Kembali Ke Dasar 10.000 Jam

Countdown

Minggu, 18 Februari 2018

Kaidah ketiga : Kesulitan mendatangkan kemudahan.

Makna kaidah : Kaidah ini mengandung pengertian bahwa ketika mukallaf  mendapati kesulitan dalam menerapkan syariat, maka syariat meringankannya dan mempermudah sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan.
Al-masyaqqah” kesulitan menurut etimologi adalah: kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran. Sebagaimana terdapat dalam surah QS an-nahl ayat 7:

ã@ÏJøtrBur öNà6s9$s)øOr& 4n<Î) 7$s#t/ óO©9 (#qçRqä3s? ÏmŠÉóÎ=»t/ žwÎ) Èd,ϱÎ0 ħàÿRF{$# 4 žcÎ) öNä3­/u Ô$râäts9 ÒOÏm§ ÇÐÈ  
Terjemahnya:
“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Maksud ayat ini adalah bahwa kalian tidak akan sanggup menuju tempat (negeri) itu , kecuali dengan rasa lelah dan sukar. Maka jelaslah yang dimaksud dengan “al-masyaqqah” pada ayat di atas adalah kelelahan, kesukaran (kesulitan). Dengan demikian kesulitan itu bisa menjadikan sebab datangnya kemudahan.
Adapun makna “al-masyaqqah” yang dimaksud dalam kaidah ini : bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subjek hukum), maka syariat meringankannya sesuai dengan ukuran kemampuannya sehingga mukallaf dapat melaksanakannya tanpa harus meninggalkannya.
Al-tai>si>r  menurut bahasa adalah kemudahan dan kelunakan. Sebagaimana hadis nabi yang artinya “sesungguhnya agama itu mudah, dan seseorang itu tidak akan mempersulit dirinya melainkan akan terkalahkan. Maka berlaku luruslah, dekatilah (alquran & sunnah), dan beritakanlah kabar gembira.
Adapun yang dimaksud  dengan kesulitan itu merupakan sebab adanya kemudahan. Yaitu kesulitan yang dihadapi mukallaf dalam melaksanakan hukum syariat. Adapun kesulitan yang mukallaf tidak bisa terlepas dari pembebanannya adalah jihad, hukum rajam bagi pezina, memerangi pemberontak/perusak maka hal-hal seperti itu tidak bisa diringankan. Begitu juga kesulitan dalam melaksanakan wudhu dan mandi ketika cuaca dingin dan kesulitan melaksanakan shalat dalam cuaca panas dan dingin begitu juga shalat subuh, berpuasa di siang yang panas dan pada waktu siang yang panjang, begitu juga kesulitan haji. Kesemua kesulitan ini tidak berpengaruh pada jatuhnya kewajiban ibadah tersebut dan tidak ada keringanan atasnya karena akan menghalangi kemaslahatan ibadah dan kedisiplinan dalam beribadah.-
Sesungguhnya kemudahan itu adalah dihilangkannya kesulitan bagi seorang mukallaf  dalam melaksanakan hukum syariat. Dan tidak semua kesukaran itu mendatangkan sebab adanya kemudahan (keringanan). Karena setiap apa yang dilakukan oleh mukallaf itu dalam kehidupannya sering memiliki kesulitan-kesulitan baik dalam mencari rezki, makanan dll. Allah SWT memberikan kemudahan kepada hambanya dalam artian perbuatan itu sukar lagi untuk dikerjakan. Seperti shalat lima waktu bagi orang yang dalam perjalanan.
Namun terdapat pula Masyaqqah ‘azi>mah (kesulitan yang sangat berat)  dimana sangat sempit untuk dilakukan, dan membuat kesulitan bagi diri dan harta. Keringanan ini wajib dilakukan untuk menjaga  jiwa, dan masyarakat.  Kemaslahatan agama dan dunia lebih utama daripada ancaman dalam keterlambatan mereka dalam beribadah.
Maka hukum yang dilakukan oleh mukallaf yang dapat memberikan kesulitan pada diri dan hartanya atau darurat , yang disebabkan oleh sakit dan miskin diringankan oleh syariat dan menggantinya dengan sesuatu menurut kadar kesanggupan mukallaf, sehingga mereka dapat melaksanakannya sesuai tuntutan agama.
Dalil-dalil yang dapat memberikan keringanan dalam syariat.
Dalil tentang adanya kemudahan ini berdasarkan al-quran, sunnah nabi dan ijma’ sahabat. Disyariatkannya keringanan dalam Islam karena Allah SWT menurunkan hukum-hukumnya itu dengan segala bentuk kemudahan. Dan inilah juga yang menjadikan dasar/pondasi syariat Islam “ apabila sesuatu itu sempit, maka perluaslah/longgarkan, demikian juga apabila sesuatu itu luas/longgar maka sempitkanlah. Kaidah tersebut dikuatkan oleh Syafi’i.
Imam asy-syatibi mengatakan: Bahwa dalil tentang diangkatnya kesukaran pada umat ini mempunyai batas tertentu. Semua yang melampaui batas, maka (hukumnya) akan berbalik kepada kebalikannya sebagaimana yang dikatakan imam al-gazali dalam kitab  ihyanya.
Kaidah kesulitan mendatangkan kemudahan merupakan Kaidah usu>li>yyah dan  Kaidah fiqhi>yyah  yang mempunyai dasar yang jelas  dari al-Qur’an, sunnah, dan ijma.
Adapun dalil tentang kaidah ini berdasarkan al quran. Allah SWT berfirman:

ƒÌãƒ….. ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# ÇÊÑÎÈ…..  
Terjemahnya:
…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu… (al-baqarah 185).
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 ………. ÇËÑÏÈ  
Terjemahnya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… (al-baqarah 286).

$oY­/u …….. Ÿw !$tRõÏ{#xsè? bÎ) !$uZŠÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4 $oY­/u Ÿwur ö@ÏJóss? !$uZøŠn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4 $uZ­/u Ÿwur $oYù=ÏdJysè? $tB Ÿw sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ ( ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö$#ur 4 |MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù n?tã ÏQöqs)ø9$# šúï͍Ïÿ»x6ø9$# ÇËÑÏÈ  
Terjemahnya:
….. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir. (al-baqarah: 286)
Ayat – ayat di atas memberikan pengertian bahwa Allah mensyariatkan kepada hambanya sesuatu yang mudah dan ringan sehingga mukallaf dapat melaksanakan dengan leluasa. Ketika dalam keadaan sempit (tidak luang) menjadi suatu kelonggaran untuk dilakukan. Adapun dalil berdasarkan sunnah nabi : Rasulullah bersabda: “ saya di utus dimuka bumi ini untuk memberikan keringanan dan kemudahan,…barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku maka bukan dari golonganku”. Rasulullah bersabda: “sesungguhnya agama itu mudah, dan seseorang itu tidak akan mempersulit dirinya melainkan akan terkalahkan. Rasulullah bersabda: “sesungguhnya bagi kalian itu diberi kemudahan-kemudahan dan bukan kesulitan”. Rasulullah bersabda: “sesungguhnya Allah memberikan syariat pada agama itu suatu kemudahan/keluasan dan tidak menjadikannya sempit”. Rasulullah bersabda:  “sesunguhnya Allah swt. mengangkat pada diri hambaku kesalahan, kelupaan dan karena paksaan”.
Ibn hajar al asqalany mengatakan, bahwa kemudahan dalam agama itu ada berdasarkan atas agama-agama sebelum Islam. Karena Allah swt. menetapkan terhadap umat ini beban seperti beban umat terdahulu.
Ijma dan para ulama sepakat bahwa tidak bolehnya keringanan dalam urusan yang tidak dikenal di dalam agama, meskipun hal tersebut terjadi untuk mendapatkan pertentangan atau perbedaan di dalam syariat dan hal tersebut dihindari oleh syariat.
Disyariatkannya ruhsah (keringanan) yang mana hal tersebut telah ditetapkan oleh agama seperti mengqasar salat lima waktu dalam perjalan, berbuka bagi yang punya halangan berpuasa, dan semua hal –hal yang haram diberikan keringanan disaat darurat yang demikian itu merupakan keringanan/kemudahan yang diberikan oleh mukallaf dalam melaksankan syariat.
Pengertian Rukhsah :
Rukhsah menurut bahasa:  berarti kemudahan, keringanan atau memindahkan sesuatu yang sukar ke suatu yang lebih mudah/gampang. Ruhsah ini ditujukan kepada mukallaf  (orang yang diberi beban) ketika ragu dalam melaksanakan perintah dan disana ada beban/kesukaran itu, maka Allah swt memberikan rukhsah bagi mukallaf untuk  meninggalkan perbuatan yang dianjurkan. Seperti orang sakit yang dalam bulan ramadhan, diringankan oleh Allah swt. untuk berbuka puasa dan menggantinya dihari lain.
Adapun rukhsah menurut istilah adalah: sesuatu yang berubah dari perkara asal karena adanya halangan berdasarkan dalil syar’i yang kuat.
Rukhsah berbeda dengan azi>mah, azi>mah menurut bahasa berarti suatu ketetapan (keinginan yang kuat),  menurut istilah:  hukum yang ditetapkan berdasarkan hukum syar’i, dalam keadaan tertentu. Atau sesuatu yang pada mulanya ditetapkan (Hukum asal), tanpa adanya sebab pelarangan (pencegahan).
Perbedaan antara keduanya:  rukhsah adalah apa yang sesuai dengan dalil syar’i yang terbebas dari pertentangan dengan yang lebih kuat dan tidak dibolehkan berbuat maksiat . Sedangkan azimah ialah apa yang sesuai dengan dalil syar’i yang terbebas dari pertentangan dengan yang lebih kuat yang dibolehkan melakukannya walaupun dalam keadaan maksiat.
Syariat memberikan rahmat pada mukallaf  dalam melaksanakan hukum syariat dan menggantinya  sesuai ukuran kesanggupannya sebagai keringanan baginya.
Inilah dasar ajaran agama dimana syariat menjadikan orang yang sakit, orang yang dalam perjalanan,  orang yang lupa dan tidak tahu apa-apa,  sebagai bentuk keringanan  untuk melaksanakan sesuatu yang telah diwajibkan oleh Allah swt. Begitu pula shalat dan puasa diberikan keringanan oleh orang yang mendapati halangan untuk itu, demikian juga syariat tidak mewajibkan shalat jumat bagi mereka yang sakit dan dalam perjalanan jauh. Disyariatkannya shalat qasar bagi para musafir. Disunnatkannya shalat duduk dan baring bagi orang yang tidak sanggup berdiri dan duduk .
Bentuk-bentuk keringan dalan syariat itu banyak, mencakup masalah ibadah, muamalat bahkan dalam, masalah perkara-perkara. Dan semua yang berkaitan dengannya. Sebagaimana yang dikatakan imam suyuti bahwa semua yang tertera di atas memiliki keringanan-keringanan untuk menjalananinya.
Pensyariatan ruhsah bagi mukallaf yang mempunyai halangan-halangan baik yang timbul dari semula atau selainnya (halangan yang datang belakangan)
Pertama
v  Awa>rid Samawiyah
yang menjadikan sebab diringankannya.
Yaitu : anak-anak, orang tidak waras, pikun, lupa,  tidur, al-igma> {(orang yang tidur panjang), orang sakit, orang mati, haid, nifas.
1.      Anak anak menjadikan sebab adanya tahfif (keringanan), jatuh baginya apa yang telah ditetapkan karena akal adalah syarat diwajibkannya suatu kewajiban, sementara anak-anak belum berakal sehat.
2.      Demikian juga penyakit pikun.
3.       Sama halnya sifat lupa Allah swt. memberi kemaafan atas itu. Yang menjadikan orang lupa tidak berdosa, karena kelupaannya.
4.       Demikian juga ketika dalam keadaan tidur, yang dimana mereka tidak mampu melakukan apapun namun tidak menghalangi kewajibannya. Kecuali tidur yang panjang maka tidak diwajibkan mengganti jika tidurnya berlanjut sehari semalam.
5.      Orang yang dalam keadaan sakit dianjurkan beribadah sesuai kemampuaanya.
6.      Wanita yang haid dan nifas keduanya tidak dibebani kewajiban salat karena mempunyai halangan yaitu haid dan nifas.
7.      Orang yang mati terputuslah semua beban hukumnya didunia.
Kedua
v  Awarid Muktasabah.
Awarid muktasabah (halangan yang diperoleh). Seperti orang yang bodoh atau tidak tahu dalam keadaan perang sehingga tidak berpindah, maka tidak diwajibkan untuk mereka yang tidak tahu dalam hal itu. Dan akan menjadi wajib kembali ketika mereka sudah tahu dan mengerti.
PEMBAGIAN KAIDAH :
KESULITAN MENDATANGKAN KEMUDAHAN
1.      Tidak wajibnya mengqada’ shalat bagi orang haid, berbeda dengan puasa.
2.      Disyariatkannya jual-beli, untuk jula-beli yang menyebutkan sifat barangnya. Dan larangan jual-beli yang tidak diketahui.
3.      Disyariatkannya talaq bagi mereka yang sudah tidak bisa bersama lagi, demikian juga disyariatkannya khulu’ dan rujuk sesuai pada masa iddahnya.
4.      Disyariatkannya memilih antar kaffarah dan diyat, sebagai bentuk kemudahan bagi pelaku kriminal dan yang dikriminali. Sebagaimana disyariatkan atas nabi musa qisas dan bukan diyat. Dan disyariatkan kepada nabi isa diyat dan qisas.
5.      Tidak berdosanya seorang mujtahid ketika berijtihad karena kesalahannya sebagai bentuk kemudahan bagi mujtahid dalam perkiraannya.
6.      Tidak adanya kewajiban bagi anak-anak dan orang gila, begitu juga tidak diwajibkannya perempuan terhadapat\ semua hal yang diwajibkan atas laki-laki. Seperti shalat berjamaah, shalat jumat, jihad dan jizya, dan dibolehkannya memakai sutra dan emas bagi mereka (perempuan).
Kaidah pokok ini kemudian berkembang dan melahirkan kaidah-kaidah furu’ yang terbagi dalam beberapa bagian:
1.    Ketika suatu perkara telah menyempit, maka longgarkanlah, dan ketika perkara itu longgar/luas, maka sempitkanlah.
Kaidah ini dimaksudkan, apabila ada sesuatu halangan dalam suatu perkara, maka longgarkanlah dan permudahlah. Dan apabila halanganya itu telah hilang maka kembalikan perkara itu sesuai dengan hukum asalnya. Maksudnya adanya darurat pada seseorang ataupun kelompok, maka dianjurkan untuk meringankan/melonggarkan perkara itu, sampai halangan itu hilang dan hukum itu kembali seperti semulanya. Demikian sebaliknya apabila sesuatu perkara itu longgar/mudah. Maka persempitlah. Inilah yang dimaksud dengan kaidah apabila perkara itu luas maka persempitlah.

Dalil Kaidah
Allah swt memberikan keringan bagi mukallaf yang dalam keadaan takut, maka dibolehkan bagi mereka untuk  mengqasar shalat dan menggantinya diwaktu lain, Firman Allah

#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿtƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4………. ¨ÇÊÉÊÈ  
Terjemahnya:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Qs Annisa: ayat 113.
Sebagaimana juga dalil berdasarkan sunnah nabi, rasulullah saw. telah melarang membagi hewan kurban itu diatas 1/3 bagian. Tatkala sesuatu perkara itu sempit ketika mendahulukan kaum fakir yang berada dikota, dan ketika perkara itu melonggar maka kembalilah hukum perkara hewan kurban itu seperti semula,  maka dibolehkan bagi mereka memanfaatkan hewan kurbannya sebagaimana sebelumnya.
Bagian – bagian Kaidah:
1.      Bolehnya melawan pencuri dan orang yang salim agar tidak menyebarkan kejahatannya walaupun dengan membunuhnya.
2.      Bolehnya menghindari kesulitan kepada yang meringankan
3.      Bolehnya meminta kesaksian muzakki> dan Muhaddis\ dalam hal periwayatan.
4.      Diterimanya kesaksian atas kelahiran anak untuk menjaga keturunan.
5.      Bolehnya diterima kesaksian seorang wanita dan anak-anak dalam memilih pemimpin dan pada tempat-tempat yang tidak didatangi seorang laki-laki untuk memenuhi hak-haknya.
2.     Kemudaratan – kemudaratan membolehkan hal –hal yang dilarang 
          Kemudaratan menurut bahasa terambil dari kata id}tira>r yang artinya ||kesukaran yaitu kebutuhan yang mendesak. Adapun mahz}u>ra>t jamak mahz}u>r  yaitu perbuatan yang dilarang untuk dilakukan.
            Oleh karena itu  apapun yang membawa kepada kemudaratan yang membolehkan hal-hal yang dilarang, mesti dilakukan sesuai kadar terangkatnya kemudaratan. Jika seseorang menghilangkan kesukarannya dengan sesuatu yang dilarang maka tidak boleh meluaskan keharamannya bahkan menguranginya sesuai kadar/ukuran terangkatnya kemudaratan tersebut, sebagaimana kaidah yang berbunyi kemudaratan diukur sesuai kadar kemudaratannya.

            Dalil Kaidah

ôs%ur…… Ÿ@¢Ásù Nä3s9 $¨B tP§ym öNä3øn=tæ žwÎ) $tB óOè?ö̍äÜôÊ$# Ïmøs9Î) ……3 ÇÊÊÒÈ  

Terjemahnya:
…Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya ……. (al-ana>m : 119)
Ayat di atas merupakan landasan kaidah usu>li>yyah  dan  kaidah fiqhi>yyah yang berkaitan dengan keringanan dalam syariat. Rukhsah/Keringanan ada tiga macam:
1.      Bolehnya hal-hal yang dilarang Allah swt. disaat darurat. Seperti makan bangkai disaat darurat sesuai kadarnya untuk mencegah kebinasaan disaat kelaparan, makan daging babi dan lain-lain.
Hal-hal yang haram tersebut dibolehkan disaat darurat sebagaimana firman Allah swt. “kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” maksudya kelaparan yang menyebabkan kalian memakannya, dan pengecualian dari keharaman tersebut dibolehkan.
2.      Rukhsah yang tidak jatuh keharamannya dalam keadaan apapun. Maksudnya perbuatan tersebut tetap haram akan tetapi keringanannya datang belakangan karena dalam keadaan darurat. Contohnya mengatakan kata-kata kafir padahal hatinya beriman karena berada dalam paksaan.
3.      Perbuatan yang tidak dibolehkan dalam keadaan apapun dan tidak ada keringanan atasnya. Contonya membunuh orang muslim. Perbuatan ini tidak dibolehkan dan tidak terangkat dosanya walaupun dalam keadaan terpaksa.
Oleh karena itu kemudaratan pada jenis yang pertama, hukum perbuatanya hilang akan tetapi d}ama>nnya tetap meskipun kemudaratan dengan memakan harta orang lain. Pada jenis yang kedua, kemudaratan menghilangkan dosa namun sifat perbuatan dan d}ama>nnya tetap. Jenis yang ketiga, tidak hilang perbuatan dosa, sifat dan d}ama>nnya.
Kaidah ad}}d}aru>ra>h tubi>hul mahz\u>ra>t (kemudaratan membolehkan hal-hal yang dilarang) tidak mencakup jenis yang ketiga karena tidak dibolehkannya rukhsah dalam keadaan apapun sehingga jenis yang ketiga ini merupakan pengecualian dari kaedah ini.
Bagian – Bagian Kaidah :
1.      Pemilik utang mengambil harta dari orang yang diberi pinjaman utang tanpa sepengetahuannya karena tidak mau melunasi pinjamannya.
2.      Mengucapkan kalimat kufur karena terpaksa sementara hatinya beriman.
3.      Jika sesuatu yang haram menjadi mayoritas dimana tidak terdapat harta yang  halal maka dibolehkan sesuai kadarnya.
4.      Jika kalian terpaksa membunuh atau berzina maka hal tersebut tidak boleh dikerjakan karena akan menambah kerusakan yang lainnya.
5.      Darah orang yang mati syahid bersih oleh karena itu tidak dimandikan.

6.      Bolehnya shalat jumat dilakukan berulang karena sulitnya bertemu dalam satu tempat. Akan tetapi kebolehan tersebut diukur sesuai kadar yang bisa menghilangkan kesulitan tersebut. Jika kesulitan tersebut bisa terselesaikan dengan dua kali jumat maka jangan menggenapkan menjadi tiga jumat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar