Kembali Ke Dasar 10.000 Jam

Countdown

Minggu, 18 Februari 2018

IBNU SINA (Riwayat Hidup, Emanasi, Filsafat al-Nafs, Filsafat Kenabian dan Teori Wujud)

A.  Latar Belakang
Berkembang pesatnya pemikiran Islam ditandai dengan proses perpindahan pusat gerakan kebudayaan dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan ke Baghdad. Pada masa itu khalifah al-Ma'mun mendirikan sebuah akademi penerjemahan dengan nama Bait al-Hikmah. Buku yang diterjemahkan pada masa itu antara lain, buku ilmu kedokteran, buku-buku Aristoteles perihal ilmu logika (filsafat) dan ilmu jiwa.
      Melalui gerakan penterjemahan, ulama-ulama muslim dapat mempelajari dan memahami dengan baik buku-buku yang diterjemahkan, khususnya buku filsafat dan ilmu kedokteran. Salah satu ilmuan yang paling intens melakukan penelitian dan eksperimen dalam ilmu kedokteran ialah Ibn Sina, beliau menyusun kitab "al-Qanun fi al-Tibb" sebagai ensiklopedi medis. Kitab ini setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi buku pedoman pada universitas-universitas di Eropa sampai abad ke XVII.
      Posisi Ibn Sina di samping seorang filosof juga seorang ilmuan, karena beliau membangun filsafat di atas landasan ilmu kedokteran.[1] Kemasyhuran Ibn Sina di dunia Islam melampaui al-Farabi dan al-Kindi, karena beliau seorang filosof yang banyak memberikan pikiran-pikiran orisinil terhadap filsafat Aristoteles dan ilmu pengetahuan, serta filsafatnya tentang jiwa dan akal lebih terperinci dan sempurna dari filsafat al-Farabi.[2]
      Penulis mengeksplor beberapa literatur kemuudian mengeksplanasikan mulai riwayat hidup hingga buah pemikiran Ibnu Sina, khususnya mengenai emanasi, filsafat jiwa, filsafat kenabian dan teori wujud. Manilik latar belakang di atas maka penulis mengkerucutkan ruang lingkup pembahasan pada riwayat hidup dan pemikiran Ibnu Sina meliputi emanasi, filsafat jiwa, filsafat kenabian dan teori wujud.
B.  Riwayat Hidup Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M)
Nama lengkapnya Abu Ali al-Husein ibn Abdulullah ibn al-Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia lahir di desa Afsyanah, dekat Bukhara. Transoxiana (Persia Utara).[3] Pada usia 10 tahun ia telah mampu menghafal al-Qur'an, sebagaian besar sastra Arab, dan juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, seperti: fiqih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat dan ilmu kedokteran. Pada usia 18 tahun ia telah berprofesi dalam berbagai bidang, seperti: guru, penyair, filosof, pengarang dan seorang dokter termasyhur, sehingga diundang untuk mengobati Sultan Samanid di Bukhara, Nuh ibn Manshur. Keberhasilannya tersebut merupakan perintis hubungan baiknya dengan Sultan, sehingga ia diberi kesempatan untuk menelaah buku-buku yang tersimpan di dalam perpustakaan Sultan.[4]
Dalam usianya 20 tahun, ayahnya meninggal dunia. Musibah ini menjadi pukulan berat baginya sehingga dengan berat hati meninggalkan Bukhara menuju Jurjan untuk bekerja di istana pengeran Ali ibn al-Ma'mun. Selanjutnya ia pindah ke Raiy dan di sana ia berhasil pula mengobati Maj al-Dawlah, dari sini ia pindah ke Hamdan dan selamadi sana pernah diangkat dua kali menjadi menteri di istana Syams al-Dawlah. Karena terlibat dalam soal politik ia kemudian dimasukkan ke dalam penjara, tetapi dapat menyelematkan diri dengan menyamar sebagai sufi, ia lari ke Isfahan. Di sini ia berkerja di istana 'Ala al-Dawlah.[5]
Menurut Abu Ubaid al-Jurjani salah seorang muridnya, Ibn Sina selalu sibuk menulis baik sewaktu dalam penjara maupun dalam perjalanan. Buku yang ditulisnya besar kecil, berjumlah lebih dari dua ratus, kebanyakan dalam bahasa Arab dan sebahagian kecil dalam bahasa Persia.[6] Di antara karya yang terpenting adalah :
a.   Al-Syifa' latinnya Sanatio (penyembuhan)
b.   Al-Najah latinnya Salus (penyelamat), ringkasan dari al-Syifa'
c.   Al-Isyarah wa al-Tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan hikmah.
d.   Al-Qanun fi al-Tibb, ensiklopedia medis
e.   Al-Hiknah al-Arudiyah
f.    Hidayah al-Rais li al-Amir
g.   Risalah fi al-Kalam 'ala al-Nafs al-Natiqiyah
h.   Al-Mantiq al-Masriqiyyin (logika Timur).[7]
Yang membuat nama Ibn Sina terkenal ialah dua di antara buku-buku itu, al-Qanun fi al-Tibb dan al-Syifa'. Al-Qanun (the Canon), suatu ensiklopedia tentang ilmu kedokteran yang diperpegangi di universitas-universitas di Eropa selama lima ratus tahun. Al-Syifa' merupakan ensiklopedia tentang filsafat Aristoteles dan ilmu pengetahuan, di dalamnya terdapat tambahan-tambahan orisinil dari Ibn Sina sendiri.[8]
Ibn Sina dikenal di Barat dengan nama Avicenna (Spanyol Aven Sina) dan kemasyhurannya di Barat sebagai dokter melampaui kemasyhurannya sebagai filosof. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama "al-Syaykh al-Rais", pemimpin utama (dari filosof-filosof).[9]
      Di akhir hayatnya, ia menjadi guru filsafat dan dokter di Isfahan dan meninggal pada tahun 428 H (1037 M) di Hamadzan dalam usia 57 tahun.[10]
C.   Pemikiran Ibnu Sina Dalam Filsafat Islam
  1. Emanasi
Ibn Sina dalam filsafat metafisika menganut paham emanasi. Ia berpendapat bahwa dari Tuhan memancar akal pertama. Sekalipun Tuhan terdahulu dari segi zat, namun Tuhan dan akal pertama adalah sama-sama azali. Akal pertama mempunyai tiga objek pemikiran; Tuhan, Diri-Nya sebagai wajib wujud-Nya dan diri-Nya sebagai mungkin wujud-Nya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal; dari pemikiran tentang diri-Nya sebagai wujud-Nya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikran tentang diri-Nya sebagai mungkin wujud-Nya timbul langit-langit.[11]
Teori emanasi Ibn Sina sama dengan teori emanasi al-Farabi. Kecuali ada beberapa hal yang ditambahkan oleh Ibn Sina yaitu, akal pertama berta'aqqul mengeluarkan akal kedua, di samping juga mengeluarkan dua wujud lain (bulan satu seperti al-Farabi) yaitu "Jirm al-Falaq al-Aqsha dan Nafs al-Falaq al-Aqsha".[12]
Akal bersifat tetap dan terasing dari falak, sedangkan jiwa berhubungan langsung dengan falak. Tuhan al-Khair al-Mutlaq dan akal hanyalah al-khair yang menjadi tujuan dari segala gerakan falak untuk kesempurnaan dirinya. Kerinduan jiwa al-falak kepada al-khaer disebut al-Isyq al-Mutlaq. Rindu inilah yang menyebabkan terjadinya bermacam-macam peristiwa dan berlangsungnya berbagai macam hal.[13]

  1. Filsafat Jiwa
Jiwa menurut Ibn Sina merupakan subtansi yang berdiri sendiri. Jiwa merupakan sumber hidup dan sumber gerak tubuh. Jiwa bisa tetap hidup tanpa tubuh. Bukti yang paling jelas untuk ini adalah bila jiwa berpisah dari tubuh, maka tubuh akan menjadi benda mati. Sementara jiwa ketika berpisah dengan tubuh dan naik ke alam atas ia akan penuh hidup bahagia. Dengan demikian jiwa merupakan subtansi yang berdiri sendiri bukan salah satu aksidensia tubuh.[14]
Ibn Sina ini nampaknya ingin mengkompromikan pendapat Plato dan Aristoteles, ia mengambil teori subtansi dari Plata dan teori bentuk dari Aristoteles. Menurut Plato jiwa sebagai subtansi, maka tidak mungkin ia sebagai bentuk tubuh. Sebab merupakan prinsip bahwa tidak ada sesuatu yang menerima bentuk itu tidak mungkin terpisah dari materinya.[15] Menurut Aristoteles bahwa jiwa bentuk dari tubuh.[16] Subtasninya bagi Aristoteles tidak satu, artinya kadang diartikan matari kadang juga diartikan bentuk tetapi sering juga diartikan kedua-duanya.
Untuk membuktikan adanya jiwa, Ibn Sina mengajukan beberapa argumen, yakni; 1. argumen psikofisik, 2. argumen "Aku" dan kesatuan fenomena psikologis, 3. argumen kontinuitas, dan 4. argumen manusia terbang di udara.[17]
Argumen-argumen tersebut dibuktikan sebagai berikut :
1.   Gerak ada dua macam yakni gerak terpaksa (gerak yang didorong oleh unsur luar), dan gerak tidak terpaksa. Gerakan tidak terpaksa ada yang terjadi sesuai dengan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah. Ada juga yang menentang hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, menurut hukum alam bahwa manusia harus diam di tempat, karena mempunyai berat badan sama dengan benda padat. Gerak yang menentang hukum alam ini tentu ada penggerak di luar unsur tubuh itu sendiri. Inilah yang dinamakan jiwa menurut Ibn Sina.
2.   Ibn Sina membedakan antara aku sebagai jiwa, dan badan sebagai alat "Aku" bukanlah fenomena fisik, tetapi adalah jiwa dan kekuatannya. Kekuatan jiwa itu menibulkan fenomena yang berbeda-beda seperti benci-cinta, susah-gembira, dan sebagainya. Semua fenomena itu merupakan satu kesatuan, karena itu perlu adanya jiwa untuk mempersatukan fenomena jiwa yang berbeda tersebut supaya timbul keserasian. Bila kesatuan fenomena psikologis mengharuskan adanya asal sehingga sumbernya, tentu tidal bisa dielakkan bahwa jiwa itu ada.
3.   Dalam pembuktian yang ketiga, Ibn Sina mengatakan hidup rohaniah kita hari ini berkaitan dengan hidup kita kemarin tanpa ada kekosongan. Hidup ini adalah berubah dalam satu untaian yang tidak putus-putus. Untuk menimbulkan bahwa jiwa itu tidak putus adalah dengan daya ingat manusia tentang masa-masa yang telah lewat, baik merupakan tingkah laku maupun merupakan hal ihwal di sekitarnya. Sebagai contoh, ia membandingkan antara jiwa dan badan. Badan kalau tidak diberi makan dalam waktu tertentu akan berkurang beratnya karena mengalami penyusutan, sedangkan jiwa tetap tidak berubah. Dengan demikian jiwa berbeda dengan badan.
4.   Pembuktian tentang manusia terbang di udara, Ibn Sina mengatakan "Andaikata ada seseorang lahir dengan dibekali kekuatan dan jasmani yang sempurna, kemudian ia menutup matanya sehingga ia tidak bisa melihat apa-apa yang di sekelilingnya, kemudian ia diletakkan di udara dan diatur supaya tidak terjadi benturan dengan apa yang ada di sekelilingnya, tanpa ragu-ragu. Pada saat itu orang tersebut akan mengatakan dirinya ada penepatan tentang wujud dirinya tidak timbul dari indera melainkan dari sumber yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu, "jiwa".[18]
Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dari segala apa yang terdapat di baeah bulan, memancar dari akal ke sepuluh. Sebagai Aristoteles Ibn Sina membagi jiwa dalam tiga baagian :
1.   Jiwa tumbuh-tumbuhan (النفس النباتية)
2.   Jiwa binatang (النفس الحيوانية)
3.   Jiwa manusia (النفس الناطقة) dengan dua daya :
      a.   Praktis (العاملة) yang berhubungan dengan badan
      b.   Teoritis (العالمة atau النظرية, theoritical) yang berhubungan dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan-tingkatan;
            i.     Akal materi (العقل الهيولاني, material intelect) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit
            ii.    Intelectus in habitu (العقل بالملكة) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
            iii.  Akal aktuil (العقل بالفعل) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
            iv.   Akal mustafad (العقل المستفاد, acuised intellect) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya; akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengertahuan dari akal aktif (العقل الفعال).[19]
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa (tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia) yang berpengaruh pada dirinya. Jika tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia (النفس الناطقة), yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat pada kesempurnaan.[20] Jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan jika ia berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan, dan jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, karena semasa bersatu dengan badan ia telah dipengaruhi oleh hawa nafsu badan, maka ia akan hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.
  1. Filsafat Kenabian
Pada tingkat intelektual, perlunya wahyu kenabian dibuktikan. Ibn Sina membangun seluruh teori tentang pengalaman intuitif, manusia sangat berbeda-beda berdasarkan kekuatan-kekuatab intuiftif mereka dalam kualitas maupun dalam kuantitasnya dan sementara sebagian orang hampir sama sekali tidak memiliki pengalaman intuitfi itu. Yang lain memilikinya dalam kadar tinggi, sehingga orang yang dikauruniai keluarbiasaan, memiliki hubungan menyeluruh dengan realitas. Wawasan yang menyeluruh, kemudian mewujud dalam tesis-tesis tentang sifat dasar realitas dan tentang sejarah masa depan; dan wawasan inipun bersifat intelektual dan moral spiritual sehingga pengalaman kenabian itu tentu memenuhi kriteria filosofis ataupun moral.
Berdasarkan wawasan kreatif inilah Nabi menciptakan nilai-nilai moral baru dan mempengaruhi sejarah masa mendatang. Komitmen psikologis moral dari wawasan inipun merupakan keyakinan diri yang mendalam tak tergoyahkan dan merupakan keimanan Nabi serta kecakapannya dalam pengetahuan yang benar dan dalam penilaiam moral yang tepat. Wawasan kreatif tentang pengetahuan dan nilai-nilai diistilahkan oleh Ibn Sina dengan akal aktfi dan diidentikkan dengan malaikat pembawa wahyu.[21] Wawasan intektual spiritual merupakan karunia tertinggi yang dimiliki Nabi. Ia tak dapat bertindak kreatif dalam sejarah semata-mata berdasarkan kekuatan wawasan itu. Sifat pembawaan kedudukan yang dijabatnya menghendaki agar seyogyanya menghadap umat manusia berbekal risalah, mempengaruhi mereka dan bennar-benar berhasil misinya. Nabi harus memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahwa kekuatan fisiknya sedimikian kuat ia hingga ia harus mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain melainkan juga seluruh materi pada umumnya, bahwa ia mampu melontarkan suatu sistem politik.[22]
Dengan kualitas imajinasi yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebanaran-kebenaran akal murni dengan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Wahyu-wahyu yang terkadung di dalam kitab suci keagamaan sebagian besar berupa perintah dan keharusan, sehingga perlu ditafsirkan untuk mendapatkan kebenaran yang lebih tertinggi, mendasar dan spiritual. Wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka, maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni.[23] Karena itu Nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi. Hukum (syari'ah) ini mesti demikian rupa sehingga berhasil guna dalam membentuk masyarakat yang baik, harus memperingatkan mereka akan Tuhan pada setiap langkah, dan harus pula menjadikannya sebagai tolak ukur pendidikan bagi mereka dalam rangka membuka mata mereka terhadapp apa yang ada di balik betuk lahiriyahnya, sehingga mereka memahami tujuan-tujuan spriritual sejati dari Sang pembuat hukum.[24]\
Harun Nasution memberikan uraian tentang Falsafah Wahyu dan Nabi dalam Pemikiran Ibn Sina, yaitu; "akal mempunyai empat tingkat dan yang terendah di antranya ialah akal materi atau (العقل الهولاني). Adakalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materil yang besar lagi kuat, yang oleh Ibn Sina diberi nama al-Hads (الحدث) yang intuisi. Daya yang ada pada pada akal materil serupa ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal yang surupa ini mempunyai daya suci (قوة قدسية). Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapay hanya pada Nabi-nabi.[25]\\
  1. Filsafat Wujud
Berkaitan dengan metafisika, Ibn Sina juga membicarakan sifat wujudiyah sebagai yang terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun esensi (ماهية, quiddity) sendiri. Esensi dalam paham Ibn Sina terdapat dalam akal, sedang wujud yang terdapat diliar akal. Wujudlah yang membuat esensi tidak besarnya arti. Oleh sebab itu wujuid lebih penting dari esensi.[26]
Kalau dikombinasikan, esensi wujud dapat mempunyai berikut :
1.    Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibn Sina Mumtani' (ممتنع) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (ممتنع الوجود, impossible being). Contohnya, adanya sekarang ini, juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
2.    Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin (ممكن) yaiyu sesuatu yang mungkin beruwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud (ممكن الوجود, contingent being). Contohnya, alam ini pada mulanya tidak ada, kemudian ada, dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.    Esensi yang tidak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, esensi dan wujud adalah sama dan satu. Esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud,sebagaimana halnya dengan esensi dalam kategori kedua, tetapi esensi yang mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya yang serupa ini disebut mesti berwujud (واجب الوجود, necessary being) yaitu Tuhan. Wajib al-wujud inilah yang mewujudkan mukmin al-wujud.[27]
Dengan demikian, Tuhan adalah unik, dalam arti Dia adalah kemaujudan yang mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan keberadaan Tuhan. Kemaujudan yang mesti itu harus satu. Nyatanya, walaupun di dalam kemaujudan ini tidak boleh terdapat kelipatan sifat-sifat-Nya, tetapi Tuhan memiliki esensi lain, tak ada atribut-atribut lain kecuali bahwa Dia itu ada dan mesti ada. Ini dinyatakan oleh Ibn Sina bahwa esensi Tuhan identik dengan keberadaannya yang mesti itu. Karena Tuhan tidak beresensi, maka Dia mutlah sederhana dan tak dapat didefiniskan.[28]
D.  Kesimpulan
Sebagai akhir dari tulisan ini, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.   Pemikiran Ibnu Sina tentang jiwa adalah satu unsur subtantif dalam diri manusia. Jiwa merupakan sumber hidup dan gerak bagi tubuh, jika memiliki dua daya yakni daya praktis (practical) yang berhubungan dengan badan dan daya teoritis (theoritical) yang berhubungan dengan hal-hal abstrak. Jiwa manusia menjadi sempurna apabila mampu memfungsikan daya teoritis, sebaliknya jiwa manusia yang dipengaruhi oleh hawa nafsu, maka ia tidak sanggup mencapai kesempurnaan dan akan menyesal untuk selama-lamanya.
3.   Pemikiranya tentang wahyu dan Nabi adalah bertitik tolak pada tingkatan akal. Adakalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materil yang besar lagi kuat, yang oleh Ibn Sina mengistilahkan dengan intuisi. Daya yang berada pada akal materil ini dapat berhubungan dengan akal aktif, sehingga dengan mudah menerima cahaya dari Tuhan. Akal serupa ini bersifat suci karena merupakan bentuk akal tertinggi yang diperoleh manusia bentuk akal inilah yang dimiliki Nabi-nabi sebagai pembuat hukum (syari'ah) dan negarawan untuk membentuk masyarakat menjadi baik dan sempurna.
4.   Wujud menurut Ibn Sina memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari esensi. Esensi dan wujud dapat dikombinasikan menjadi tiga bagian, yakni esensi yang tidak dapat mempunyai wujud (impossible being), esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh tidak mempunyai wujud (contingent being), dan esensi mempunyai wujud selama-lamanya (necessary being). Wujud terakhir ini disebut wajib al-wujud (Tuhan) yang merupakan sebab dari segala yang berwujud. Dan untuk memelihara "Keesaan" dari hal-hal yang bersifat materi, maka Ibn Sina menganut paham "emanasi".

DAFTAR PUSTAKA
 Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam. Diterjemahkan oleh Pustaka Firdaus. Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Horrassowitz, Otto. History of Muslim Philosophy. Diterjemahkan oleh M.M. Syarif dengan judul Para Filosof Muslim. Cet. IV; Bandung: Mizan, 1992.

Madkour, Ibrahim. fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiqun. Diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Aswin dan Ahmad Hakim Mudzakkir dengan judul Filsafat Islam; Metode dan Penerapan. Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Cet. VI; Jakarta: UI­-Press, 1994.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Poerwantana dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.




[1]Lihat, Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, diterjemahkan oleh Pustaka Firdaus  (Cet. VIII; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 49.
[2]Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II (Cet. VI; Jakarta: UI­-Press, 1994), h. 50-51.
[3]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 66.
[4]Lihat, ibid., h. 67.
[5]Harun Nasution, op.cit., h. 50. Lihat pula, Ahmad Fuad al-Ahwain, op.cit., h. 90.
[6]Ibid.
[7]Lihat Hasyimsyah Nasution, op.cit., h. 68-69.
[8]Harun Nasution, loc.cit.
[9]Lihat, ibid., h. 51.
[10]Hasyimsyah Nasution, op.cit., h. 68.
[11]Ibid.
[12]Jirm al-Falaq al-Aqsha ialah langit dengan semuaplanetnya, Nafs al-Falaq al-Aqsha ialah jiwa dari langit dengan semuaplanetnya. Lihat, Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h. 148.
[13]Hasyimsyah Nasution, loc.cit.
[14]Lihat Ibrahim Madkour, fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiqun, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Aswin dan Ahmad Hakim Mudzakkir dengan judul Filsafat Islam; Metode dan Penerapan (Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 226-227.
[15]Lihat, ibid., h. 227.
[16]Ibid.
[17]Hasyimsyah Nasution, op.cit., h. 71. Lihat pula Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 126.
[18]Lihat, Hasyimsyam Nasution, ibid., h. 71-72. Bandingkan dengan Ahmad Hanafi, op.cit., h. 126-129 dan Poerwantana, dkk., op. cit., h. 157-161.
[19]Lihat Harun Nasution, op.cit., h. 35-37.
[20]Ibid.
[21]Lihat, Otto Horrassowitz, History of Muslim Philosophy, diterjemahkan oleh M.M. Syarif dengan judul Para Filosof Muslim (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1992), h. 129-130.
[22]Lihat, ibid., h. 130.
[23]Lihat, ibid., h. 131.
[24]Hasyimsayah Nasution, op. cit., h. 76.
[25]Harun Nasution, op.cit., h. 39.
[26]Lihat, ibid.
[27]Ibid., h. 29-30. Lihat pula, Hasyimsyah Nasution, op.cit., h. 69-70.
[28]Ibid., h. 70.

Kaidah ketiga : Kesulitan mendatangkan kemudahan.

Makna kaidah : Kaidah ini mengandung pengertian bahwa ketika mukallaf  mendapati kesulitan dalam menerapkan syariat, maka syariat meringankannya dan mempermudah sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan.
Al-masyaqqah” kesulitan menurut etimologi adalah: kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran. Sebagaimana terdapat dalam surah QS an-nahl ayat 7:

ã@ÏJøtrBur öNà6s9$s)øOr& 4n<Î) 7$s#t/ óO©9 (#qçRqä3s? ÏmŠÉóÎ=»t/ žwÎ) Èd,ϱÎ0 ħàÿRF{$# 4 žcÎ) öNä3­/u Ô$râäts9 ÒOÏm§ ÇÐÈ  
Terjemahnya:
“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Maksud ayat ini adalah bahwa kalian tidak akan sanggup menuju tempat (negeri) itu , kecuali dengan rasa lelah dan sukar. Maka jelaslah yang dimaksud dengan “al-masyaqqah” pada ayat di atas adalah kelelahan, kesukaran (kesulitan). Dengan demikian kesulitan itu bisa menjadikan sebab datangnya kemudahan.
Adapun makna “al-masyaqqah” yang dimaksud dalam kaidah ini : bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subjek hukum), maka syariat meringankannya sesuai dengan ukuran kemampuannya sehingga mukallaf dapat melaksanakannya tanpa harus meninggalkannya.
Al-tai>si>r  menurut bahasa adalah kemudahan dan kelunakan. Sebagaimana hadis nabi yang artinya “sesungguhnya agama itu mudah, dan seseorang itu tidak akan mempersulit dirinya melainkan akan terkalahkan. Maka berlaku luruslah, dekatilah (alquran & sunnah), dan beritakanlah kabar gembira.
Adapun yang dimaksud  dengan kesulitan itu merupakan sebab adanya kemudahan. Yaitu kesulitan yang dihadapi mukallaf dalam melaksanakan hukum syariat. Adapun kesulitan yang mukallaf tidak bisa terlepas dari pembebanannya adalah jihad, hukum rajam bagi pezina, memerangi pemberontak/perusak maka hal-hal seperti itu tidak bisa diringankan. Begitu juga kesulitan dalam melaksanakan wudhu dan mandi ketika cuaca dingin dan kesulitan melaksanakan shalat dalam cuaca panas dan dingin begitu juga shalat subuh, berpuasa di siang yang panas dan pada waktu siang yang panjang, begitu juga kesulitan haji. Kesemua kesulitan ini tidak berpengaruh pada jatuhnya kewajiban ibadah tersebut dan tidak ada keringanan atasnya karena akan menghalangi kemaslahatan ibadah dan kedisiplinan dalam beribadah.-
Sesungguhnya kemudahan itu adalah dihilangkannya kesulitan bagi seorang mukallaf  dalam melaksanakan hukum syariat. Dan tidak semua kesukaran itu mendatangkan sebab adanya kemudahan (keringanan). Karena setiap apa yang dilakukan oleh mukallaf itu dalam kehidupannya sering memiliki kesulitan-kesulitan baik dalam mencari rezki, makanan dll. Allah SWT memberikan kemudahan kepada hambanya dalam artian perbuatan itu sukar lagi untuk dikerjakan. Seperti shalat lima waktu bagi orang yang dalam perjalanan.
Namun terdapat pula Masyaqqah ‘azi>mah (kesulitan yang sangat berat)  dimana sangat sempit untuk dilakukan, dan membuat kesulitan bagi diri dan harta. Keringanan ini wajib dilakukan untuk menjaga  jiwa, dan masyarakat.  Kemaslahatan agama dan dunia lebih utama daripada ancaman dalam keterlambatan mereka dalam beribadah.
Maka hukum yang dilakukan oleh mukallaf yang dapat memberikan kesulitan pada diri dan hartanya atau darurat , yang disebabkan oleh sakit dan miskin diringankan oleh syariat dan menggantinya dengan sesuatu menurut kadar kesanggupan mukallaf, sehingga mereka dapat melaksanakannya sesuai tuntutan agama.
Dalil-dalil yang dapat memberikan keringanan dalam syariat.
Dalil tentang adanya kemudahan ini berdasarkan al-quran, sunnah nabi dan ijma’ sahabat. Disyariatkannya keringanan dalam Islam karena Allah SWT menurunkan hukum-hukumnya itu dengan segala bentuk kemudahan. Dan inilah juga yang menjadikan dasar/pondasi syariat Islam “ apabila sesuatu itu sempit, maka perluaslah/longgarkan, demikian juga apabila sesuatu itu luas/longgar maka sempitkanlah. Kaidah tersebut dikuatkan oleh Syafi’i.
Imam asy-syatibi mengatakan: Bahwa dalil tentang diangkatnya kesukaran pada umat ini mempunyai batas tertentu. Semua yang melampaui batas, maka (hukumnya) akan berbalik kepada kebalikannya sebagaimana yang dikatakan imam al-gazali dalam kitab  ihyanya.
Kaidah kesulitan mendatangkan kemudahan merupakan Kaidah usu>li>yyah dan  Kaidah fiqhi>yyah  yang mempunyai dasar yang jelas  dari al-Qur’an, sunnah, dan ijma.
Adapun dalil tentang kaidah ini berdasarkan al quran. Allah SWT berfirman:

ƒÌãƒ….. ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# ÇÊÑÎÈ…..  
Terjemahnya:
…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu… (al-baqarah 185).
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 ………. ÇËÑÏÈ  
Terjemahnya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… (al-baqarah 286).

$oY­/u …….. Ÿw !$tRõÏ{#xsè? bÎ) !$uZŠÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4 $oY­/u Ÿwur ö@ÏJóss? !$uZøŠn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4 $uZ­/u Ÿwur $oYù=ÏdJysè? $tB Ÿw sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ ( ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö$#ur 4 |MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù n?tã ÏQöqs)ø9$# šúï͍Ïÿ»x6ø9$# ÇËÑÏÈ  
Terjemahnya:
….. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir. (al-baqarah: 286)
Ayat – ayat di atas memberikan pengertian bahwa Allah mensyariatkan kepada hambanya sesuatu yang mudah dan ringan sehingga mukallaf dapat melaksanakan dengan leluasa. Ketika dalam keadaan sempit (tidak luang) menjadi suatu kelonggaran untuk dilakukan. Adapun dalil berdasarkan sunnah nabi : Rasulullah bersabda: “ saya di utus dimuka bumi ini untuk memberikan keringanan dan kemudahan,…barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku maka bukan dari golonganku”. Rasulullah bersabda: “sesungguhnya agama itu mudah, dan seseorang itu tidak akan mempersulit dirinya melainkan akan terkalahkan. Rasulullah bersabda: “sesungguhnya bagi kalian itu diberi kemudahan-kemudahan dan bukan kesulitan”. Rasulullah bersabda: “sesungguhnya Allah memberikan syariat pada agama itu suatu kemudahan/keluasan dan tidak menjadikannya sempit”. Rasulullah bersabda:  “sesunguhnya Allah swt. mengangkat pada diri hambaku kesalahan, kelupaan dan karena paksaan”.
Ibn hajar al asqalany mengatakan, bahwa kemudahan dalam agama itu ada berdasarkan atas agama-agama sebelum Islam. Karena Allah swt. menetapkan terhadap umat ini beban seperti beban umat terdahulu.
Ijma dan para ulama sepakat bahwa tidak bolehnya keringanan dalam urusan yang tidak dikenal di dalam agama, meskipun hal tersebut terjadi untuk mendapatkan pertentangan atau perbedaan di dalam syariat dan hal tersebut dihindari oleh syariat.
Disyariatkannya ruhsah (keringanan) yang mana hal tersebut telah ditetapkan oleh agama seperti mengqasar salat lima waktu dalam perjalan, berbuka bagi yang punya halangan berpuasa, dan semua hal –hal yang haram diberikan keringanan disaat darurat yang demikian itu merupakan keringanan/kemudahan yang diberikan oleh mukallaf dalam melaksankan syariat.
Pengertian Rukhsah :
Rukhsah menurut bahasa:  berarti kemudahan, keringanan atau memindahkan sesuatu yang sukar ke suatu yang lebih mudah/gampang. Ruhsah ini ditujukan kepada mukallaf  (orang yang diberi beban) ketika ragu dalam melaksanakan perintah dan disana ada beban/kesukaran itu, maka Allah swt memberikan rukhsah bagi mukallaf untuk  meninggalkan perbuatan yang dianjurkan. Seperti orang sakit yang dalam bulan ramadhan, diringankan oleh Allah swt. untuk berbuka puasa dan menggantinya dihari lain.
Adapun rukhsah menurut istilah adalah: sesuatu yang berubah dari perkara asal karena adanya halangan berdasarkan dalil syar’i yang kuat.
Rukhsah berbeda dengan azi>mah, azi>mah menurut bahasa berarti suatu ketetapan (keinginan yang kuat),  menurut istilah:  hukum yang ditetapkan berdasarkan hukum syar’i, dalam keadaan tertentu. Atau sesuatu yang pada mulanya ditetapkan (Hukum asal), tanpa adanya sebab pelarangan (pencegahan).
Perbedaan antara keduanya:  rukhsah adalah apa yang sesuai dengan dalil syar’i yang terbebas dari pertentangan dengan yang lebih kuat dan tidak dibolehkan berbuat maksiat . Sedangkan azimah ialah apa yang sesuai dengan dalil syar’i yang terbebas dari pertentangan dengan yang lebih kuat yang dibolehkan melakukannya walaupun dalam keadaan maksiat.
Syariat memberikan rahmat pada mukallaf  dalam melaksanakan hukum syariat dan menggantinya  sesuai ukuran kesanggupannya sebagai keringanan baginya.
Inilah dasar ajaran agama dimana syariat menjadikan orang yang sakit, orang yang dalam perjalanan,  orang yang lupa dan tidak tahu apa-apa,  sebagai bentuk keringanan  untuk melaksanakan sesuatu yang telah diwajibkan oleh Allah swt. Begitu pula shalat dan puasa diberikan keringanan oleh orang yang mendapati halangan untuk itu, demikian juga syariat tidak mewajibkan shalat jumat bagi mereka yang sakit dan dalam perjalanan jauh. Disyariatkannya shalat qasar bagi para musafir. Disunnatkannya shalat duduk dan baring bagi orang yang tidak sanggup berdiri dan duduk .
Bentuk-bentuk keringan dalan syariat itu banyak, mencakup masalah ibadah, muamalat bahkan dalam, masalah perkara-perkara. Dan semua yang berkaitan dengannya. Sebagaimana yang dikatakan imam suyuti bahwa semua yang tertera di atas memiliki keringanan-keringanan untuk menjalananinya.
Pensyariatan ruhsah bagi mukallaf yang mempunyai halangan-halangan baik yang timbul dari semula atau selainnya (halangan yang datang belakangan)
Pertama
v  Awa>rid Samawiyah
yang menjadikan sebab diringankannya.
Yaitu : anak-anak, orang tidak waras, pikun, lupa,  tidur, al-igma> {(orang yang tidur panjang), orang sakit, orang mati, haid, nifas.
1.      Anak anak menjadikan sebab adanya tahfif (keringanan), jatuh baginya apa yang telah ditetapkan karena akal adalah syarat diwajibkannya suatu kewajiban, sementara anak-anak belum berakal sehat.
2.      Demikian juga penyakit pikun.
3.       Sama halnya sifat lupa Allah swt. memberi kemaafan atas itu. Yang menjadikan orang lupa tidak berdosa, karena kelupaannya.
4.       Demikian juga ketika dalam keadaan tidur, yang dimana mereka tidak mampu melakukan apapun namun tidak menghalangi kewajibannya. Kecuali tidur yang panjang maka tidak diwajibkan mengganti jika tidurnya berlanjut sehari semalam.
5.      Orang yang dalam keadaan sakit dianjurkan beribadah sesuai kemampuaanya.
6.      Wanita yang haid dan nifas keduanya tidak dibebani kewajiban salat karena mempunyai halangan yaitu haid dan nifas.
7.      Orang yang mati terputuslah semua beban hukumnya didunia.
Kedua
v  Awarid Muktasabah.
Awarid muktasabah (halangan yang diperoleh). Seperti orang yang bodoh atau tidak tahu dalam keadaan perang sehingga tidak berpindah, maka tidak diwajibkan untuk mereka yang tidak tahu dalam hal itu. Dan akan menjadi wajib kembali ketika mereka sudah tahu dan mengerti.
PEMBAGIAN KAIDAH :
KESULITAN MENDATANGKAN KEMUDAHAN
1.      Tidak wajibnya mengqada’ shalat bagi orang haid, berbeda dengan puasa.
2.      Disyariatkannya jual-beli, untuk jula-beli yang menyebutkan sifat barangnya. Dan larangan jual-beli yang tidak diketahui.
3.      Disyariatkannya talaq bagi mereka yang sudah tidak bisa bersama lagi, demikian juga disyariatkannya khulu’ dan rujuk sesuai pada masa iddahnya.
4.      Disyariatkannya memilih antar kaffarah dan diyat, sebagai bentuk kemudahan bagi pelaku kriminal dan yang dikriminali. Sebagaimana disyariatkan atas nabi musa qisas dan bukan diyat. Dan disyariatkan kepada nabi isa diyat dan qisas.
5.      Tidak berdosanya seorang mujtahid ketika berijtihad karena kesalahannya sebagai bentuk kemudahan bagi mujtahid dalam perkiraannya.
6.      Tidak adanya kewajiban bagi anak-anak dan orang gila, begitu juga tidak diwajibkannya perempuan terhadapat\ semua hal yang diwajibkan atas laki-laki. Seperti shalat berjamaah, shalat jumat, jihad dan jizya, dan dibolehkannya memakai sutra dan emas bagi mereka (perempuan).
Kaidah pokok ini kemudian berkembang dan melahirkan kaidah-kaidah furu’ yang terbagi dalam beberapa bagian:
1.    Ketika suatu perkara telah menyempit, maka longgarkanlah, dan ketika perkara itu longgar/luas, maka sempitkanlah.
Kaidah ini dimaksudkan, apabila ada sesuatu halangan dalam suatu perkara, maka longgarkanlah dan permudahlah. Dan apabila halanganya itu telah hilang maka kembalikan perkara itu sesuai dengan hukum asalnya. Maksudnya adanya darurat pada seseorang ataupun kelompok, maka dianjurkan untuk meringankan/melonggarkan perkara itu, sampai halangan itu hilang dan hukum itu kembali seperti semulanya. Demikian sebaliknya apabila sesuatu perkara itu longgar/mudah. Maka persempitlah. Inilah yang dimaksud dengan kaidah apabila perkara itu luas maka persempitlah.

Dalil Kaidah
Allah swt memberikan keringan bagi mukallaf yang dalam keadaan takut, maka dibolehkan bagi mereka untuk  mengqasar shalat dan menggantinya diwaktu lain, Firman Allah

#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿtƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4………. ¨ÇÊÉÊÈ  
Terjemahnya:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Qs Annisa: ayat 113.
Sebagaimana juga dalil berdasarkan sunnah nabi, rasulullah saw. telah melarang membagi hewan kurban itu diatas 1/3 bagian. Tatkala sesuatu perkara itu sempit ketika mendahulukan kaum fakir yang berada dikota, dan ketika perkara itu melonggar maka kembalilah hukum perkara hewan kurban itu seperti semula,  maka dibolehkan bagi mereka memanfaatkan hewan kurbannya sebagaimana sebelumnya.
Bagian – bagian Kaidah:
1.      Bolehnya melawan pencuri dan orang yang salim agar tidak menyebarkan kejahatannya walaupun dengan membunuhnya.
2.      Bolehnya menghindari kesulitan kepada yang meringankan
3.      Bolehnya meminta kesaksian muzakki> dan Muhaddis\ dalam hal periwayatan.
4.      Diterimanya kesaksian atas kelahiran anak untuk menjaga keturunan.
5.      Bolehnya diterima kesaksian seorang wanita dan anak-anak dalam memilih pemimpin dan pada tempat-tempat yang tidak didatangi seorang laki-laki untuk memenuhi hak-haknya.
2.     Kemudaratan – kemudaratan membolehkan hal –hal yang dilarang 
          Kemudaratan menurut bahasa terambil dari kata id}tira>r yang artinya ||kesukaran yaitu kebutuhan yang mendesak. Adapun mahz}u>ra>t jamak mahz}u>r  yaitu perbuatan yang dilarang untuk dilakukan.
            Oleh karena itu  apapun yang membawa kepada kemudaratan yang membolehkan hal-hal yang dilarang, mesti dilakukan sesuai kadar terangkatnya kemudaratan. Jika seseorang menghilangkan kesukarannya dengan sesuatu yang dilarang maka tidak boleh meluaskan keharamannya bahkan menguranginya sesuai kadar/ukuran terangkatnya kemudaratan tersebut, sebagaimana kaidah yang berbunyi kemudaratan diukur sesuai kadar kemudaratannya.

            Dalil Kaidah

ôs%ur…… Ÿ@¢Ásù Nä3s9 $¨B tP§ym öNä3øn=tæ žwÎ) $tB óOè?ö̍äÜôÊ$# Ïmøs9Î) ……3 ÇÊÊÒÈ  

Terjemahnya:
…Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya ……. (al-ana>m : 119)
Ayat di atas merupakan landasan kaidah usu>li>yyah  dan  kaidah fiqhi>yyah yang berkaitan dengan keringanan dalam syariat. Rukhsah/Keringanan ada tiga macam:
1.      Bolehnya hal-hal yang dilarang Allah swt. disaat darurat. Seperti makan bangkai disaat darurat sesuai kadarnya untuk mencegah kebinasaan disaat kelaparan, makan daging babi dan lain-lain.
Hal-hal yang haram tersebut dibolehkan disaat darurat sebagaimana firman Allah swt. “kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” maksudya kelaparan yang menyebabkan kalian memakannya, dan pengecualian dari keharaman tersebut dibolehkan.
2.      Rukhsah yang tidak jatuh keharamannya dalam keadaan apapun. Maksudnya perbuatan tersebut tetap haram akan tetapi keringanannya datang belakangan karena dalam keadaan darurat. Contohnya mengatakan kata-kata kafir padahal hatinya beriman karena berada dalam paksaan.
3.      Perbuatan yang tidak dibolehkan dalam keadaan apapun dan tidak ada keringanan atasnya. Contonya membunuh orang muslim. Perbuatan ini tidak dibolehkan dan tidak terangkat dosanya walaupun dalam keadaan terpaksa.
Oleh karena itu kemudaratan pada jenis yang pertama, hukum perbuatanya hilang akan tetapi d}ama>nnya tetap meskipun kemudaratan dengan memakan harta orang lain. Pada jenis yang kedua, kemudaratan menghilangkan dosa namun sifat perbuatan dan d}ama>nnya tetap. Jenis yang ketiga, tidak hilang perbuatan dosa, sifat dan d}ama>nnya.
Kaidah ad}}d}aru>ra>h tubi>hul mahz\u>ra>t (kemudaratan membolehkan hal-hal yang dilarang) tidak mencakup jenis yang ketiga karena tidak dibolehkannya rukhsah dalam keadaan apapun sehingga jenis yang ketiga ini merupakan pengecualian dari kaedah ini.
Bagian – Bagian Kaidah :
1.      Pemilik utang mengambil harta dari orang yang diberi pinjaman utang tanpa sepengetahuannya karena tidak mau melunasi pinjamannya.
2.      Mengucapkan kalimat kufur karena terpaksa sementara hatinya beriman.
3.      Jika sesuatu yang haram menjadi mayoritas dimana tidak terdapat harta yang  halal maka dibolehkan sesuai kadarnya.
4.      Jika kalian terpaksa membunuh atau berzina maka hal tersebut tidak boleh dikerjakan karena akan menambah kerusakan yang lainnya.
5.      Darah orang yang mati syahid bersih oleh karena itu tidak dimandikan.

6.      Bolehnya shalat jumat dilakukan berulang karena sulitnya bertemu dalam satu tempat. Akan tetapi kebolehan tersebut diukur sesuai kadar yang bisa menghilangkan kesulitan tersebut. Jika kesulitan tersebut bisa terselesaikan dengan dua kali jumat maka jangan menggenapkan menjadi tiga jumat.