Kembali Ke Dasar 10.000 Jam

Countdown

Kamis, 26 Maret 2015

Titik


Tak terlukis, terukir, tetapi terkoyak
Ingkar hati, menyayat, menyisakan goresan
Titian terhunus sedepak, merengguh selangkah
Ingin” terwujud. menanggalkan amanah
Kewajiban terlupakan, meruntuhkan Bawakaraeng
Tempat bukan wadah, melainkan alamat
Ikuti perintah menafikan larangan
Tujuan bukan maksud, namun ahdaf
Isyarat ruang para dewata, tetapi bukan sewwa’e
Kenang senantiasa ada, jika ada Bawakaraeng
Titik bukan awal tanah, api, angin, dan air
Ikatan titik untaian awal gunung
Terpaan wahyu awal yang akan mengakhiri
Insan”, akhir maqam cahaya
Keajaiban berakhir ketika menitik Bawakaraeng
Tempa diri dengan ilmu
Iman mengukuhkan sabar
Terhanyut dalam arus ihsan
Ikhlas mematri syukur

Kalbu manusia itu Bawakaraeng

KEBIJAKAN IMAM/KEPALA NEGARA TERHADAP WARGA NEGARA BERKORELASI DENGAN KEMASLAHATAN

Arti kaidah ini adalah:
Kebijakan pemimpin, pemerintahan yang tertinggi, dan tiap kepala pemerintahan yang mengurus perkara orang islam, menurut syariat tidak dibenarkan dan tidak boleh dilaksanakan kalau tidak berorientasi kepada kebaikan secara umum,  sebab kalau tidak, kebijakan tersebut cacat dan lalim.
Penjelasan kosa kata
Yang dimaksud dengan rakyat adalah semua manusia yang dibawah kekuasaan seorang pemimpin.
Imam dalam istilah ini adalah pemimpin seluruh kaum muslimin di muka bumi, seperti khulafa>urra>syidi>n dan pemimpin-pemimpin setelah mereka seperti kepala Negara Islam, dan semua kepala pemerintahan yang mengurus negara.
Prinsip ini telah ditulis asysya>fiiy dan mengatakan:
kedudukan pemimpin terhadap rakyatnya seperti posisi wali terhadap anak yatim

Rabu, 25 Maret 2015

A.    Pengertian al-‘Urf  dan Tradisinya
Kata ‘urf  berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu ( عرف – يعرف ) sering diartikan dengan “al-Ma’ru>f” (المعروف) dengan arti: “sesuatu yang dikenal”. Kalau dikatakan فلان أولى فلانا عرفا (Si Fulan lebih dari yang lain dari segi ‘urfnya) maksudnya bahwa si Fulan lebih dikenal dibandingkan dengan yang lain. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian “diakui oleh orang lain”. Kata al-‘Urf  juga terdapat dalam al-Qur’an dengan arti “ma’ru>f” (معروف) yang artinya kebajikan (berbuat baik), seperti dalam Q.S. al-A’ra>f/7:199:[1] 
Terjemahannya:
“jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang bodoh.”[2]
 Adapun al-‘Urf  secara istilah adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perbuatan, atau keadaan meninggalkan, dan ia juga dinamakan sebagai adat.[3] Ulama berbeda pendapat tentang apakah al-‘Urf  dan adat adalah sama. Para ahli bahasa Arab ada yang menyamakan antara kata adat dan al-‘Urf , kedua kata itu mutara>dif (sinonim). Seandainya kedua kata itu dirangkaikan dalam suatu kalimat, seperti: “hukum itu didasarkan kepada adat dan al-‘Urf , tidaklah berarti kata adat dan  al-‘Urf  itu berbeda maksudnya meskipun digunakan kata sambung “dan” yang biasa dipakai sebagai kata yang membedakan antara dua kata. Karena kedua kata itu memiliki arti yang sama, maka dalam contoh tersebut, kata al-‘Urf  adalah penguat terhadap kata adat.[4]

Selasa, 24 Maret 2015

Kesulitan Mendatangkan Kemudahan

Kaidah ketiga
Makna kaidah : Kaidah ini mengandung pengertian bahwa ketika mukallaf  mendapati kesulitan dalam menerapkan syariat, maka syariat meringankannya dan mempermudah sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan.
Al-masyaqqah” kesulitan menurut etimologi adalah: kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran. Sebagaimana terdapat dalam surah QS an-nahl ayat 7:  
Terjemahnya:
“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Maksud ayat ini adalah bahwa kalian tidak akan sanggup menuju tempat (negeri) itu , kecuali dengan rasa lelah dan sukar. Maka jelaslah yang dimaksud dengan “al-masyaqqah” pada ayat di atas adalah kelelahan, kesukaran (kesulitan). Dengan demikian kesulitan itu bisa menjadikan sebab datangnya kemudahan.

Sabtu, 14 Maret 2015

Niat dan Implikasi Hukum

Kaidah Pertama: al-Umu>r bi Maqa>s}idiha>
Makna Kaidah
Kaidah al-Umu>r bi Maqa>s}idiha> bermakna bahwa sesungguhnya hukum yang merupakan akibat dari sebuah perbuatan disesuaikan dengan maksud yang terkandung dari perbuatan tersebut. Dengan kata lain semua perbuatan ataupun tingkah laku Mukallaf baik perkataan ataupun perbuatan dibedakan sesuai dengan maksud yang terkandung di dalamnya. Apabila seseorang bermaksud melakukan atau meninggalkan sesuatu karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan pahala. Tetapi sebaliknya, jika karena tujuan maksiat kepada Allah, maka akan mendapatkan siksaan.
Kata “umu>r” adalah bentuk jamak dari kata “amr” yang bermakna al-fi‘l atau perbuatan yaitu aktifitas anggota tubuh yang mencakup perkataan dan perbuatan, sebab Perkataan juga bagian dari gerakan lidah, sebagaimana halnya wajib, mandu>b, haram, makruh, dan mubah.
Berdasarkan hal di atas, Kaidah ini dapat dipahami bahwa hukum perbuatan sejalan dengan maksud yang terkandung, dan akan dibedakan sesuai dengan tujuan di balik itu.

Maqasid al-Syari‘ah Dan Metode Memahaminya Menurut al-Imam al-Syatibi

Maqa>sid al-Syari>‘ah Dan Metode Memahaminya Menurut al-Ima>m al-Sya>t}ibi>

 by. Andi Yaqub
BAGIAN KETIGA DARI KITAB AL-MUWA<FAQA<T (المُوَا فَقَا تُ)
كتَابُ المَقَاصِد (BAB AL-MAQĀS{ID)
Maqa>s}id yang dibahas terbagi atas dua, yaitu: maksud sya>ri‘ (qas}du al-sya>ri‘) dan  maksud mukallaf (qas}du al-mukallaf).
Yang pertama merupakan maksud sya>ri‘ dalam menetapkan syariat dan selanjutnya maksud sya>ri‘ dalam menetapkan syariat agar dapat dipahami. Setelah itu membebankan (kepada mukallaf) sesuai tuntutan dan kehendak syariat itu sendiri. Dan yang terakhir adalah tujuan sya>ri‘ ketika mewajibkan para mukallaf berada dalam hukum syariat. Jadi ada empat bagian dalam hal ini.
Dan kami akan mengemukakan sebelum masuk pada pembahasan yang diinginkan, sebagai muqaddimah kala>miyah. Penjelasan secara umum dalam masalah ini, yaitu bahwasanya penetapan berbagai hukum dan syariat tidak lain bertujuan untuk kemaslahatan manusia secara langsung maupun tidak langsung. Dan ini merupakan pernyataan yang mau tidak mau harus dilengkapi dengan dalil sah tidaknya atau benar salahnya pernyataan tersebut. Dan bukan tempatnya di sini untuk mempermasalahkannya. Dan telah terdapat perbedaan pendapat dalam ilmu kalam, ketika al-Razi menganggap bahwa hukum-hukum Allah swt. sama sekali tidak memiliki ‘illat (sebab, hikmah, tujuan yang bisa dijelaskan) sebagaimana halnya perbuatan-perbuatan-Nya. Di sisi lain, kaum Mu’tazilah sepakat bahwa hukum-hukum Allah swt. dapat dijelaskan yaitu selalu memperhatikan kemaslahatan hamba, dan ini yang dipegang oleh kebanyakan fuqaha kontemporer. Dan ketika ilmu us}ūl fiqh dipaksa menetapkan ‘illat bagi hukum-hukum syariat yang ada, maka ditetapkan bahwa ‘illat di sini berarti tanda-tanda (definisi, pemahaman, dst) yang memperkenalkan atau yang dapat mendefinisikan hukum-hukum tersebut secara khusus. (Kita tidak akan membahas lebih dalam masalah ini).