Makna kaidah :
Kaidah ini mengandung pengertian bahwa ketika mukallaf mendapati kesulitan dalam menerapkan syariat,
maka syariat meringankannya dan mempermudah sehingga mukallaf mampu
melaksanakannya tanpa kesulitan.
“Al-masyaqqah”
kesulitan menurut etimologi adalah: kelelahan, kepayahan, kesulitan dan
kesukaran. Sebagaimana terdapat dalam surah QS an-nahl ayat 7:
ã@ÏJøtrBur öNà6s9$s)øOr& 4n<Î) 7$s#t/ óO©9 (#qçRqä3s? ÏmÉóÎ=»t/ wÎ) Èd,ϱÎ0 ħàÿRF{$# 4 cÎ) öNä3/u Ô$râäts9 ÒOÏm§ ÇÐÈ
Terjemahnya:
“Dan ia memikul
beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya,
melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Maksud ayat ini
adalah bahwa kalian tidak akan sanggup menuju tempat (negeri)
itu , kecuali dengan rasa lelah dan sukar. Maka jelaslah yang dimaksud dengan “al-masyaqqah”
pada ayat di atas adalah kelelahan, kesukaran (kesulitan). Dengan demikian
kesulitan itu bisa menjadikan sebab datangnya kemudahan.
Adapun
makna “al-masyaqqah” yang dimaksud dalam kaidah ini : bahwa hukum-hukum
yang dalam penerapannya menimbulkan
kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subjek hukum), maka syariat meringankannya
sesuai dengan ukuran kemampuannya sehingga mukallaf dapat melaksanakannya tanpa
harus meninggalkannya.
Al-tai>si>r menurut bahasa adalah kemudahan dan kelunakan.
Sebagaimana hadis nabi yang artinya
“sesungguhnya agama itu mudah, dan seseorang itu tidak akan mempersulit dirinya
melainkan akan terkalahkan. Maka berlaku luruslah, dekatilah (alquran &
sunnah), dan beritakanlah kabar gembira.
Adapun yang
dimaksud dengan kesulitan itu merupakan
sebab adanya kemudahan. Yaitu kesulitan yang dihadapi mukallaf dalam
melaksanakan hukum syariat. Adapun kesulitan yang mukallaf tidak bisa terlepas
dari pembebanannya adalah jihad, hukum rajam bagi pezina, memerangi
pemberontak/perusak maka hal-hal seperti itu tidak bisa diringankan. Begitu
juga kesulitan dalam melaksanakan wudhu dan mandi ketika cuaca dingin dan kesulitan
melaksanakan shalat dalam cuaca panas dan dingin begitu juga shalat subuh, berpuasa
di siang yang panas dan pada waktu siang yang panjang, begitu juga kesulitan haji.
Kesemua kesulitan ini tidak berpengaruh pada jatuhnya kewajiban ibadah tersebut
dan tidak ada keringanan atasnya karena akan menghalangi kemaslahatan ibadah
dan kedisiplinan dalam beribadah.-
Sesungguhnya
kemudahan itu adalah dihilangkannya kesulitan bagi seorang mukallaf dalam melaksanakan hukum syariat. Dan tidak
semua kesukaran itu mendatangkan sebab adanya kemudahan (keringanan). Karena
setiap apa yang dilakukan oleh mukallaf itu dalam kehidupannya sering memiliki
kesulitan-kesulitan baik dalam mencari rezki, makanan
dll. Allah SWT memberikan kemudahan kepada hambanya dalam artian perbuatan itu sukar
lagi untuk dikerjakan. Seperti shalat lima waktu bagi orang yang dalam
perjalanan.
Namun terdapat
pula Masyaqqah ‘azi>mah (kesulitan yang sangat berat) dimana sangat sempit untuk dilakukan, dan membuat kesulitan bagi diri dan harta. Keringanan ini
wajib dilakukan untuk menjaga jiwa, dan
masyarakat. Kemaslahatan agama dan dunia
lebih utama daripada ancaman dalam keterlambatan mereka dalam beribadah.
Maka hukum yang
dilakukan oleh mukallaf yang dapat memberikan kesulitan pada diri dan hartanya
atau darurat , yang disebabkan oleh sakit dan miskin diringankan oleh syariat
dan menggantinya dengan sesuatu menurut kadar kesanggupan mukallaf, sehingga
mereka dapat melaksanakannya sesuai tuntutan agama.
Dalil-dalil
yang dapat memberikan keringanan dalam syariat.
Dalil tentang
adanya kemudahan ini berdasarkan al-quran, sunnah nabi dan ijma’ sahabat.
Disyariatkannya keringanan dalam Islam karena Allah SWT menurunkan
hukum-hukumnya itu dengan segala bentuk kemudahan. Dan inilah juga yang menjadikan
dasar/pondasi syariat Islam “ apabila sesuatu itu sempit, maka
perluaslah/longgarkan, demikian juga apabila sesuatu itu luas/longgar maka
sempitkanlah. Kaidah tersebut dikuatkan oleh Syafi’i.
Imam asy-syatibi
mengatakan: Bahwa
dalil tentang diangkatnya kesukaran pada umat ini mempunyai batas tertentu. Semua
yang melampaui batas, maka (hukumnya) akan berbalik kepada kebalikannya sebagaimana
yang dikatakan imam al-gazali dalam kitab ihyanya.
Kaidah
kesulitan mendatangkan kemudahan merupakan Kaidah usu>li>yyah dan Kaidah fiqhi>yyah yang mempunyai dasar yang jelas dari al-Qur’an, sunnah, dan ijma.
Adapun dalil
tentang kaidah ini berdasarkan al quran. Allah SWT berfirman:
Ìã….. ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# ÇÊÑÎÈ…..
Terjemahnya:
…Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu… (al-baqarah
185).
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4 ………. ÇËÑÏÈ
Terjemahnya:
Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… (al-baqarah 286).
$oY/u …….. w !$tRõÏ{#xsè? bÎ) !$uZÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4 $oY/u wur ö@ÏJóss? !$uZøn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym n?tã úïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4 $uZ/u wur $oYù=ÏdJysè? $tB w sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ ( ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö$#ur 4 |MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù n?tã ÏQöqs)ø9$# úïÍÏÿ»x6ø9$# ÇËÑÏÈ
Terjemahnya:
…..
Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya.
beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong
Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir. (al-baqarah: 286)
Ayat – ayat di
atas memberikan pengertian bahwa Allah mensyariatkan kepada hambanya sesuatu
yang mudah dan ringan sehingga mukallaf dapat melaksanakan dengan leluasa.
Ketika dalam keadaan sempit (tidak luang) menjadi suatu kelonggaran untuk
dilakukan. Adapun dalil
berdasarkan sunnah nabi : Rasulullah
bersabda: “ saya di utus dimuka bumi ini untuk memberikan keringanan dan kemudahan,…barang
siapa yang tidak mengikuti sunnahku maka bukan dari golonganku”. Rasulullah
bersabda: “sesungguhnya agama itu mudah, dan seseorang itu tidak akan
mempersulit dirinya melainkan akan terkalahkan. Rasulullah
bersabda: “sesungguhnya bagi kalian itu diberi kemudahan-kemudahan dan bukan
kesulitan”. Rasulullah
bersabda: “sesungguhnya Allah memberikan syariat pada agama itu suatu
kemudahan/keluasan dan tidak menjadikannya sempit”. Rasulullah
bersabda: “sesunguhnya Allah swt.
mengangkat pada diri hambaku kesalahan, kelupaan dan karena paksaan”.
Ibn hajar al
asqalany mengatakan, bahwa kemudahan dalam agama itu ada berdasarkan atas
agama-agama sebelum Islam. Karena Allah swt. menetapkan terhadap umat ini beban
seperti beban umat terdahulu.
Ijma dan para
ulama sepakat bahwa tidak bolehnya keringanan dalam urusan yang tidak dikenal
di dalam agama, meskipun hal tersebut terjadi untuk mendapatkan pertentangan
atau perbedaan di dalam syariat dan hal tersebut dihindari oleh syariat.
Disyariatkannya
ruhsah (keringanan) yang mana hal tersebut telah ditetapkan oleh agama seperti
mengqasar salat lima waktu dalam perjalan, berbuka bagi yang
punya halangan berpuasa, dan semua hal –hal yang haram diberikan keringanan
disaat darurat yang
demikian itu merupakan keringanan/kemudahan yang diberikan oleh mukallaf dalam
melaksankan syariat.
Pengertian
Rukhsah
:
Rukhsah menurut
bahasa: berarti
kemudahan, keringanan atau memindahkan sesuatu yang sukar ke suatu yang lebih
mudah/gampang. Ruhsah ini ditujukan kepada mukallaf (orang yang diberi beban) ketika ragu dalam
melaksanakan perintah dan disana ada beban/kesukaran itu, maka Allah swt memberikan
rukhsah bagi mukallaf untuk meninggalkan
perbuatan yang dianjurkan. Seperti orang sakit yang dalam bulan ramadhan, diringankan
oleh Allah swt. untuk berbuka puasa dan menggantinya dihari lain.
Adapun rukhsah
menurut istilah adalah: sesuatu yang berubah dari perkara asal karena adanya
halangan berdasarkan dalil syar’i yang kuat.
Rukhsah berbeda
dengan azi>mah, azi>mah menurut bahasa berarti suatu ketetapan (keinginan
yang kuat), menurut istilah: hukum yang ditetapkan berdasarkan hukum
syar’i, dalam keadaan tertentu. Atau sesuatu yang pada mulanya ditetapkan
(Hukum asal), tanpa adanya sebab pelarangan (pencegahan).
Perbedaan
antara keduanya: rukhsah adalah apa yang
sesuai dengan dalil syar’i yang terbebas dari pertentangan dengan yang lebih
kuat dan tidak dibolehkan berbuat maksiat . Sedangkan azimah ialah apa yang
sesuai dengan dalil syar’i yang terbebas dari pertentangan dengan yang lebih
kuat yang dibolehkan melakukannya walaupun dalam keadaan maksiat.
Syariat
memberikan rahmat pada mukallaf dalam
melaksanakan hukum syariat dan menggantinya
sesuai ukuran kesanggupannya sebagai keringanan baginya.
Inilah dasar
ajaran agama dimana syariat menjadikan orang yang sakit, orang yang dalam
perjalanan, orang yang lupa dan tidak
tahu apa-apa, sebagai bentuk keringanan untuk melaksanakan sesuatu yang telah
diwajibkan oleh Allah swt. Begitu pula shalat dan puasa diberikan keringanan
oleh orang yang mendapati halangan untuk itu, demikian juga syariat tidak
mewajibkan shalat jumat bagi mereka yang sakit dan dalam perjalanan jauh.
Disyariatkannya shalat qasar bagi para musafir. Disunnatkannya shalat duduk dan
baring bagi orang yang tidak sanggup berdiri dan duduk .
Bentuk-bentuk
keringan dalan syariat itu banyak, mencakup masalah ibadah, muamalat bahkan
dalam, masalah
perkara-perkara. Dan semua yang berkaitan dengannya.
Sebagaimana yang dikatakan imam suyuti bahwa semua
yang tertera di atas memiliki keringanan-keringanan
untuk menjalananinya.
Pensyariatan
ruhsah bagi mukallaf yang mempunyai halangan-halangan baik yang timbul dari
semula atau selainnya (halangan yang datang belakangan)
Pertama
v Awa>rid Samawiyah
yang menjadikan
sebab diringankannya.
Yaitu :
anak-anak, orang tidak waras, pikun, lupa, tidur, al-igma> {(orang yang tidur
panjang), orang sakit, orang mati, haid, nifas.
1. Anak
anak menjadikan sebab adanya tahfif (keringanan), jatuh baginya apa yang telah
ditetapkan karena akal adalah syarat diwajibkannya suatu kewajiban, sementara
anak-anak belum berakal sehat.
2. Demikian
juga penyakit pikun.
3. Sama halnya sifat lupa Allah swt. memberi
kemaafan atas itu. Yang menjadikan orang lupa tidak berdosa, karena
kelupaannya.
4. Demikian juga ketika dalam keadaan tidur, yang
dimana mereka tidak mampu melakukan apapun namun tidak menghalangi
kewajibannya. Kecuali tidur yang panjang maka tidak diwajibkan mengganti jika
tidurnya berlanjut sehari semalam.
5. Orang
yang dalam keadaan sakit dianjurkan beribadah sesuai kemampuaanya.
6. Wanita
yang haid dan nifas keduanya tidak dibebani kewajiban salat karena mempunyai
halangan yaitu haid dan nifas.
7. Orang
yang mati terputuslah semua beban hukumnya didunia.
Kedua
v Awarid Muktasabah.
Awarid
muktasabah (halangan yang diperoleh). Seperti orang yang bodoh atau tidak tahu
dalam keadaan perang sehingga tidak berpindah, maka tidak diwajibkan untuk
mereka yang tidak tahu dalam hal itu. Dan akan menjadi wajib kembali ketika
mereka sudah tahu dan mengerti.
PEMBAGIAN
KAIDAH :
KESULITAN
MENDATANGKAN KEMUDAHAN
1. Tidak
wajibnya mengqada’ shalat bagi orang haid, berbeda dengan puasa.
2. Disyariatkannya
jual-beli, untuk jula-beli yang menyebutkan sifat barangnya. Dan larangan
jual-beli yang tidak diketahui.
3. Disyariatkannya
talaq bagi mereka yang sudah tidak bisa bersama lagi, demikian juga
disyariatkannya khulu’ dan rujuk sesuai pada masa iddahnya.
4. Disyariatkannya
memilih antar kaffarah dan diyat, sebagai bentuk kemudahan bagi pelaku kriminal
dan yang dikriminali. Sebagaimana disyariatkan atas nabi musa qisas dan bukan
diyat. Dan disyariatkan kepada nabi isa diyat dan qisas.
5. Tidak
berdosanya seorang mujtahid ketika berijtihad karena kesalahannya sebagai
bentuk kemudahan bagi mujtahid dalam perkiraannya.
6. Tidak
adanya kewajiban bagi anak-anak dan orang gila, begitu juga tidak diwajibkannya
perempuan terhadapat\ semua hal yang diwajibkan atas laki-laki. Seperti shalat berjamaah,
shalat jumat, jihad dan jizya, dan dibolehkannya memakai sutra dan emas bagi
mereka (perempuan).
Kaidah pokok
ini kemudian berkembang dan melahirkan kaidah-kaidah furu’ yang terbagi dalam
beberapa bagian:
1.
Ketika suatu
perkara telah menyempit, maka longgarkanlah, dan ketika perkara itu
longgar/luas, maka sempitkanlah.
Kaidah ini
dimaksudkan, apabila ada sesuatu halangan dalam suatu perkara, maka
longgarkanlah dan permudahlah. Dan apabila halanganya itu telah hilang maka
kembalikan perkara itu sesuai dengan hukum asalnya. Maksudnya adanya darurat
pada seseorang ataupun kelompok, maka dianjurkan untuk meringankan/melonggarkan
perkara itu, sampai halangan itu hilang dan hukum itu kembali seperti
semulanya. Demikian sebaliknya apabila sesuatu perkara itu longgar/mudah. Maka
persempitlah. Inilah yang dimaksud dengan kaidah apabila perkara itu luas maka
persempitlah.
Dalil Kaidah
Allah swt
memberikan keringan bagi mukallaf yang dalam keadaan takut, maka dibolehkan
bagi mereka untuk mengqasar shalat dan
menggantinya diwaktu lain, Firman Allah
#sÎ)ur ÷Läêö/uÑ Îû ÇÚöF{$# }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4………. ¨ÇÊÉÊÈ
Terjemahnya:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa
kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Qs Annisa:
ayat 113.
Sebagaimana juga
dalil berdasarkan sunnah nabi, rasulullah saw. telah melarang membagi hewan
kurban itu diatas 1/3 bagian. Tatkala sesuatu perkara itu sempit ketika
mendahulukan kaum fakir yang berada dikota, dan ketika perkara itu melonggar
maka kembalilah hukum perkara hewan kurban itu seperti semula, maka dibolehkan bagi mereka memanfaatkan
hewan kurbannya sebagaimana sebelumnya.
Bagian – bagian Kaidah:
1.
Bolehnya
melawan pencuri dan orang yang salim agar tidak menyebarkan kejahatannya
walaupun dengan membunuhnya.
2.
Bolehnya
menghindari kesulitan kepada yang meringankan
3.
Bolehnya
meminta kesaksian muzakki> dan Muhaddis\ dalam hal periwayatan.
4.
Diterimanya
kesaksian atas kelahiran anak untuk menjaga keturunan.
5.
Bolehnya
diterima kesaksian seorang wanita dan anak-anak dalam memilih pemimpin dan pada
tempat-tempat yang tidak didatangi seorang laki-laki untuk memenuhi hak-haknya.
2.
Kemudaratan – kemudaratan
membolehkan hal –hal yang dilarang
Kemudaratan menurut bahasa terambil dari kata id}tira>r yang
artinya ||kesukaran yaitu kebutuhan yang mendesak. Adapun mahz}u>ra>t
jamak mahz}u>r yaitu perbuatan yang dilarang
untuk dilakukan.
Oleh karena itu apapun yang membawa kepada kemudaratan yang
membolehkan hal-hal yang dilarang, mesti dilakukan sesuai kadar terangkatnya
kemudaratan. Jika seseorang menghilangkan kesukarannya dengan sesuatu yang
dilarang maka tidak boleh meluaskan keharamannya bahkan menguranginya sesuai
kadar/ukuran terangkatnya kemudaratan tersebut, sebagaimana kaidah yang
berbunyi kemudaratan diukur sesuai kadar kemudaratannya.
Dalil Kaidah
ôs%ur……
@¢Ásù
Nä3s9
$¨B
tP§ym
öNä3øn=tæ
wÎ)
$tB
óOè?öÌäÜôÊ$#
Ïmøs9Î)
……3 ÇÊÊÒÈ
Terjemahnya:
…Padahal
Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya ……. (al-ana>m :
119)
Ayat di atas merupakan landasan kaidah usu>li>yyah dan
kaidah fiqhi>yyah yang berkaitan dengan keringanan
dalam syariat. Rukhsah/Keringanan ada tiga macam:
1.
Bolehnya hal-hal yang dilarang
Allah swt. disaat darurat. Seperti makan bangkai disaat darurat sesuai kadarnya
untuk mencegah kebinasaan disaat kelaparan, makan daging babi dan lain-lain.
Hal-hal yang haram tersebut dibolehkan
disaat darurat sebagaimana firman Allah swt. “kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya” maksudya kelaparan yang menyebabkan kalian memakannya, dan
pengecualian dari keharaman tersebut dibolehkan.
2. Rukhsah
yang tidak jatuh keharamannya dalam keadaan apapun. Maksudnya perbuatan
tersebut tetap haram akan tetapi keringanannya datang belakangan karena dalam
keadaan darurat. Contohnya mengatakan kata-kata kafir padahal hatinya beriman
karena berada dalam paksaan.
3. Perbuatan
yang tidak dibolehkan dalam keadaan apapun dan tidak ada keringanan atasnya.
Contonya membunuh orang muslim. Perbuatan ini tidak dibolehkan dan tidak
terangkat dosanya walaupun dalam keadaan terpaksa.
Oleh karena itu
kemudaratan pada jenis yang pertama, hukum perbuatanya hilang akan tetapi d}ama>nnya
tetap meskipun kemudaratan dengan memakan harta orang lain. Pada jenis yang
kedua, kemudaratan menghilangkan dosa namun sifat perbuatan dan d}ama>nnya
tetap. Jenis yang ketiga, tidak hilang perbuatan dosa, sifat dan d}ama>nnya.
Kaidah ad}}d}aru>ra>h
tubi>hul mahz\u>ra>t (kemudaratan membolehkan hal-hal yang
dilarang) tidak mencakup jenis yang ketiga karena tidak dibolehkannya rukhsah
dalam keadaan apapun sehingga jenis yang ketiga ini merupakan pengecualian dari
kaedah ini.
Bagian – Bagian
Kaidah :
1. Pemilik
utang mengambil harta dari orang yang diberi pinjaman utang tanpa
sepengetahuannya karena tidak mau melunasi pinjamannya.
2. Mengucapkan
kalimat kufur karena terpaksa sementara hatinya beriman.
3. Jika
sesuatu yang haram menjadi mayoritas dimana tidak terdapat harta yang halal maka dibolehkan sesuai kadarnya.
4. Jika
kalian terpaksa membunuh atau berzina maka hal tersebut tidak boleh dikerjakan
karena akan menambah kerusakan yang lainnya.
5. Darah
orang yang mati syahid bersih oleh karena itu tidak dimandikan.
6. Bolehnya
shalat jumat dilakukan berulang karena sulitnya bertemu dalam satu tempat. Akan
tetapi kebolehan tersebut diukur sesuai kadar yang bisa menghilangkan kesulitan
tersebut. Jika kesulitan tersebut bisa terselesaikan dengan dua kali jumat maka
jangan menggenapkan menjadi tiga jumat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar