disebabkan kadang terjadi goncangan di bumi. Terakhir, adalah tinggi
di-sebabkan di bumi itu ada gunung yang menjulang.
Terkait dengan pengertian di atas, pada Kamus Umum Bahasa Indonesia ditemukan beberapa
batasan umum tentang bumi. Pertama, adalah tanah.[7] Dikatakan demikian, karena unsur dominan yang nampak di bumi adalah
tanah. Kedua, adalah dunia.[8] Dikatakan demikian, karena bumi mengambil posisi di dunia ini. Yang
ketiga adalah bola.[9] Dikatakan demikian, karena bentuk bumi adalah bundar.
Ilmu Pengetahuan Alam, yang
dimaksud dengan bumi adalah salah satu tata surya atau planet yang berputar
pada sumbunya secara sistematis. Terjadinya siang dan malam di bumi,
dikarenakan adanya matahari yang membawa cahaya mengelinginya. Jika bumi
berhadapan dengan matahari tanpa di antarai planet lain maka terjadilah siang,
demikian pula sebaliknya.
Proses berputarnya
bumi dan terjadinya siang dan malam, sehingga dapatlah diketahui bilangan hari.
Di samping bumi berputar mengelilingi sumbunya, bumi juga berputar mengelilingi
matahari. Satu kali putaran selama 365 ½ hari, maka terjadilah satu tahun Syamsiah
menurut peredaran bumi mengelilingi matahari. Tahun Qamariah dihitung
menurut peredaran bulan mengelilingi bumi dalam setahun dua kali putaran.
Bumi juga bisa berarti planet ketiga dalam tata surya, dilihat dari
jaraknya ke matahari, kelima dari besar bentuknya. Dalam astronomi
berlambang atau jari-jari ekuatornya
6378,1 km; jari-jari kutub 6356,8 km.[10]
Di dalam bumi ini, didiami makhluk hidup dan mati. Modelnya, seperti bola
raksasa yang bergaris tengah 12.756.776 m di khatulistiwa dan 12.713824 M
dikutubnya. Kutub Utara dan kutub Selatan agak pepat luas permukaan bumi lebih
dan kurang 510.101.000 Km2. Lebih dari 70 % bumi di antaranya adalah lautan (samudera). Isi
bumi 1.083 x 10 27 / m3. Bumi itu
berputar pada sumbunya. Kecepatan bumi mengelilingi matahari 29.762 km / detik
(kecepatan rata-rata).
Ke-cepatan bumi pada helionya 30.256,7 km / detik. Bumi itu dilapisi oleh
atmosper yang terdiri dari
bermacam-macam gas.[11] Manusia, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan, hanya bisa hidup di dalam astrofrosfer. Di lapisan trasforsfer
dan trasforser inilah susunan gas yang
memungkinkan adanya kehidupan di bumi.
Permukaan bumi tertutup oleh hidrosper dan daratan yang diwakili oleh
benua dan pulau. Samudra, laut, selat dan teluk menempati 7 % permukaan bumi,
sebagian besar di belahan bumi selatan. Daratan menempati daerah lebih luas di
sebelah utara katulistiwa. Puncak tertinggi dicapai G.
Eferes (840 M) dan parit samudra terdalam mencapai ke dalam 107000 m.
litosper bagian lapisan atas disebut kerak bumi yang terdiri batuan bersifat
geranik yang membentuk benua dan batuan bersusun. Tebal kerak bumi berkisar
antara 5 km di bawah dasar samudra 50 km di bawah benua kerapatannya rata-rata
2,85 gm/cm di bagian bawah ketebalannya 2898 km dari batas atas, yang dinamakan
batas atas mantel bumi. Perbatasan antara kerak bumi dengan mantel ditentukan
atas dasar perubahan kecepatan gelombang gempa yang tiba-tiba dan disebut
diskontinuitas Moho (di mana diambil dari seorang dari gempa Yugoslavia).[12]
Pada kedalaman 2898 km terdapat batas mantel dengan inti bumi. Inti bumi
terdiri dari dua lapisan, bagian atas berupa logam cair dan bagian dalam
terdiri dari campuran padat. Penentuan lapisan inti didasarkan atas ketidak
mampuan gelombang gempa transperal (gelombang S) melalui inti yang cair.
Selanjutnya dalam Ensiklopedia al-Qur'an dikatakan bahwa bumi yang kita diami ini terdiri dari air
laut dan darat, lebih kurang 71 % lautan. Jaraknya dari matahari 93.000.000 ml
dan bumi termasuk salah satu dari sembilan planet beredar mengelilingi
matahari.[13]
Bumi berputar mengelilingi sumbunya dari barat ke timur maka matahari
kelihatan terbit dari timur ke barat. Satu kali putaran 24 jam dan karenanya
terjadi siang dan malam. Di mana bahagian yang berhadapan dengan matahari
menjadi terang (siang) sedang yang membelakangi matahari menjadi gelap (malam).
Pada permukaan bumi terdapat lautan, gunung, danau, sungai dan daratan.
Dalam berbagai lapisan bumi, terdapat berbagai benda emas, perak, timah, minyak
tanah dan sebagainya. Bahkan terdapat pula gunung berapi baik di darat maupun
di laut.
Bumi berasal dari pecahan matahari bersama planet-planet lain. Bulan
pecahan dari bumi atau pecahan dari matahari, matahari sama dengan bumi.
Pertumbuhan bumi mengalami masa yang panjang. Mulai dari bola api yang panas
(pecahan matahari), kemudian kulitnya menjadi dingin sedang yang di dalamnya
masih panas. Maka timbullah letupan-letupan yang menyebabkan terjadinya gunung,
bukit, dan lurah. Dengan turunnya hujan terjadilah lautan, danau, sungai dan
tumbuh pula lah berbagai macam tanaman-tanaman serta lahir berbagai makhluk
hidup. Sesudah itu, barulah bumi ini di diami manusia, sehingga manusia itu
berkembang biak di bumi ini sampai sekarang.
Adapun penciptaan bumi menurut teori Ilmu Filsafat, oleh al-Farabi
mengatakan bahwa bumi ini tercipta melalui teori emansi dalam arti bahwa wujud
Tuhan melimpakan wujud alam semesta. Emanasi itu terjadi melalui tafakkur.
Tuhan berpikir tentang zat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan
kebaikan dalam alam. Dengan kata lain berpikirnya Allah swt. tentang zat-Nya
adalah sebab dari adanya alam ini dalam arti bahwa yang memberi wujud kekal
dari segala yang ada.
Tahap berikutnya, berpikirnya Allah swt. tentang zat-Nya yang Esa
melimpahlah yang terbilang pertama, yaitu akal pertama. Dengan demikian Tuhan
yang dalam dirinya tak terdapat arti banyak, secara langsung hanya menciptakan
yang satu. Dalam zat Tuhan, kata Al-Farabi tidak terdapat arti banyak, arti
banyak terdapat sesudah ruh-Nya. Arti banyak mulai terdapat pada akal pertama,
kalau Allah swt meruapakan wujud pertama, akal pertama wujud kedua. Sebagai
wujud kedua, tidak lagi mempunyai satu obyek tafakkur. Tetapi dalam
tafakkur-Nya terdapat dua obyek dan ini sudah mengandung arti banyak.
Maksudnya, akal pertama
berpikir yang merupakan kudrah tentang Allah swt. mewujudkan akal kedua, dan
berpikir tentang diri-Nya, mewujudkan langit pertama.
Akal kedua juga berpikir tentang Tuhan dan mewujudkan langit pertama.
Akal kedua juga berpikir tentang Tuhan dan mewujudkan akal ketiga dan berpikir
tentang diri-Nya mewujudkan alam bintang. Akal ketiga sampai dengan akal
kesepuluh juga berpikir tentang Allah swt dan tentang diri masing-masing.
Berpikir tentang Tuhan menghasilkan akal-akal dan berpikir tentang diri
menghasilkan planet-planet. Demikianlah akal ketia mewujudkan akal keempat dan
saturnus, akal keempat mewujudkan akal keenam dan Mars, akal keenam mewujudkan
akal ketujuh dan matahari, akal ketujuh menghasilkan kedelapan dan Venus, akal
kedelapan mewujudkan akal kesembilan dan Mercurius, dan akal kesembilan
mewujudkan akal kesepuluh dan bulan.
Tetapi, berpikirnya akal kesepuluh tidak menghasilkan akal yang diwujudkannya
hanya bumi.[14]
Dari keterangan di atas, jelaslah bumi ini tercipta melalui proses yang
sangat panjang. Itulah latar belakang terciptanya bumi menurut teori Ilmu Alam
dan teori Ilmu Filsafat. Teori ini, identik dengan teori yang dikemukakan oleh
Alquran dan kajiannya akan diuraikan secara spesifik pada pembahasan mendatang.
Batasan al-Ard} dalam konteks kekinian telah berkembang maknanya.
Sebagai akibat dari itu, maka term al-Ard} dalam al-Qur'an dewasa ini diidentikkan dengan
tiga konsep, yakni; dunia, tanah dan tempat tinggal manusia.[15]
1.
Dunia
Manusia dalam mengarungi hidupnya, terdiri atas empat tahap. Yang
pertama, kehidupan di alam kandungan.[16] Kedua, kehidupan di alam dunia.[17] Ketiga, kehidupan di alam barzah (kubur).[18] Keempat, kehidupan di alam akhirat.[19] Kehidupan di alam kandungan, alam dunia dan alam barzah hanyalah
sementara, sedangkan kehidupan di alam akhirat, itulah yang kekal.[20]
Masalah kehidupan di dunia (العالم),
disebutkan dalam al-Qur'an sebanyak 112 kali.[21] Dunia dalam bahasa Arab artinya dekat,[22] adapula yang mengartikan hina.[23] Dikatakan “dekat” karena umur dunia ini tidak lama. Dikatakan
“hina” karena dunia ini tempat kehinaan dan kesengsaraan, penyebab dari segala
malapetaka.
Karena kehidupan di dunia sifatnya sementara, maka Islam dengan segala
bimbingan dan arahannya mengaharapkan adanya keseimbangan jasmani dan rohani.
Itu disebabkan karena kehidupan di dunia merupakan jembatan atau kendaraan
menuju akhirat sebagai kehidupan yang abadi.[24] Dalam QS al-Ra’d/13: 26 Allah swt. ber-firman :
اَللهُ يَبْسُطُ الرِزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ، وَفَرِحُواْ بِالحَيَوةِ
الدُنْيَا وَمَا اْلحَيَاةُ الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ اِلاَّ مَتَاعٌ.
Terjemahnya
:
Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa
yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal
kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan
(yang sedikit).’[25]
Eksistensi kehidupan di dunia sebagaimana dalam ayat di atas, tentu akan
mendorong manusia untuk menyediakan bekal (beramal), mengerjakan perbuatan baik
yang akan diterima pahalanya di akhirat kelak yang sifatnya abadi. Jadi, hidup
ini amat baik dan berharga untuk dipergunakan dengan baik-baiknya dalam arti;
jangan disia-siakan dan terbuang percuma.
Al-Qur'an tidak melarang
manusia untuk merasakan keuntungan dan kebahagiaan di dunia. Hanya saja,
diingatkan jangan sampai me-lampaui batas sehingga merugikan diri sendiri atau
orang lain. Pem-batasan ini perlu, manusia jangan sampai salah menpergunakan
kekayaan, kekuasaan dan pengetahuan di dunia ini, dengan wahana yang telah
berlumur dosa dan maksiat bisa membawa kepada ke-runtuhan, kehancuran dan
kekacauan bagi mereka sendiri.
Terkait dengan itu, Al-Qur'an menggambarkan bahwa ke-hidupan
dunia ini bagaikan tanaman yang tumbuh dan berkembang sampai ke tingkat yang
menakjubkan, kemudian layu, kering dan hancur. Riwayat dunia cukup
mengambarkan, bagaimana suatu bangsa naik dan bangun ke tingkat kebesaran yang setinggi-tingginya,
kemudian meluncur turun, lemah, sengsara dan binasa, bahkan hilang lenyap dari
permukaan bumi. Yang tinggal hanya riwayatnya. Alquran juga mengingatkan, bahwa
kesenangan dunia dan kemewahannya hanyalah bersifat sementara, banyak di antaraya
kesenangan yang ber-akibat keresahan yang berlama-lama, kegembiraan yang
sebentar nian, bersambung dengan duka cita dalam masa yang panjang. Dalam QS al-Kahfi/18: 46 Allah swt.
berfirman :
اَلمْاَلُ وَاْلبَنُوْنَ زِيْنَةُ اْلحيَوَةَ الدُنْيَا وَاْلبَقِيَتُ
الصَّلِحَتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرُ اَمَلاً.
Terjemahnya:
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia
tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi
Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.[26]
Dari ayat di atas, diketahui
bahwa harta benda dan anak hanya merupakan perhiasan dalam kehidupan dunia,
sedang perbuatan baik (amal shaleh) akan mendapat pahala yang lebih baik dan
kekal. Orang yang tidak beriman hanya mengakui kehidupan dunia semata dan tidak
mempercayai hari kebangkitan. Dengan demikian, Islam menuntut seseorang untuk
menghindari sifat iri atau dengki terhadap orang lain yang memperoleh
kesenangan hidup di dunia dan segala kemewahan-nya karena mungkin saja di
akhirat tiada mendapat apa-apa selain dari hukuman dan siksa. Dalam QS Thaaha
(20: 131 Allah swt. berfirman
ولا تمدن عينيك الى مامتعنا به ازواجا منهم زهرة الحياة الدنيا لنفتنهم فيه
ورزق ربك خير وابقى
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu
arahkan kedua matamu kepada apa yang telah kami berikan kepada
golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, untuk kami cobai
mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekal.”[27]
Jelaslah bahwa Allah swt menerangkan kepada manusia tentang hal-hal yang
mudah dipengaruhi oleh kenikmatan hidup duniawi, yang oleh Allah dijadikan
sebagai cobaan bagi manusia. Hidup di dunia mesti menghindarkan diri dari
kemewahan yang berlebih-lebihan sehingga menjadikan sadar dan ingat akan yang
menciptakan. Oleh karena itu, hidup dengan sikap zuhud dan sedarhana menjadi
enteng dan menyenangkan, sedangkan hidup dengan sikap tamak dan serakah menjadi
sulit dan melelahkan. Sesungguhnya dunia tidak ubahnya seperti pengantin yang
membuat manusia tertarik kepadanya, dia pun menipunya, tatkala manusia telah
dekat kepadanya, dia pun menipunya dan mencampakkannya. Ini diperjelas dalam QS
ar-Ru>m/30: 7.
يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِنَ اْلحَيَوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الاَخِرةِ
هُمْ غَفِلُوْنَ.
Terjemahnya:
Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan
dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.[28]
Ayat di atas, maka bukan berarti harta harus dimusnahkan atau
sampai-sampai mengharamkannya. Tetapi dengan kehidupan dengan pasilitas apa adanya akan membawa
seseorang untuk mendekat-kan dirinya Allah swt. Itu disebabkan karena kehidupan
dunia hanya ketampakan lahiriyah sementara akhirat sebaliknya.[29]
Manusia yang ideal menurut
Islam adalah yang memadukan dua kebaikan, yakni dunia dan akhirat. Berbuat
untuk dunia seakan-akan dia akan hidup selamanya dan berbuat untuk akhirat
seakan-akan dia akan mati esok hari.
Mata pencaharian dan pekerjaan duniawi bukan sekedar masalah yang mubah,
tetapi dituntut juga wajib, tergantung kepada masyarakat. Mencari pencaharian
di dunia dengan berbagai macam ragamnya, ada yang mubah di satu sisi dan ada
pula yang wajib di sisi lain. Umpamanya; siapa yang memanfaatkan kerja orang
lain dalam masalah makan, pakaian dan tempat tinggalnya maka dia harus berbuat
pula bagi orang lain itu dengan kadar yang sama (seimbang dalam menerima dan
memberi). Jika tidak dilakukannya seperti itu, berarti dia adalah orang
zalim.” Siapa yang ridha terhadap sesuatu ynag sedikit dari pekerjaannya,
maka dia tidak menerima keduniaan kecuali hanya sedikit pula.
2. Tanah
Kata tanah (تراب) dalam Alquran terulang sebanyak 43
kali.[30] Menurut beberapa literatur, tanah memiliki beberapa pengertian antara
lain; (1) Danau besar di bagian barat Ethiopia. Berukuran kurang lebih 80 km x
64 km, luasnya kira-kira 5.120 km. menjadi sumber air sungai Nil; (2) Sungai,
berhulu di Kenya Tengah, Afrika Timur. Pada mulanya mengalir dari barat ke
timur, kemudian menbelok keselatan, bermuara ke samudra Hindia dan Kipini. (3)
Campuran bagian-bagian batuan dengan mineral-mineral serta bahan-bahan organik
(sisa kehidupan), yang timbul pada permukaan bumi, hidup kebanyakan
tumbuh-tumbuhan.[31] Lazimnya, tanah bersifat asam, netral atau alkalik. Kesuburan tanah
secara relatif, bergantung kepada tekstur susunan kimia, persediaan air, sifat
tanah bawah dan iklim di atas. Pupuk buatan dan penggarapan tanah dapat
menambah kesuburan, tetapi pada suatu waktu akan susut jika kadar organisme
dalam tanah tidak dipertahan-kan.
Faktor utama dalam pertanian adalah tanah, karena dengannya menghasilkan
berbagai kekayaan seperti mineral dan kekayaan bumi lainnya. Tanah dalam
kehidupan manusia sangatlah berpengaruh besar, karena dari tanah, manusia bisa
hidup dari mata pencaharian yang asalnya dari tanah kemudian manusia pun
asalnya dari tanah. Oleh karena itu pemberian Allah yang sangat berharga ini
patutlah disyukuri dan patut pula dijaga.
Tanah pada umumnya, berasal dari batu-batuan yang kemudian hancur menjadi
tanah. Berubahnya batuan menjadi butir-butir tanah dikarenakan oleh beberapa
faktor. Faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pemanasan
matahari yang terus menerus.
b. Batuan
yang sudah retak-retak dipercepat pelapukannya oleh air.
c. Akar
tumbuh-tumbuhan dapat menerobos dan memecah bebatuan se-hingga hancur.
d. Binatang-
binatang kecil, seperti cacing tanah dan rayap selalu mem-buat lubang didalam
tanah dan mengeluarkan zat-zat yang dapat menghancurkan tanah.
Oleh karena itu, apabila penjelasan di atas dikaitkan dengan firman Allah
swt. maka ditemukan korelasinya dalam QS Al-Baqarah/2: 22 sebagai berikut;
الذى جعل لكم الارض فراشا والسماء بناء، وانزل من السماء ماء
فأخرج به من الثمرات رزقا لكم فلا تجعلوا لله اندادا وانتم تعلمون
Terjemahnya:
‘Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai
atap dan dia menjadikan air hujan dari langit, lalu dia menghasilkan dengan
hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu
meng-adakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui’.[32]
Kata lakum
(لكم) dalam ayat di atas, menunjukkan arti manfaat. Maksudnya, untuk
dimanfaatkan bagi setiap orang. Antara lain pemanfaatan itu, ada yang
berhubungan dengan masalah makan dan ada pula yang berhubungan dengan masalah
keperluan sehari-hari seperti pakaian, perumahan dan sebagainya.[33] Lebih lanjut
al-Marâgiy me-nyatakan bahwa adanya hujan yang diturunkan Allah swt.
mengakibat-kan hidupnya tumbuh-tumbuhan di tanah (sawah) tersebut. Dari
tumbuh-tumbuhan yang hidup itu, membuahkan hasil yang sangat bermanfaat bagi
manusia.[34]
Adapun penjelasan dari iman al-Syaukani, beliau
menyatakan bahwa; yang dimaksud pemanfaatan pada ayat di atas, bukan satu macam
pemanfaatan saja, misalnya makan bahkan termasuk semua yang layak untuk
dimanfaatkan dari segala seginya. Umpamanya, sekalipun menurut sunnah tanah itu haram dimakan, namun juga bermanfaat
untuk hal-hal yang lain. Dan sebagai bekal pemanfaatan ini, manusia dibumi ini dan kekuatan yang
dimilikinya serta pemanfaatan hasil bumi itu, selalu memerlukan penjagaan
hidupnya, kekuatannya dan keaktifannya dengan makanan, obat-obatan, pakaian
tempat tidur dan perumahan, juga perlu sarana, alat dan sebagainya.[35]
Oleh karena itu, manusia berhak menguasai sebagian tanah untuk ditanami
tumbuh-tumbuhan, mereka berhak menguasai pohon-pohonan, memproduksi
tambang-tambangnya seperti minyak dan sebagainya. Atau mendirikan rumah,
gedung, pertokoan, pabrik dan lain-lain. Yang demikian itu, karena Allahlah
yang menciptakan langit dan bumi serta seluruh isinya.
3. Tempat Tinggal
Bumi Allah itu luas maka apa yang diberikan oleh-Nya
hendaknya dimanfaatkan. Dalam QS al-Nisa/4: 97.
قَالُوْا اَلمَْ تَكُنْ اَرْضُ اللهِ وَاسِعًا
فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا
Terjemahnya :
Para malaikat berkata; “Bukankah bumi Allah itu luas,
sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?[36]
Ayat di atas, memberikan pemahaman bahwa bumi ini sangat luas dan bagi
manusia adalah tempat mereka berhijrah dalam arti mereka dapat berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat yang lain untuk melangsungkan hidupnya.[37] Jadi, dengan informasi bahwa bumi ini sangat luas maka tentu manusia
secara bebas berdiam dan beraktifitas di dalamnya.
Di samping itu, dapat pula
dipahami bahwa menurut pengertian lahiriahnya, yaitu bahwa bumi ini memandang
luas, sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak berbuat baik dan
berbakti kepada Allah hanya karena kebetulan tempat ia berdiam dan hidup tidak
memungkinkan. Dengan perkataan lain, manusia dianjurkan untuk menjelajah bumi
dan melihat kemungkinan yang ada di luar bumi itu sendiri.
Menurut Nurcholish Madjid, dengan
berdiamnya manusia di bumi ini mereka digugat untuk tidak hanya menetap di satu
atau di satu wilayah saja, melainkan mereka harus berpindah-pindah
(transmigrasi) untuk berbuat sesuatu yang bakal mengangkat harkat dan martabatnya
yang diperoleh dari iman dan bakti kepada Tuhan yang Maha Esa.[38]
Para malaikat yang bertugas mematikan
manusia nanti akan menggugat manusia, mengapa manusia itu tidak berpindah dari
tempat satu ke tempat yang lain jika memang ditempat itu mereka tidak dapat
berbuat banyak untuk cita-cita-nya yang luhur seperti diajarkan oleh agama.
Padahal sudah dikatakan sebelumnya bahwasannya bumi itu luas. Artinya secara
moral sebetulnya dalam keadaan bagaimanapun manusia tetap dituntut bertanggung
jawab atas segala perbuatannya dan tidak dibenarkan dengan gampang mencari
dalih untuk tidak mencari hal yang terbaik dalam hidup ini.
Sebab
dengan adanya akal dan pikiran yang telah dikaruniakan Allah swt. kepada
manusia, maka wajiblah atas manusia itu untuk selalu berikhtiar untuk mencari
kemungkinan yang terbaik dalam hidup ini. Biarpun untuk itu
manusia harus berhijrah dari tempat asal-nya dan ini menjadi sumber dinamika
bagi mereka yang benar-benar beriman, yang tidak pernah berputus asa dari
rahmat Allah swt. Terkait dengan uraian ini, dalam QS Fus}s}ilat/41: 9. Allah swt. berfirman
كل ائنكم اتكفرون بالّذي خلق الارض في يومين وتجعلون له انداد اذلك ربّ
العلمين.
Terjemahnya:
‘Katakanlah sesungguhnya patutkah kamu
kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu
bagi-Nya ? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam.’[39]
Firman-Nya
yang lain, yakni QS al-A’raf/7: 54 dinyatakn
bahwa :
انّ ربّكم الله الّذي خلق السّموت والارض في ستّة ايّام.
Terjemahnya:
Dari
dua ayat di atas, Ali Akbar menjelaskan dalam bukunya God and Man bahwa penciptaan mengalami frase-frase tertentu, yakni
langit-langit dan bumi diciptakan dalam enam periode / masa dan juga enam hari.
Ada orang-orang yang berpendapat lain tentang istilah ini, tapi dalam istilah
yang umum pembicaraan tentang periode enam hari adalah periode waktu. Bedanya
hanya bentuk satuan waktu / hari dalam perhitungan di bumi, tidak dapat
disamakan dengan satuan perhitungan waktu menurut Allah dan ciptaan-Nya.
Sedangkan menurut kitab suci Alquran, satu hari perhitungan dunia lima puluh
tahun, bahkan sama dengan lima puluh juta tahun dalam perhitungan Tuhan.[41]
Dari uraian-uraian terdahulu, dapatlah dirumuskan bahwa
bumi dibatasai dengan tiga konsep, yakni; dunia, tanah dan tempat manusia
berdiam. Dunia meliputi segala jagad raya dan unsur terbanyaknya adalah tanah.
Tanah inilah sumber utama dalam pemenuhan kebutuhan karena di dalamnya diproleh
makanan, minuman dan fasilitas lainnya.
Dengan adanya fasilitas tersebut maka dengan mudah manusia mendiaminya
dan melakukan aktifitas dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari.
C. Ayat-ayat tentang Al-Ard} dan
Analisisnya
Untuk mengetahui dan memahami
eksistensi al-Ard} menurut Al-Qur'an, maka dalam bab ini akan
dikemukakan ayat-ayat tentang al-Ard} dengan sub bahasan; ayat-ayat Makkiyah dan
Madaniyah serta analisisnya. Dalam menentukan kriteria
ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah dalam bahasan ini, digunakan
beberapa pendekatan, yaitu;
1.
Metode al-Sumâ’iy al-Naqliy, yakni pendekatan yang dilakukan
dengan bersandar pada riwayat-riwayat yang sahih dari sahabat yang mengeluarkan
wahyu (ayat) tersebut atau dengan menyaksikan secara langsung turunnya ayat,
atau dari tabiin yang bertemu langsung dengan sahabat dan mendengarkan
bagaimana cara turunnya ayat dan di mana tempatnya.
2.
Metode al-Qiyâs al-Ijtihâdiy, yakni pendekatan yang di-dasarkan
kekhususan-kekhususan ayat yang ada pada ayat Makkiyah dan Madaniyah sehingga
jika didapatkan dalam surah Makkiyah yang menjadi kekhususan pada surah
atau ayat Madaniyah, maka di-tetapkanlah bahwa surat atau ayat tersebut
termasuk Madaniyah, demikian pula sebaliknya.[42]
Adapun kandungan ayat dan
sebab turunnya berdasarkan kategori tempat turunnya
ayat yaitu:
1. Ayat-ayat Makkiyah
Telah dikemukakan terdahulu bahwa ayat-ayat tentang al-Ard}
yang tergolong Makkiyah adalah;
a)
QS al-Naml/27: 62, menerangkan
bahwa yang bertugas sebagai khalifah di bumi adalah manusia.
b)
QS
al-Dzâriyah/51: 20, menerangkan
bahwa dengan adanya bumi merupakan indikasi atas kekuasaan Allah swt.
c)
QS
al-Ghâsiyah/88: 20 menerangkan
bagaimana bumi itu di-hamparkan oleh Allah swt.
d)
QS al-Burûj/85: 9 menerangkan
bahwa bumi itu di bawah ke-kuasaan dan kendali Allah swt.
Dari keempat ayat di atas, dua di antaranya yang tidak
memiliki asbâb al-nuzûl.[43] Itu disebabkan karena tidak semua ayat Alquran memiliki asbâb
al-nuzûl.[44] Kedua ayat tentang al-Ard} tersebut yang tidak memiliki asbâb
al-nuzûl adalah; QS al-Naml/27: 62 dan QS al-Burûj/85: 9. Dua ayat lainnya yang memiliki asbâb
al-nuzûl adalah QS al-Zariyah/51: 8 dan QS al-Ghâsyiah/88: 20.
Asbâb al-nuzûl QS
al-Dzâriyah/51: 8 adalah berdasarkan riwayat dari Ibn Jarîr dan Ibn Abi Hatim
dari al-Hasan bin Muhammad bin al-Hanafiah bahwa ketika Nabi saw. dalam
berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Di antara mereka ada yang bertanya tentang
ke Maha Kuasaan Allah swt. … dalam keadaan demikian turunlah ayat : للسائلين والمحروم، وفي الأرض آيت للموقنين،
وفي أنفسكم أفلا تبصرون .[45] Sedangkan asbâb al-nuzûl QS
al-Ghâsiyah/88: 17-20, berdasarkan
riwayat dari Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim dari Qatadah berkata; ketika Nabi saw.
berdiskusi dengan sahabat-sahabatnya tentang alam semesta, maka kaum dhalim
(ketika itu di Mekkah) keheranan. Dari kasus ini,
maka turunlah ayat وإلي الأرض كيف
ستحت …
.[46]
2. Ayat-Ayat Madaniyah
Ayat-ayat Madaniyah tentang al-Ard} yang dikutip berjumlah tiga belas
ayat, yakni;
a)
Al-Baqarah/2: 11, Allah swt. melarang untuk berbuat kerusakan di bumi.
Kandungan ayat tersebut, memiliki munâsabah[47] dengan QS al-Rad/13: 25; QS al-Hijr/15: 19; QS al-Kahfi/18:
19; QS Taha/20: 53; QS Qa>f/50: 7; QS al-Ma’arij/70: 14; QS Nuh/71: 19; QS
al-Naazi’aat/79: 30; dan QS al-Ghasyiyaah/88: 20.
b)
QS al-Baqarah/2: 22, menerangkan bahwa bumi dihamparkan. Kandungannya,
memiliki munâsabah dengan QS al-Ghâsiyah/88: 20 yang tergolong sebagai ayat Makkiyah
sebagaimana disebutkan ter-dahulu.
c)
QS al-Baqarah/2: 27, menerangkan bahwa mereka berbuat ke-rusakan di bumi
termasuk orang-orang yang merugi. Dengan demikian, kandungan ayat ini memiliki munâsabah
dengan penjelasan ayat pada point b di atas.
d)
QS al-Baqarah/2: 30, menerangkan bahwa manusia lah yang berhak menjadi
khalifah di bumi. Kandungannya, memiliki munâsabah dengan QS al-Naml/27: 62
yang tergolong sebagai ayat Makkiyah sebagaimana disebutkan terdahulu.
e)
QS al-Baqarah/2: 33, menerangkan bahwa semua rahasia dan hal ihwal di
bumi hanya Allah swt. yang mengetahuinya. Kandungannya, memiliki munâsabah dengan
QS Ali Imrân/3: 29 dan 35; QS al-Maidah/5: 97; QS al-Haj/22: 70; QS al-Hujurât/49:
16 dan 18; QS Qaf/50: 4; QS al-Mujâdalah/58: 7 dan QS al-Thagabûn/64:4.
f)
QS al-Baqarah/2: 36, menerangkan bahwa di bumi merupakan tempat kediaman
yang dipenuhi dengan kesenangan. Kandungannya, memiliki munâsabah dengan QS
al-A’râf/7: 10 dan 24.
g)
QS al-Baqarah/2: 107, menerangkan bahwa bumi adalah ke-punyaan Allah swt.
Kandungannya, memiliki munâsabah dengan QS Ali-Imrân/3: 109, 129, 180, 189; QS
al-Nisâ/4: 126, 131, 132, 170, 171; QS al-Mâidah/5: 17, 18, 40; QS al-‘An’âm/6:
12; QS al-Taubah/9: 116; QS Yûnus/10: 55, 66, 68; QS Hud/11: 123; Thaha/20: 6; QS al-Anbiya/21:
19; QS al-Mu’minun/23: 84; QS al-Nûr/42: 12, 3; QS al-Zukhruf/43: 82, 85; QS
al-Jâtsiyah/45: 27; QS al-Fath/48: 4, 7, 14; QS al-Najm/53; 31; QS al-Hadîd/57:
2, 5; QS al-Munafiqun/63: 7; dan QS al-Buruuj/85: 9.
h)
QS al-Baqarah/2: 164, menerangkan bahwa adanya tanda-tanda kehidupan di
bumi disebabkan adanya hujan yang turun dari langit. Kandungannya, memiliki munâsabat
dengan QS Yûnus/10: 24; al-Nahl/16: 65; QS al-Ankabût/29: 63; dan QS al-Hadîd/57:
17.
i)
QS al-Baqarah/2: 168, menerangkan bahwa isi bumi dipenuhi dengan makanan
yang lezat dan diperintahkan untuk memakannya yang tergolong halal. Makanan
yang lezat tetapi haram, misalnya babi sebagai-mana dalam QS al-Baqarah/2: 173;
QS al-Mâidah/5: 3; al-An’âm/6: 45 dan QS
al-Nahl/16: 115.
j)
QS Âli Imrân/3: 190, menerangkan bahwa rotasi bumi yang mengelilingi
matahari menyebabkan adanya pergantian siang dan malam. Kandungannya, memiliki
munâsabat dengan QS an-Naml/6: 75; QS Yûsuf/12: 105; QS Fushshilat/41:39; dan QS
al-Syûra/42: 31.
k)
QS Âli Imrân/3: 133, menerangkan bahwa bumi sangat luas. Kandungannya,
memiliki munâsabat dengan QS Huud/11:108 dan QS al-Anbiya/21: 105.
l)
QS al-Mâidah/5: 97, menerangkan bahwa dengan luasnya bumi, maka manusia
leluasa untuk berhijrah dari satu tempat ke tempat yang lain. Kandungannya,
memiliki munâsabat dengan ayat yang dikemukakan pada point k di atas.
Dari ayat-ayat yang menggunakan term al-Ard}
di atas, baik Makkiyah maupun Madaniyah, jika ditelusuri
kembali kandungan dan beberapa asbâb nuzûl-nya serta munâsabah-nya
maka dapat dirumus-kan bahwa secara substansial ayat-ayat tersebut secara umum
meng-ungkap tentang eksistensi bumi diciptakan.
Dalam berbagai ayat dijelaskan bahwa salah satu tanda
kekuasaan Allah swt. adalah diciptakannya bumi ini. Karena demikian halnya,
maka sungguh akan merangsang manusia untuk merenungkan dan memikirkannya.
Mereka dirangsang untuk memikirkan bagaimana langit-langit ditinggikan,
bagaimana gunung ditegakkan dan bagaimana bumi dihamparkan. Dari hasil
pemikiran mereka tentu akan melahirkan kesimpulan bahwa Allah swt. benar-benar
berkuasa atas segala-segalanya.
Dengan terciptanya bumi ini, maka manusia lah sebagai
khalifah-nya. Maksudnya, manusia dengan segala potensinya diberi amanat untuk
mengelolah bumi dengan sebaik-baiknya. Itu pula lah sebabnya sehingga ada
pelarangan untuk berbuat kerusakan di bumi ini. Pelarangan ini, ditujukan
kepada segenap manusia demi terhindarnya dari malapetaka. Sebagai konsekuensi
pelarangan ini dikhususkan kepada manusia disebabkan adanya kenyataan bahwa
kerusakan di darat dan dilautan adalah ulah manusia itu sendiri.
Sebagai hikmah terbesar dari penciptaan bumi ini, adalah sebagai tempat
manusia dan makhluk Allah swt. lainnya beraktivitas. Mereka dapat berpindah
tempat dan bercocok tanam di dalamnya. Untuk mendukung semua itu, maka
berjalanlah sunnatullah di bumi, misalnya adanya hujan yang turun dari
langit untuk menumbuhkan tanam-tanaman sebagai kebutuhan pokok bagi manusia dan
makhluk Allah swt. lainnya.
Untuk mengenai bagaimana eksistensi bumi dan analisis tentangnya lebih
lanjut, akan dikaji secara tematik (tafsîr bi al-mawdhu’iy) dalam
pembahasan selanjutnya.
D.
Eksistensi Bumi (Al-Ard{) Menurut
Alquran
1.
Proses
Penciptaan Bumi
Pada pembahasan terdahulu, telah diuraikan proses penciptaan bumi
berdasarkan teori Filsafat, yang menyatakan bahwa bumi ini di-ciptakan
oleh Allah swt. melalui proses emanasi.[48] Khusus dalam
pem-bahasan ini, akan dikemukakan proses penciptaan bumi menurut perspektif
Alquran.
Ayat-ayat Alquran
yang mengemukakan tentang proses pen-ciptaan bumi. termaktub dalam QS al-A’raf/7: 54 dan QS Qâf/50
sebagai berikut :
a.
QS al-A’raf/7:
54
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى
الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ
وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ
تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (٥٤)
Terjemahnya:
‘Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah
men-ciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas
‘arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya
pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada
perintah-Nya.’[49]
b.
2. QS Qâf/50:
38
وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوبٍ
(٣٨)
Terjemahnya :
‘Dan sesungguhnya telah kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan.’[50]
Dari dua ayat yang dikemukakan di atas, menerangkan bahwa penciptaan bumi
melalui proses yang cukup lama. Yakni, enam periode atau enam masa. Menurut
jumhur mufassirin, enam periode yang di-maksud pada ayat di atas adalah
enam hari.[51] Ditambahkan oleh Ibn Katsir bahwa enam hari (ستتة أيام)
pada ayat di atas seperti dengan jumlah hari di bumi.[52] Pendapat lain menyatakan bahwa bahwa enam hari (ستة أيام)
pada ayat di atas merupakan waktu atau masa yang cukup lama karena perhitungan
hari di bumi, tidak dapat disamakan dengan satuan perhitungan waktu menurut
Allah swt. ketika men-ciptakan bumi ini.[53]
Lahirlah interpretasi bahwa enam hari yang di maksud adalah seribu tahun
menurut perhitungan manusia.[54] Sedangkan M. Ali Akbar menyatakan bahwa satu hari perhitungan dunia sama
dengan lima puluh tahun atau sama dengan lima puluh juta tahun dalam
perhitungan Tuhan.[55] Dari silang pendapat ini, menandakan bahwa periode penciptaan bumi
merupakan hal yang misterius dan itu merupakan rahasia Allah swt.
Dengan adanya silang pendapat tentang ستة ايام
di atas, maka tidak dapat dijadikan patokan bahwa ستتة ايام
adalah makna yang sebenarnya. Oleh karena itu, dapat saja diinterpretasikan
maksud ستتة ايام adalah enam
tahapan. Yakni, tahap pertama; adanya kejadian-kejadian kosmik yang disebut
bumi; tahap kedua: mendinginnya permukaan bumi; tahap ketiga; menciptakan
gunung-gunung men-stabilisasi langit-langit dan bumi; tahap keempat penciptaan
air di bumi, dan menciptakan padanya sungai-sungai; tahap kelima dan tahap
keenam: penciptaan musim-musim dan memberkahi makanan-makanan di bumi, seperti
tumbuh-tumbuhan, kehidupan hewan dan terakhir, penciptaan manusia. Dimana
tumbuh-tumbuhan dan hewan diperuntuk-kan bagi yang memerlukan.[56]
Setelah terciptanya bumi,
ini maka Allah swt. mengambil tempat di atas ‘arys (ثم استوي علي العرش). Artinya, Allah swt. bersemayam di suatu tempat
yang bernama ‘arsy. Menurut al-Asfahâniy, al-‘arsy yang dimaksud
di sini adalah هو الفلك الأعلي [57] yaitu planet yang sangat tinggi dan jauh. Tetapi, kebanyakan ulama yang
enggang memberi komentar tentang makna al-‘arsy ini. Mereka cukup
mengartikan bahwa al-‘arsy adalah singgasana Allah swt. yang tidak dapat
di-identikkan dengan singgasana yang ada di dunia ini.[58] Karena demikian halnya, maka dapat saja dikatakann bahwa term al-‘arys
di sini adalah kata simbolik yang tergolong mutasyâbihât.
Dari ayat di atas, diketahui bahwa dengan bersemayam-Nya Allah swt. di
atas ‘arsy maka berakhirlah proses penciptaan bumi ini. Yang jelas,
segala isi bumi dan kegiatan-kegiatan makhluk di dalamnya luput dari
perhatian-Nya.
Jika proses kejadian bumi menurut Alquran dikorelasikan dengan teori
filsafat maka dapatlah dinyatakan bahwa bumi ini terwujud karena adanya
refleksi dari Allah swt. Hanya saja, Alquran menyatakan bahwa refleksi tersebut
melalui tahapan-tahapan sedangkan filsafat menyatakan refleksi tersebut emansi.
Dengan demikian, konsep Alquran dan konsep filsafat tentang proses
penciptaan bumi ini adalah sama.
2.
Mekanisme
Evolusi Bumi
Terciptanya bumi, maka ia berevolusi secara kontinyu sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan Allah swt.(sunnatullah). Yakni, senantiasa mengelingi
matahari yang berakibat terjadinya siang dan malam, terjadinya hujan yang
menumbuhkan berbagai tanaman dan tumbuh-tumbuhan, terjadinya malapeta dan
bencana alam lainnya. Dengan sunnatullah semacam ini maka bumi mempunyai
iklim yang berbeda-beda pada lokasi yang berlainan.
Pada QS al-Baqarah/2: 164. Salah satu indikasi kekuasaan Allah swt., menurut ayat di
atas adalah dijadikannya waktu malam dan siang silih berganti, sehingga
menjadikan bermanfaat bagi manusia.[59] Dalam teori Ilmu Alam dikata-kan matahari yang menimbulkan cahaya
adalah sentral semua planet yang senantiasa mengelilinginya, termasuklah di
sini planet bumi yang secara kontinyu mengelilingi matahari. Ketika bumi
berhadapan langsung dengan matahari maka terjadilah siang dan ketika mem-belakanginya
maka terjadinya malam.[60]
Dari evolusi di atas (الليل و النهار)
maka dapat dikatakan bahwa bentuk bumi menurut Alquran adalah bulat seperti
bola. Ini disebabkan karena adanya rotasi (perputaran) bumi yang mengelilingi
matahari. Untuk memperkuat argumen ini, dalam QS al-Zumar/39: 5 Allah swt.
berfirman ;
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بِالْحَقِّ يُكَوِّرُ
اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ وَسَخَّرَ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لأجَلٍ مُسَمًّى أَلا هُوَ الْعَزِيزُ
الْغَفَّارُ (٥)
Terjemahnya
:
‘Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia
menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam.’[61]
Ketika term يكور pada ayat di atas diinterpretasikan,
maka di-ketahui bahwa term tersebut merupakan indikasi atas evolusi secara
kontinyu yang menjadikan siang dan malam di bumi. Dalam berbagai Kamus
Bahasa Arab, dikatakan bahwa term يكور berakar
kata dari term كرر-يكرر-مكورة
وهو كرة yakni,
makna dasar dari كرر adalah ber-pindah-pindah atau tidak
tetap.[62] Dengan makna dasar ini, berarti keberadan siang tidak tetap demikian
pula malam. Artinya, kedua waktu ini saling bergantian dalam mengambil posisi.
Perubahan (تصريف) dari term كرر menjadi مكورة yang berarti كرة mengindikasikan bahwa setiap kalimat yang ditunjuk dengan
term كرة bermakna bulat seperti bola.[63] Ini disebabkan, karena dalam ber-bagai Kamus Arab Indonesia term كرة bermakna bola, bulat dan bundar.[64] Karena kalimat يكور الليل والنهار yang
terpakai dalam ayat di atas, terkait dengan pergantian waktu di bumi, maka
dirumuskanlah bahwa bumi itu bentunknya bulat seperti bola. Dengan demikian,
jauh sebelum ilmu pengetahuan merumuskan bahwa bumi itu bulat, ternyata Alquran telah merumuskannya terlebih
dahulu.
Dengan bentuk bumi seperti yang disebutkan di atas, yakni bulat. Maka
tidaklah kontradiktif dengan pernyataan Allah swt. dalam QS al-Baqarah/2: 22
yang menyatakn bahwa ; الذي جعل لكم
الآرض فراشا
(Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan).[65] Alasannya, term فراشا pada ayat ini berarti للسكن (tempat tinggal).[66] Jadi, bumi tidak dapat diartikan hamparan secara tekstual yang bermakna
tidak bulat.
Pada lanjutan ayat di atas, yakni QS al-Baqarah/2: 22 Allah swt. berfirman
Ï%©!$# @yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# $V©ºtÏù uä!$yJ¡¡9$#ur [ä!$oYÎ/ tAtRr&ur z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ylt÷zr'sù ¾ÏmÎ/ z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$# $]%øÍ öNä3©9 ( xsù (#qè=yèøgrB ¬! #Y#yRr& öNçFRr&ur cqßJn=÷ès? ÇËËÈ
Terjemahnya
:
‘Dia menurunkan air (hujan) dari
langit, lalu menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki
untukmu’[67]
Menurut teori Ilmu Alam, adanya hujan disebabkan adanya angin yang
menggerakkan awan membawa air dari laut.[68] Terkait dengan hal ini dalam QS al-Rum/30: 48 Allah swt.
Ayat tersebut, dapatlah dipahami
bahwa, timbulnya hujan di bumi karena adanya penguapan air yang disebabkan oleh
panasnya udara yang menyengat permukaan laut. Akibatnya,
pergeseran molekul-molekul zat air yang kemudian menjadi uap karena gesekan
dengan panas. Ketika uap tersebut naik ke atas, terbentuklah mendung yang
semaking menebal. Karena beratnya, maka mendung itu berubah menjadi hujan yang
jatuh ke bumi.
Dengan adanya hujan, maka muncullah
dan berkembang ber-bagai tumbuh-tumbuhan. QS al-Haj/22: 5 Allah swt. Ayat ini menjelaskan
bahwa setiap belahan bumi yang tidak terkena atau dilewati arus air, maka
belahan tersebut tidak mempunyai tumbuhan (flora) dan tidak mempunyai
margasatwa (fauna) yang hidup di dalamnya. Tetapi, dengan
turunnya hujan maka menjadi sebab kehidupan bagi tumbuh-tumbuhan. Kegunaan air
hujan tersebut sangat dirasakan bukan hanya bagi tumbuh-tumbuhan melainkan
segenap makhluk Allah swt. termasuklah manusia.
Salah satu kebutuhan pokok manusia adalah air. Dalam QS
al-Anfâl/8: 11 Allah swt.
berfirman :
إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ
السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ
وَلِيَرْبِطَ عَلَى قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الأقْدَامَ (١١)
Terjemahnya
:
Ayat di atas, berarti air yang turun di bumi memiliki
fungsi yang multi ganda. Dikatakan demikian, karena aiar tersebut bukan hanya
sebagai perangsang tumbuhnya berbagai tanam-tanaman tetapi juga sebagai
kebutuhan primer bagi manusia.
Dengan adanya karunia Allah swt. dengan diciptakannya bumi
ini beserta fasilitasnya, maka untuk memanfaatkn fasilitas tersebut, manusia
dituntut untuk sadar akan lingkungannya. Artinya, menjaga merawat bumi ini
dengan sebaiknya sehingga terhindar dari adanya bencana alam dan segala hal-hal
yang mengakibatkan negatif bagi ke-hidupan manusia. Dalam QS al-Baqarah/2: 11
Allah swt. berfirman :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا
فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (١١)
Terjemahnya :
Dan bila dikatakan kepada
mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi[24]". mereka
menjawab: "Sesungguhnya Kami orang-orang yang Mengadakan perbaikan."[70]
Ayat di atas berkoralasi dengan QS al-Rum/30: 41 yang
me-nyatakan bahwa :
ظهر الفساد في
البر والبحر بما كسبت ايد الناس
Terjemahnya :
Mengingat mekanisme kerja bumi yang telah ditetapkan Allah
swt. itu senantiasa berjalan sesuai dengan ketentuannya, tetapi ter-kadang
dalam realitas ditemukan keadaan yang tidak demikian. Demikian halnya, karena
ulah manusialah yang membuatnya demikian, sehingga terjadilah bencana-bencana.
Misalnya, banjir, [72] angin topan,[73] lonsor,[74] gempa bumi[75] dan lain-lain.
E.
Hikmah Penciptaan Bumi
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di bumi ini dari sisi
kejadian-nya dalam kadar (ukuran) tertentu, pada tempat dan waktu tertentu,
itulah yang dinamai taqdîr (kadar), yang sering diistilahkan dengan sunnatullah
atau yang sering secara salah kaprah dinamai hukum-hukum alam.[76] Semuanya itu akan membawa hikmah terhadap makhluk Allah swt. khususnya
kepada manusia. Yang dimaksud hikmah dalam sub judul bahasan sini adalah dampak
positif yang dirasakan manusia terhadap adanya bumi dan isinya.
Paradigma yang ditawarkan Alquran tentang eksistensi bumi
adalah sebagaimana dalam QS al-Baqarah/2: 29.
هو الذي خلق لكم
ما في الأرض جميعا
Terjemahnya :
Paling tidak, ayat di ataslah yang mengelaborasi hikmah
pen-ciptaan bumi. Di mana dalam ayat tersebut dikatakan bahwa bumi ini dan
segala isinya diperuntukkan kepada manusia untuk dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya.[78]
Adapun cara pemanfaatan yang dilakukan manusia terhadap
bumi ini, salah satu di antara dua cara berikut :
1.
Terkadang memanfaatkan benda untuk digunakan sebagai
makanan untuk kepentingan jasmani, atau dijadikan sebagai perhiasan dalam
kehidupan sehari-hari untuk sekedar kesenangan.
2.
Memanfaatkan ciptaan Allah swt. untuk memenuhi
kebutuhan ruhani, yakni dengan cara memikirkan kekuasaan Allah swt. melalui
ciptaan-Nya. Hal ini dilakukan jika cara memanfaatkan yang pertama sudah di
luar batas kemampuan.[79]
Dapat diketahui bahwa pada dasarnya seluruh yang ada di bumi ini boleh
dimanfaatkan. Tidak ada yang berhak untuk menghalanginya kecuali atas izin
Allah swt. Dalam hal pemanfaatan itu, manusialah yang diberi hak otoritas
disebabkan mereka menyandang predikat khalîfah.[80]
Menurut M. Quraish Shihab, khalifah berarti berarti
“peng-ganti”. Pada awalnya diartikan sebagai “di belakang”, kemudian se-suatu
yang berada di belakang adalah pengganti. Selanjutnya khalifah diasosiasikan
dengan pemimpin yang datang sesudah Rasulullah saw. wafat. Khalifah yang
dimaksud adalah khulafaur rasyidin.[81] Tetapi menurut Abd. Muin Salim, khalifah yang dimaksud di sini adalah
semua manusia yang telah dikodrati untuk mengurus bumi ini.[82] Secara tegas dinyatakan bahwa wilayah kekhalifahan manusia adalah bumi.[83]
Perspektif al-Qur'an, ternyata dengan dihamparkannya bumi ini,
mempermudah manusia untuk melakukan aktivitasnya sebagai khalifah. QS
al-Baqarah/2: 22 yang berbunyi
sebagai berikut:
والارض مددناها والقينا فيها رواسيى واتيتنا فيها من مل زرج بهيج.
Terjemahnya:
Dan Kami hampakan bumi itu dan kami letakkan padanya gunung-gunung yang
kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata.[84]
Berdasarkan ayat di atas, diekatahui
bahwa bukan manusia yang akan beraktivitas di bumi ini, tetapi seluruh makhluk
hidup termasuk hewan-hewan dapat berdiam di atasnya. Di atas permukaan bumi ini lah Allah swt. menumbuhkan berbagai tumbuhan
untuk bahan makanannya. Jadilah bumi ini tempat tinggal yang melindunginya dari
hawa panas atau dingin atau sebagai tempat menguburkan bangkai-bangkai tubuh
manusia itu sendiri.
Dengan beraktifitasnya semua makhluk, khususnya manusia,
maka eksistensi bumi inilah dapat dijadikan sebagai tempat isterahat yang
nyaman, tidur dan pindah tempat untuk mengusahakan pekerjaan serta kehidupan
yang lebih baik.
Seandainya bumi ini dalam keadaan kering, maka batu-batu
semakin keras, tanam-tanaman yang tidak tumbuh yang mengakibatkan tidak menbawa
manfaat bagi manusia. Oleh
karena itu, penciptaan bumi ini telah dilengkapi dengan segala fasilitas dan
daur kosmologi yang tertata baik memang Allah swt. peruntukkan kepada manusia.[85]
Oleh karena itu, hikmah yang terbesar bagi manusia dalam
penciptakan bumi ini adalah sebagai wahana dan sarana untuk meng-habiskan
hidupnya dalam beraktifitas, khususnya dalam aktifitas ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
Abaullah, Abd. Rahman Sileh. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan
Al-Qur’an. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Akbar, Ali. God and Man, diterjemahkan oleh
Ahmad Rais dengan judul Allah dan
Manusia Akar Kejadian dan Hari Akhirat al-Quran dan Sains Modern. Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1989.
al-Asfhâniy. al-Râgib. Mufradât
Alfâzh al-Qur’ân. Bairut: Dâr al-Syâmiah, 1992.
Audah, Ali. Konkordansi Qur’an:
Panduan Kata Dalam Mencari Ayat al-Qur'an. Cet.I; Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996.
Fachruddin Hs. Ensiklopedia Al-Qur’an. Jilid I. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1952.
Fatah, Abd. Kehidupan Manusia di Tengah-tengah Alam Materi. Cet. I;
Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Gassing, A. Qadir. “Fiqih Lingkungan: Telaah Kritis tentang Penerapan Hukum Taklifi dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup”Pidato Pengukuhan Guru Besar, Makassar: IAIN/UIN Alauddin, 8
Februari 2005.
al-Ghazali>, Imam. Al-Hikmah
Fiy Makhlûqatillah diterjemahkan oleh Abdullah Alkaf dengan udul Hikmah
Penciptaan Makhluk. Cet.I; Bandung: Pustaka, 1986.
al-Habsyi,Hussin. Kamus al-Kautsar Lengkap Arab-Indonesia. Cet. III; Surabaya:
Yayasan Pesantren, t.th.
Hamka. Tafsir al-Azhar. Jilid I. Cet.II; Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1992.
Ibn Zakariyah, Abu Husain Ahmad bin
Faris. Maqayis al-Lughah. Juz II. Cet.II; Mesir: Mustafa al-Baby al-Halabiy.
Ibn Katsir. Abû al-Fidâ Ismail, Tafsîr
al-Qur’ân al-Azhîm al-Musamma Tafsîr Ibn Katsîr. Jilid II. Bairut: Dâr
al-Fikr, t.th..
Ma’lûf, Louis. Al-Munjid Fiy
al-Lugah. Bairut: Dâr al-Masyriq, 1977.
Madjid, Nurcholish. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1994.
al-Mahalli>, Jalâl al-Dîn Abd. Rahman bin Abi Bakar
dan Jalâl al-Din Muhammad bin Ahmad. Tafsîr al-Qur’ân al-Azim al-Musamma
tafsîr al-Jalâlayn. jilid II. Bairut: Dâr al-Fikr, 1981.
al-Mara>gi>, Ahmad Musthâfa. Tafsi>r
al-Mara>gi>. Juz VII. Mesir: Mushtâfa al-Baby al-Halabiy wa Awladuh, 1973.
Muhammad, Afif dan Ahsin Muhammad.Perspektif
Baru Ilmu Al-Quran. Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
Nasution, Harun. Filsafat dan
Mistisisme. Cet.II; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
al-Naysabûriy, Abû Husain Ali bin
Ahmad al-Wahidiy. Asbâb al-Nuzûl. t.t.: Maktabah al-Halabiy, t.th..
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
al-Qaththân, Mannâ’. Mabâhits Fiy ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut:
Mansyûrat Liy al-Ashr al-Hadîts, 1973.
al-Qurthubi>, Abdullah Muhammad
bin Ahmad al-Anshâriy. Tafsîr al-Qurthubi>. Juz VII. Kairo: Dâr
al-Sya’b, t.th.
Sahil, Sharuddin. Indeks Al-Quran,
Panduan Mencari Ayat Al-Quran Berdasarkan Kata Dasarnya. Cet. I; Bandung:
Mizan, 1994.
Salim, Abd. Muin. Fiqh Siyasah:
Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam al-Qur'an. Cet. II; Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada, 1992.
Shadily, Hassan. Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: Van Hoeve,
1980.
Shihab, M.Quraish. Membumikan
al-Qur’an; fungsi dan Peran wahyu dalam Kehidupan MasyarakatBandung: Mizan, 1996.
-------. Tafsir Al-Qur’an
Al-Karim; Tafsir Atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Cet.I;
Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Al-Sayuti, Abd.
Al-Rahman Jalal al-Din. Al-Durr
Al-Mansyur fi Al-Tafsir Al-Mantsur,Beirut: Dar Al-Fikr, 1983.
Tanudidjaja, Moh. Ma’mur. Bumi dan
Antariksa. Cet. IV; Jakarta; Balai Pustaka, 1996.
Zain, Syaril. Renungan Subuh. Cet. I; Siliwangi:
Karya Dunia Pikir, 1997.
[1]Lihat A. Qadir Gassing, “Fiqih Lingkungan: Telaah Kritis
tentang Penerapan Hukum Taklifi dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup”Pidato Pengukuhan Guru Besar, Makassar: IAIN/UIN
Alauddin, 8 Februari 2005), h. 4-7.
[2]Lihat
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peranan Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Cet. XXVIII; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h.
131.
[3]Lihat
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 131.
[4]Ahmad Warson Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Cet. XIV; Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 20.
[5] Lihat juga Hussin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar Lengkap
Arab-Indonesia (Cet. . III;
Surabaya: Yayasan Pesantren, t.th.), h. 279.
[6]Abu Husain Ahmad bin Faris Ibn Zakariyah, Maqayis
al-Lughah, juz II (Cet.II; Mesir: Mustafa al-Baby al-Halabiy, 1971), h. 79.
[7]W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 165.
[9]W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
h. 165.
[14]Demikian uraian al-Farabiy sebagaimana yang dikutip
Harun Nasution, Filsafat Mistisisme (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h. 32.
[15]Lihat Ali Audah, Konkordansi Qur’an: Panduan Kata Dalam Mencari Ayat al-Qur'an (Cet. I; Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), h. 11.
[19]Lihat QS al-A’raf/7: 57.
[20]Abd. Fatah, Kehidupan Manusia di Tengah-tengah Alam
Materi (Cet. I; Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), h. 23
[21]Asharuddin Sahil, Indeks Al-Quran, Panduan Mencari Ayat
Al-Quran Berdasarkan Kata Dasarnya (Cet. I; Bandung: Mizan, 1994), h. 174
[23]Ibn Zakariyah, Maqayis al-Lughah. Lihat pula Mahmud
Yunus, Kamus Arab IndonesiaJakarta: Hidakarya Agung, 1992), h. 277.
[30]Hasan Sadili, Ensiklopedia IndonesiaG-SHI-VAJ),t.c;
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1984), h. 34-38.
[33]Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid I (Cet. II;
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992), h. 121.
[34]Lihat Ahmad Mustafa al- Mara>gi>, Tafsîr
al-Mara>gi>., juz IMesir:
Mushtafa al-Baby al-Halabiy wa Awladuh, 1973), h. 101.
[35]Demikian penjelasan al-Syaukaniy yang dikutip oleh Khalil Mushawiy, Kaifa Tabniy
al-Syahshiyah.
[41]Ali Akbar, God and Man, diterjemahkan oleh Ahmad
Rais dengan judul Allah dan Manusia
Akar Kejadian dan Hari Akhirat al-Quran dan Sains Modern (Cet. I; Surabaya: Bina Ilmu, 1989), h. 77
[42]Mannâ’
al-Qaththân, Mabâhits Fiy ‘Ulûm al-Qur’ân (Beirut:
Mansyûrat Liy al-Ashr al-Hadîts, 1973), h. 61.
[43]Asbâb al-Nuzûl adalah
sesuatu yang melatar belakangi turunnya suatu ayat atau lebih, sebagai jawaban
terhadap suatu peristiwa atau menceritakan suatu peristiwa, atau menjelaskan
hukum yang terdapat dalam peristiwa itu. Lihat Dawud al-Attâr, Mu’jaz ‘Ulûm
al-Qur’ân diterjemahkan oleh Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad dengan judul Perspektif
Baru Ilmu Al-Quran (Cet. I; Bandung:
Pustaka Hidayah, 1994), h. 127.
[44]Demikian pendapat jumhur mufassirun sebagaimana yang
dikemukakan Abû Husain Ali bin Ahmad al-Wahidiy al-Naysabûriy, Asbâb
al-Nuzûlt.t.: Maktabah al-Halabiy, t.th.), h. 71.
[45]Lihat
Jalâl al-Dîn al-Suyûtiy, Lubâb al-Nuqûl Fi Asbâb al-Nuzûl. Dalam Jalâl
al-Dîn Abd. Rahman bin Abi Bakar dan Jalâl al-Din Muhammad bin Ahmad
al-Mahally, Tafsîr al-Qur’ân al-Azim al-Musamma tafsîr al-Jalâlayn, jilid
II (Bairut: Dâr al-Fikr, 1981), h. 325.
[47]Term munâsabah
berasal dari akar kata ناسب – يناسب – مناسبة
yang
berarti kedekatan. Lihat Lihat al-Thahit Ahmad al-Zawiy, Al-Tartîb al-Qamûs
al-Muhît Ala Tariq al-Misbah al-Munîr Wa Asas al-Balagah, juz IV (Cet. III;
Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h.360. Dari aspek terminologi munâsabah
al-ayah adalah ; segi-segi hubungan antara satu kalimat lain dalam satu
ayat, antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam banyak ayat, atau antara
satu ayat dengan surah yang lain. Lihat Mannâ’ al-Qatthân, Mabâhits Fiy
‘Ulûm al-Qur’ân, h. 97.
[48]Lihat Bab II sub A; h. 21-22
[50]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
855.
[51]Lihat pendapat ulama dalam Abdullah Muhammad bin Ahmad
al-Anshâriy al-Qurthubi>, Tafsîr al-Qurthubi>, juz VIIKairo: Dâr
al-Sya’b, t.th.), h. 53.
[52]Abû al-Fidâ Ismail bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-Azhîm al-Musamma Tafsîr Ibn Katsîr, jilid IIBairut: Dâr al-Fikr, t.th.),
h. 695.
[54]Ahmad Musthâfa al-Mara>gi>, Tafsi>r al-Mara>gi>, juz VIIMesir:
Mushtâfa al-Baby al-Halabiy wa Awladuh, 1973), h. 102.
[55]Ali Akbar, God and Man, diterjemahkan oleh Ahmad
Rais dengan judul Allah dan Manusia Akar Kejadian dan Hari Akhirat al-Quran
dan Sains Modern (Cet. I; Surabaya:
Bina Ilmu, 1989), h. 77
[56]Demikian hasil analisis yang dikemukakan M. Akbar, Ali
Akbar, God and Man.
[57]Lihat al-Râgib al-Asfhâniy, Mufradât Alfâzh al-Qur’ânBairut:
Dâr al-Syâmiah, 1992), h. 558.
[62]Lihat Louis Ma’lûf, Al-Munjid Fiy al-LugahBairut:
Dâr al-Masyriq, 1977), h. 370. Lihat pula Ahmad Warson Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab Indonesia TerlengkapYogyakarta: Pustaka Pesantren, 1984),
h. 1021
[63]Lihat Abû al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyah, Maqâyis
al-Lughah, juz VI (Cet. II; t.t.: Dâr al-Bâby al-Halabiy, 1970), h. 67.
[64]Lihat Louis Ma’lûf, Al-Munjid Fiy Al-Lugah. Lihat pula Ahmad
Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 1022. Lihat juga Mahmud Yunus, Kamus
Arab IndonesiaJakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 370.
[68]Moh. Ma’mur Tanudjijaja, Bumi dan Antariksa, h. 19.
[76]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim; Tafsir
Atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Cet. I; Bandung:
Pustaka Hidayah, 1997), h. 411
[80]Pengertian khalifah
menurut etimologi berasal dari akar kata kha, lam, fa, mempunyai tiga
makna pokok yaitu mengganti, belakang dan perubahan.
Lihat
Abu Al-Husain bin Ahmad bin Faris bin Zakariyah,
Maqayis al-Lughah h. 210. Menurut
terminologis, pengertian khalîfah ditemukan beberapa pendapat, antara
lain; menurut Al-Sayuti menukilkan pendapat Salman Al-Farisiy dan Muawiyah
bahwa Khlaifah adalah kepala pemerintahan umat Islam. Abd. Al-Rahman Jalal
al-Din Al-Sayuti, Al-Durr Al-Mansyur fi Al-Tafsir Al-Mantsur,Beirut: Dar
Al-Fikr, 1983), h. 169. Sedangkan ditinjau dari sudut filosofis, maka istilah
khalifah dalam arti pengganti atau pemimpin, ada dua pandangan yang
berbeda-beda yaitu:1) menyatakan bahwa manusia sebagai species telah
menggantikan species lain yang sejak itu manusia bertempat tinggal di muka
bumi, karena diakui bahwa jin mendahului manusia, maka manusia sebagai
pengganti jin;2) pandangan kedua tidak perlu mempertimbangkan
pendahulu-pendahulu manusia atau siapa mahluk sebelum manusia di muka bumi ini.
Uraian lebih lanjut lihat Abd. Rahman Sileh Abaullah, Teori-teori Pendidikan
Berdasarkan Al-Qur’an (Cet. I;
Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 46.
[81]M.Quraish shihab, Membumikan al-Qur’an; fungsi dan
Peran wahyu dalam Kehidupan MasyarakatBandung: Mizan, 1996), h. 76
[82] Lihat Abd. Muin Salim, Fiqh
Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam al-Qur'an (Cet. II; Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada, 1992), h. 110.
[85]Lihat Imam al-Ghazali>, Al-Hikmah
Fiy Makhlûqatillah diterjemahkan oleh Abdullah Alkaf dengan udul Hikmah
Penciptaan Makhluk (Cet.I; Bandung: Pustaka, 1986), h. 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar