A.
Latar Belakang
Berkembang pesatnya pemikiran Islam
ditandai dengan proses perpindahan
pusat gerakan kebudayaan dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan ke Baghdad.
Pada masa itu khalifah al-Ma'mun mendirikan sebuah akademi penerjemahan dengan
nama Bait al-Hikmah. Buku yang diterjemahkan pada masa itu antara lain,
buku ilmu kedokteran, buku-buku Aristoteles perihal ilmu logika (filsafat) dan
ilmu jiwa.
Melalui gerakan
penterjemahan, ulama-ulama muslim dapat mempelajari dan memahami dengan baik
buku-buku yang diterjemahkan, khususnya buku filsafat dan ilmu kedokteran. Salah
satu ilmuan yang paling intens melakukan penelitian dan eksperimen dalam ilmu
kedokteran ialah Ibn Sina, beliau menyusun kitab "al-Qanun fi al-Tibb"
sebagai ensiklopedi medis. Kitab ini setelah diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin menjadi buku pedoman pada universitas-universitas di Eropa sampai abad ke
XVII.
Posisi Ibn Sina
di samping seorang filosof juga seorang ilmuan, karena beliau membangun
filsafat di atas landasan ilmu kedokteran.[1]
Kemasyhuran Ibn Sina di dunia Islam melampaui al-Farabi dan al-Kindi, karena
beliau seorang filosof yang banyak memberikan pikiran-pikiran orisinil terhadap
filsafat Aristoteles dan ilmu pengetahuan, serta filsafatnya tentang jiwa dan
akal lebih terperinci dan sempurna dari filsafat al-Farabi.[2]
Penulis mengeksplor beberapa literatur kemuudian mengeksplanasikan mulai
riwayat hidup hingga buah pemikiran Ibnu Sina, khususnya mengenai emanasi,
filsafat jiwa, filsafat kenabian dan
teori wujud. Manilik latar belakang di atas
maka penulis mengkerucutkan ruang lingkup pembahasan pada riwayat hidup dan
pemikiran Ibnu Sina meliputi emanasi, filsafat jiwa, filsafat kenabian dan teori wujud.
Nama lengkapnya Abu Ali
al-Husein ibn Abdulullah ibn al-Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia lahir di desa
Afsyanah, dekat Bukhara. Transoxiana (Persia Utara).[3]
Pada usia 10 tahun ia telah mampu menghafal al-Qur'an, sebagaian besar sastra
Arab, dan juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles. Pada usia 16 tahun
ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, seperti: fiqih, ilmu hitung, ilmu
ukur, filsafat dan ilmu kedokteran. Pada usia 18 tahun ia telah berprofesi dalam
berbagai bidang, seperti: guru, penyair, filosof, pengarang dan seorang dokter
termasyhur, sehingga diundang untuk mengobati Sultan Samanid di Bukhara, Nuh
ibn Manshur. Keberhasilannya tersebut merupakan perintis hubungan baiknya
dengan Sultan, sehingga ia diberi kesempatan untuk menelaah buku-buku yang
tersimpan di dalam perpustakaan Sultan.[4]
Dalam usianya 20 tahun, ayahnya
meninggal dunia. Musibah ini menjadi pukulan berat baginya sehingga dengan
berat hati meninggalkan Bukhara menuju Jurjan untuk bekerja di istana pengeran
Ali ibn al-Ma'mun. Selanjutnya ia pindah ke Raiy dan di sana ia berhasil pula
mengobati Maj al-Dawlah, dari sini ia pindah ke Hamdan dan selamadi sana pernah
diangkat dua kali menjadi menteri di istana Syams al-Dawlah. Karena terlibat dalam
soal politik ia kemudian dimasukkan ke dalam penjara, tetapi dapat
menyelematkan diri dengan menyamar sebagai sufi, ia lari ke Isfahan. Di sini ia
berkerja di istana 'Ala al-Dawlah.[5]
Menurut Abu Ubaid al-Jurjani
salah seorang muridnya, Ibn Sina selalu sibuk menulis baik sewaktu dalam
penjara maupun dalam perjalanan. Buku yang ditulisnya besar kecil, berjumlah
lebih dari dua ratus, kebanyakan dalam bahasa Arab dan sebahagian kecil dalam
bahasa Persia.[6] Di
antara karya yang terpenting adalah :
a. Al-Syifa' latinnya Sanatio (penyembuhan)
b. Al-Najah latinnya Salus (penyelamat),
ringkasan dari al-Syifa'
c. Al-Isyarah wa al-Tanbihah (isyarat dan
peringatan), mengenai logika dan hikmah.
d. Al-Qanun fi al-Tibb, ensiklopedia medis
e. Al-Hiknah al-Arudiyah
f. Hidayah al-Rais li al-Amir
g. Risalah fi al-Kalam 'ala al-Nafs al-Natiqiyah
h. Al-Mantiq al-Masriqiyyin (logika Timur).[7]
Yang membuat nama Ibn Sina
terkenal ialah dua di antara buku-buku itu, al-Qanun fi al-Tibb dan al-Syifa'.
Al-Qanun (the Canon), suatu ensiklopedia tentang ilmu kedokteran yang
diperpegangi di universitas-universitas di Eropa selama lima ratus tahun.
Al-Syifa' merupakan ensiklopedia tentang filsafat Aristoteles dan ilmu
pengetahuan, di dalamnya terdapat tambahan-tambahan orisinil dari Ibn Sina
sendiri.[8]
Ibn Sina dikenal di Barat
dengan nama Avicenna (Spanyol Aven Sina) dan kemasyhurannya di Barat sebagai
dokter melampaui kemasyhurannya sebagai filosof. Di dunia Islam ia dikenal
dengan nama "al-Syaykh al-Rais", pemimpin utama (dari filosof-filosof).[9]
Di akhir hayatnya, ia menjadi guru filsafat dan dokter di
Isfahan dan meninggal pada tahun 428 H (1037 M) di Hamadzan dalam usia 57
tahun.[10]
C.
Pemikiran Ibnu Sina Dalam Filsafat Islam
- Emanasi
Ibn Sina dalam filsafat metafisika menganut paham
emanasi. Ia berpendapat bahwa dari Tuhan memancar akal pertama. Sekalipun Tuhan
terdahulu dari segi zat, namun Tuhan dan akal pertama adalah sama-sama azali.
Akal pertama mempunyai tiga objek pemikiran; Tuhan, Diri-Nya sebagai wajib
wujud-Nya dan diri-Nya sebagai mungkin wujud-Nya. Dari pemikiran tentang Tuhan
timbul akal-akal; dari pemikiran tentang diri-Nya sebagai wujud-Nya timbul
jiwa-jiwa dan dari pemikran tentang diri-Nya sebagai mungkin wujud-Nya timbul
langit-langit.[11]
Teori emanasi Ibn Sina sama
dengan teori emanasi al-Farabi. Kecuali ada beberapa hal yang ditambahkan oleh
Ibn Sina yaitu, akal pertama berta'aqqul mengeluarkan akal kedua, di
samping juga mengeluarkan dua wujud lain (bulan satu seperti al-Farabi) yaitu
"Jirm al-Falaq al-Aqsha dan Nafs al-Falaq al-Aqsha".[12]
Akal bersifat tetap dan
terasing dari falak, sedangkan jiwa berhubungan langsung dengan falak. Tuhan al-Khair
al-Mutlaq dan akal hanyalah al-khair yang menjadi tujuan dari segala
gerakan falak untuk kesempurnaan dirinya. Kerinduan jiwa al-falak kepada al-khaer
disebut al-Isyq al-Mutlaq.
Rindu inilah yang menyebabkan terjadinya bermacam-macam peristiwa dan berlangsungnya berbagai macam hal.[13]
- Filsafat Jiwa
Jiwa menurut Ibn Sina merupakan
subtansi yang berdiri sendiri. Jiwa merupakan sumber hidup dan sumber gerak
tubuh. Jiwa bisa tetap hidup tanpa tubuh. Bukti yang paling jelas untuk ini
adalah bila jiwa berpisah dari tubuh, maka tubuh akan menjadi benda mati.
Sementara jiwa ketika berpisah dengan tubuh dan naik ke alam atas ia akan penuh
hidup bahagia. Dengan demikian jiwa merupakan subtansi yang berdiri sendiri
bukan salah satu aksidensia tubuh.[14]
Ibn Sina ini nampaknya ingin
mengkompromikan pendapat Plato dan Aristoteles, ia mengambil teori subtansi
dari Plata dan teori bentuk dari Aristoteles. Menurut Plato jiwa sebagai
subtansi, maka tidak mungkin ia sebagai bentuk tubuh. Sebab merupakan prinsip
bahwa tidak ada sesuatu yang menerima bentuk itu tidak mungkin terpisah dari
materinya.[15] Menurut
Aristoteles bahwa jiwa bentuk dari tubuh.[16]
Subtasninya bagi Aristoteles tidak satu, artinya kadang diartikan matari kadang
juga diartikan bentuk tetapi sering juga diartikan kedua-duanya.
Untuk membuktikan adanya jiwa,
Ibn Sina mengajukan beberapa argumen, yakni; 1. argumen psikofisik, 2. argumen
"Aku" dan kesatuan fenomena psikologis, 3. argumen kontinuitas, dan
4. argumen manusia terbang di udara.[17]
Argumen-argumen tersebut dibuktikan sebagai berikut :
1. Gerak ada dua macam yakni gerak terpaksa
(gerak yang didorong oleh unsur luar), dan gerak tidak terpaksa. Gerakan tidak
terpaksa ada yang terjadi sesuai dengan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari
atas ke bawah. Ada juga yang menentang hukum alam, seperti manusia yang
berjalan di bumi, menurut hukum alam bahwa manusia harus diam di tempat, karena
mempunyai berat badan sama dengan benda padat. Gerak yang menentang hukum alam
ini tentu ada penggerak di luar unsur tubuh itu sendiri. Inilah yang dinamakan
jiwa menurut Ibn Sina.
2. Ibn Sina membedakan antara aku sebagai jiwa,
dan badan sebagai alat "Aku" bukanlah fenomena fisik, tetapi adalah
jiwa dan kekuatannya. Kekuatan jiwa itu menibulkan fenomena yang berbeda-beda
seperti benci-cinta, susah-gembira, dan sebagainya. Semua fenomena itu
merupakan satu kesatuan, karena itu perlu adanya jiwa untuk mempersatukan fenomena
jiwa yang berbeda tersebut supaya timbul keserasian. Bila
kesatuan fenomena psikologis mengharuskan
adanya asal sehingga sumbernya, tentu tidal bisa dielakkan bahwa jiwa itu ada.
3. Dalam pembuktian yang ketiga, Ibn Sina
mengatakan hidup rohaniah kita hari ini berkaitan dengan hidup kita kemarin
tanpa ada kekosongan. Hidup ini adalah berubah dalam satu untaian yang tidak
putus-putus. Untuk menimbulkan bahwa jiwa itu tidak putus adalah dengan daya
ingat manusia tentang masa-masa yang telah lewat, baik merupakan tingkah laku
maupun merupakan hal ihwal di sekitarnya. Sebagai contoh, ia membandingkan
antara jiwa dan badan. Badan kalau tidak diberi makan dalam waktu tertentu akan
berkurang beratnya karena mengalami penyusutan, sedangkan jiwa tetap tidak berubah.
Dengan demikian jiwa berbeda dengan badan.
4. Pembuktian tentang manusia terbang di udara,
Ibn Sina mengatakan "Andaikata ada seseorang lahir dengan dibekali
kekuatan dan jasmani yang sempurna, kemudian ia menutup matanya sehingga ia
tidak bisa melihat apa-apa yang di sekelilingnya, kemudian ia diletakkan di
udara dan diatur supaya tidak terjadi benturan dengan apa yang ada di
sekelilingnya, tanpa ragu-ragu. Pada saat itu orang tersebut akan mengatakan
dirinya ada penepatan tentang wujud dirinya tidak timbul dari indera melainkan
dari sumber yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu, "jiwa".[18]
Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa
lain dari segala apa yang terdapat di baeah bulan, memancar dari akal ke
sepuluh. Sebagai Aristoteles Ibn Sina membagi jiwa dalam tiga baagian :
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan (النفس النباتية)
2. Jiwa binatang (النفس الحيوانية)
3. Jiwa manusia (النفس الناطقة) dengan dua daya :
a. Praktis
(العاملة)
yang berhubungan dengan badan
b. Teoritis
(العالمة
atau النظرية,
theoritical) yang berhubungan dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai
tingkatan-tingkatan;
i. Akal materi (العقل الهيولاني, material intelect) yang semata-mata
mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit
ii. Intelectus in habitu (العقل بالملكة)
yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
iii. Akal aktuil (العقل بالفعل) yang telah dapat berpikir tentang
hal-hal abstrak.
iv. Akal mustafad (العقل المستفاد, acuised intellect) yaitu akal yang
telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya
upaya; akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak
selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa inilah yang sanggup
menerima limpahan ilmu pengertahuan dari akal aktif (العقل الفعال).[19]
Sifat seseorang bergantung pada
jiwa mana dari ketiga macam jiwa (tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia) yang
berpengaruh pada dirinya. Jika tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada
dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia (النفس الناطقة),
yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat
dan dekat pada kesempurnaan.[20]
Jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan jika ia berpisah dengan badan,
maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan, dan jika ia berpisah dengan
badan dalam keadaan tidak sempurna, karena semasa bersatu dengan badan ia telah
dipengaruhi oleh hawa nafsu badan, maka ia akan hidup dalam keadaan menyesal
dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.
- Filsafat Kenabian
Pada tingkat intelektual,
perlunya wahyu kenabian dibuktikan. Ibn Sina membangun seluruh teori tentang
pengalaman intuitif, manusia sangat berbeda-beda berdasarkan kekuatan-kekuatab
intuiftif mereka dalam kualitas maupun dalam kuantitasnya dan sementara sebagian
orang hampir sama sekali tidak memiliki pengalaman intuitfi itu. Yang lain
memilikinya dalam kadar tinggi, sehingga orang yang dikauruniai keluarbiasaan,
memiliki hubungan menyeluruh dengan realitas. Wawasan yang menyeluruh, kemudian
mewujud dalam tesis-tesis tentang sifat dasar realitas dan tentang sejarah masa
depan; dan wawasan inipun bersifat intelektual dan moral spiritual sehingga
pengalaman kenabian itu tentu memenuhi kriteria filosofis ataupun moral.
Berdasarkan wawasan kreatif
inilah Nabi menciptakan nilai-nilai moral baru dan mempengaruhi sejarah masa
mendatang. Komitmen psikologis moral dari wawasan inipun merupakan keyakinan
diri yang mendalam tak tergoyahkan dan merupakan keimanan Nabi serta
kecakapannya dalam pengetahuan yang benar dan dalam penilaiam moral yang tepat.
Wawasan kreatif tentang pengetahuan dan nilai-nilai diistilahkan oleh Ibn Sina
dengan akal aktfi dan diidentikkan dengan malaikat pembawa wahyu.[21]
Wawasan intektual spiritual merupakan karunia tertinggi yang dimiliki Nabi. Ia
tak dapat bertindak kreatif dalam sejarah semata-mata berdasarkan kekuatan
wawasan itu. Sifat pembawaan kedudukan yang dijabatnya menghendaki agar
seyogyanya menghadap umat manusia berbekal risalah, mempengaruhi mereka dan
bennar-benar berhasil misinya. Nabi harus memiliki imajinasi yang sangat kuat
dan hidup, bahwa kekuatan fisiknya sedimikian kuat ia hingga ia harus
mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain melainkan juga seluruh materi pada
umumnya, bahwa ia mampu melontarkan suatu sistem politik.[22]
Dengan kualitas imajinasi yang
luar biasa kuatnya, pikiran Nabi melalui keniscayaan psikologis yang mendorong,
mengubah kebanaran-kebenaran akal murni dengan konsep-konsep menjadi
imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang
mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong
untuk berbuat sesuatu. Wahyu-wahyu yang terkadung di dalam kitab suci keagamaan
sebagian besar berupa perintah dan keharusan, sehingga perlu ditafsirkan untuk
mendapatkan kebenaran yang lebih tertinggi, mendasar dan spiritual. Wahyu dalam
pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang
baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka, maka tak
ada agama yang hanya berdasarkan akal murni.[23]
Karena itu Nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan
tertinggi. Hukum (syari'ah) ini mesti demikian rupa sehingga berhasil guna
dalam membentuk masyarakat yang baik, harus memperingatkan mereka akan Tuhan
pada setiap langkah, dan harus pula menjadikannya sebagai tolak ukur pendidikan
bagi mereka dalam rangka membuka mata mereka terhadapp apa yang ada di balik
betuk lahiriyahnya, sehingga mereka memahami tujuan-tujuan spriritual sejati
dari Sang pembuat hukum.[24]\
Harun Nasution memberikan
uraian tentang Falsafah Wahyu dan Nabi dalam Pemikiran Ibn Sina, yaitu;
"akal mempunyai empat tingkat dan yang terendah di antranya ialah akal
materi atau (العقل الهولاني). Adakalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal
materil yang besar lagi kuat, yang oleh Ibn Sina diberi nama al-Hads (الحدث)
yang intuisi. Daya yang ada pada pada akal materil serupa ini begitu besarnya,
sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif
dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal yang surupa
ini mempunyai daya suci (قوة قدسية). Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh
manusia dan terdapay hanya pada Nabi-nabi.[25]\\
- Filsafat Wujud
Berkaitan dengan metafisika,
Ibn Sina juga membicarakan sifat wujudiyah sebagai yang terpenting dan
mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun esensi (ماهية,
quiddity) sendiri. Esensi dalam paham Ibn Sina terdapat dalam akal, sedang
wujud yang terdapat diliar akal. Wujudlah yang membuat esensi tidak besarnya
arti. Oleh sebab itu wujuid lebih penting dari esensi.[26]
Kalau dikombinasikan, esensi wujud dapat mempunyai berikut
:
1. Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan
hal yang serupa ini disebut oleh Ibn Sina Mumtani' (ممتنع) yaitu sesuatu yang mustahil
berwujud (ممتنع الوجود,
impossible being). Contohnya, adanya sekarang ini, juga kosmos lain di samping
kosmos yang ada.
2. Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh
pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin (ممكن)
yaiyu sesuatu yang mungkin beruwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud (ممكن الوجود,
contingent being). Contohnya, alam ini pada mulanya tidak ada, kemudian ada,
dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3. Esensi yang tidak boleh tidak mesti
mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, esensi dan
wujud adalah sama dan satu. Esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan
kemudian berwujud,sebagaimana halnya dengan esensi dalam kategori kedua, tetapi
esensi yang mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya yang serupa ini
disebut mesti berwujud (واجب الوجود, necessary being) yaitu Tuhan. Wajib al-wujud
inilah yang mewujudkan mukmin al-wujud.[27]
Dengan demikian, Tuhan adalah
unik, dalam arti Dia adalah kemaujudan yang mesti, segala sesuatu selain Dia
bergantung kepada diri dan keberadaan Tuhan. Kemaujudan yang mesti itu harus
satu. Nyatanya, walaupun di dalam kemaujudan ini tidak boleh terdapat kelipatan
sifat-sifat-Nya, tetapi Tuhan memiliki esensi lain, tak ada atribut-atribut
lain kecuali bahwa Dia itu ada dan mesti ada. Ini dinyatakan oleh Ibn Sina
bahwa esensi Tuhan identik dengan keberadaannya yang mesti itu. Karena Tuhan
tidak beresensi, maka Dia mutlah sederhana dan tak dapat didefiniskan.[28]
D. Kesimpulan
Sebagai akhir dari tulisan ini,
dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Pemikiran Ibnu Sina tentang jiwa adalah satu
unsur subtantif dalam diri manusia. Jiwa merupakan sumber hidup dan gerak bagi
tubuh, jika memiliki dua daya yakni daya praktis (practical) yang berhubungan
dengan badan dan daya teoritis (theoritical) yang berhubungan dengan hal-hal
abstrak. Jiwa manusia menjadi sempurna apabila mampu memfungsikan daya
teoritis, sebaliknya jiwa manusia yang dipengaruhi oleh hawa nafsu, maka ia
tidak sanggup mencapai kesempurnaan dan akan menyesal untuk selama-lamanya.
3. Pemikiranya tentang wahyu dan Nabi adalah
bertitik tolak pada tingkatan akal. Adakalanya Tuhan menganugerahkan kepada
manusia akal materil yang besar lagi kuat, yang oleh Ibn Sina mengistilahkan
dengan intuisi. Daya yang berada pada akal materil ini dapat berhubungan dengan
akal aktif, sehingga dengan mudah menerima cahaya dari Tuhan. Akal serupa ini
bersifat suci karena merupakan bentuk akal tertinggi yang diperoleh manusia
bentuk akal inilah yang dimiliki Nabi-nabi sebagai pembuat hukum (syari'ah) dan
negarawan untuk membentuk masyarakat menjadi baik dan sempurna.
4. Wujud menurut Ibn Sina memiliki kedudukan
yang lebih tinggi dari esensi. Esensi dan wujud dapat dikombinasikan menjadi
tiga bagian, yakni esensi yang tidak dapat mempunyai wujud (impossible being),
esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh tidak mempunyai wujud (contingent
being), dan esensi mempunyai wujud selama-lamanya (necessary being). Wujud
terakhir ini disebut wajib al-wujud (Tuhan) yang merupakan sebab dari
segala yang berwujud. Dan untuk memelihara "Keesaan" dari hal-hal
yang bersifat materi, maka Ibn Sina menganut paham "emanasi".
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ahwani,
Ahmad Fuad. Filsafat Islam. Diterjemahkan oleh Pustaka Firdaus. Cet.
VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Hanafi,
Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Horrassowitz,
Otto. History of Muslim Philosophy. Diterjemahkan oleh M.M. Syarif
dengan judul Para Filosof Muslim. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1992.
Madkour, Ibrahim. fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj
wa Tathbiqun. Diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Aswin dan Ahmad Hakim
Mudzakkir dengan judul Filsafat Islam; Metode dan Penerapan. Cet. IV;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Nasution,
Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Cet. VI;
Jakarta: UI-Press, 1994.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Cet. I;
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Poerwantana dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
[1]Lihat, Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat
Islam, diterjemahkan oleh Pustaka Firdaus
(Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 49.
[2]Lihat, Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II (Cet. VI; Jakarta: UI-Press,
1994), h. 50-51.
[3]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1999), h. 66.
[4]Lihat, ibid., h. 67.
[5]Harun Nasution, op.cit.,
h. 50. Lihat pula, Ahmad Fuad al-Ahwain, op.cit., h. 90.
[7]Lihat Hasyimsyah Nasution, op.cit.,
h. 68-69.
[8]Harun Nasution, loc.cit.
[9]Lihat, ibid., h. 51.
[10]Hasyimsyah Nasution, op.cit.,
h. 68.
[12]Jirm
al-Falaq al-Aqsha ialah langit dengan semuaplanetnya, Nafs al-Falaq
al-Aqsha ialah jiwa dari langit dengan semuaplanetnya. Lihat, Poerwantana, dkk., Seluk
Beluk Filsafat Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h. 148.
[13]Hasyimsyah Nasution, loc.cit.
[14]Lihat
Ibrahim Madkour, fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiqun,
diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Aswin dan Ahmad Hakim Mudzakkir dengan judul Filsafat
Islam; Metode dan Penerapan (Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996), h. 226-227.
[15]Lihat, ibid., h. 227.
[16]Ibid.
[17]Hasyimsyah Nasution, op.cit.,
h. 71. Lihat pula Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Cet. V;
Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 126.
[18]Lihat, Hasyimsyam Nasution, ibid.,
h. 71-72. Bandingkan dengan Ahmad Hanafi, op.cit., h. 126-129 dan
Poerwantana, dkk., op. cit., h. 157-161.
[19]Lihat Harun Nasution, op.cit.,
h. 35-37.
[20]Ibid.
[21]Lihat, Otto Horrassowitz, History
of Muslim Philosophy, diterjemahkan oleh M.M. Syarif dengan judul Para
Filosof Muslim (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1992), h. 129-130.
[22]Lihat, ibid., h. 130.
[23]Lihat, ibid., h. 131.
[24]Hasyimsayah Nasution, op. cit.,
h. 76.
[25]Harun Nasution, op.cit.,
h. 39.
[26]Lihat, ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar