Pasal ke-18
Kaidah-Kaidah
Umum Dalam Syariat
Kita telah
mengetahui bahwa falsafah al-tasyri>‘ adalah prinsip-prinsip dasar yang
besar, yang dengannya berdiri kaidah-kaidah yang lengkap menyeluruh dan
hukum-hukumnya yang terperinci atau yang bercabang. Falsafah adalah undang-undang
atau peraturan, yaitu sumber-sumber air yang keluar dari dalamnya anak-anak
sungai sebelum bercabang-cabang menjadi selokan-selokan yang kecil yang sampai
ke tiap daerah dan pergi ke tiap area.
Ketika
kita telah mengenal dasar-dasar yang global ini, pengenalan ini tidak sempurna
kecuali bila kita telah mendapatkan dampaknya dalam hukum-hukum syariat, dan
menjadi jelas bagi kita bahwa dasar-dasar ini nyata telah berdiri di atas
bangunannya. maka tidak ada alternatif lain menghadirkan sebagian hukum-hukum
atau kaidah-kaidah umum dalam syariat, dengan asumsi bahwa kaidah-kaidah ini
adalah induk dari pokok-pokok dalam syariat, dan kita dapat mendapatkan bagian
yang baik dari beberapa kaidah ini, karena sudah populer di sisi para ahli
fikih Islam, mereka telah memformulasikan, kemudian menulisnya, dan
menjadikannya buku-buku yang besar.
Para fuqaha
telah mendefinisikan kaidah-kaidah yang umum yaitu (hukum yang lengkap
menyeluruh yang sejalan dengan seluruh bagian-bagiannya). (Qa>‘idah)
menghimpun semua cabang-cabang dari bab-bab yang beragam. (D{a>bit)
menghimpun semua cabang-cabang dari satu bab.
Syaikh ‘Abd
Wahha>b Khalla>f mengatakan:
Sesungguhnya
teks-teks syariat yang telah mengatur hukum-hukum pada cabang-cabang
undang-undang yang beragam seperti peraturan sipil, hukum pidana, ekonomi, dan
konstitusi, telah sempurna dengan hadirnya nas-nas yang telah menetapkan landasan-landasan
umum dan aturan-aturan syariat yang global, yang tidak mengkhususkan satu
cabang undang-undang dari yang lainnya. Agar landasan-landasan umum dan
aturan-aturan syariat yang global ini menjadi petunjuk bagi para mujtahid dalam syariat, dan pelita
dibawa cahayanya mereka merealisasikan keadilan dan kemaslahatan umat manusia.
Selanjutnya
beliau mengatakan:
Di antaranya
ada teks-teks syariat yang menetapkan landasan-landasan umum dan undang-undang
yang global yang dijadikan panduan dalam membuat undang-undang. diantaranya ada
teks-teks syariat yang menetapkan hukum-hukum pokok pada cabang-cabang
undang-undang saintisme yang variatif. Di antaranya pula, al-Qur’an memberikan
batasan pada hal-hal yang pokok pada tiap undang-undang, dan beragam metode
memahami teks-teks tersebut dalam menghasilkan hukum-hukum, dan membuka pintu
dijadikannya dasar-dasar menganalogikan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur’an
terhadap apa yang ada dalam al-Qur’an, yang memperjelas bahwa teks-teks al-Qur’an
syariatnya lapang/luas dan elastisitas., dan bahwa teks-teks al-Qur’an adalah kompilasi
syariat yeng mencakup dasar-dasar dan landasan-landasan umum yang membantu
pembuat hukum, mewujudkan keadilan dan kemaslahatan di tiap zaman dan tidak ada
eksepsi dari undang-undang lain dalam mewujudkan kemaslahatan manusia.
Pertama,
kaidah-kaidah pokok dalam ibadah, akhlak dan muamalah
1.
Pendapatan
seseorang sesuai dengan usahanya, dan usanya tersebut dia akan melihatnya dan
mendapatkan balasannya yang setimpal.
Umat
manusia meraih sesuai dengan perbuatannya, bukan kebangsawanan dan kekayaannya,
bukan kedudukannya, bukan kekuasaannya, bahkan bukan perjuangan sebelumnya,
sebab amal baik tidak membolehkan sesorang menggandengkan dengan amal buruk.
(Mereka
mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.
Mudah-mudahan Allah menerima Taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang)
Setiap
perbuatan ada perhitungannya, ada pahala, ada balasannya. Kebaikan bagi manusia
digandakan pahalanya, tetapi amal buruk yang datang setelahnya tidak dibiarkan
tanpa balasan. (Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, Maka
baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang
datang dengan (membawa) kejahatan, Maka tidaklah diberi pembalasan kepada
orang-orang yang Telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan
apa yang dahulu mereka kerjakan).
2.
Seseorang tidak
menanggung dosa orang lain.
Seseorang
menaggung balasan perbuatannya, pahala perbuatannya diberikan kepadanya,
hukuman perbuatannya untuknya, ganjaran perbuatan tidak akan melampauhi selain
pelakunya, seorang bapak tidak dibalas karena kesalahan anaknya, seorang anak
tidak dihisab karena kesalahan bapaknya, seorang istri tidak dihukum karena
pidana suaminya, seorang suami tidak dihukum karena pidana istrinya, (tiap-tiap
manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.)
(Tiap-tiap
orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya),
Ibrahim
seorang nabi, ayahnya seorang musyrik. Nuh orang saleh, anaknya tidak saleh.
Firaun melampauhi batas di bumi dan banyak melakukan kerusakan, dan istrinya
termasuk orang yang beriman.
3.
Allah tidak
membebani seseorang diluar kemampuannya
Beban
yang diwajibkan kepada manusia bukan bertujuan membinasakan, bukan merekam
kelemahan mereka, bukan memberatkan, sehingga agama menjadi testing,
akidah sebagai bencana, tapi beban tersebut dimaksudkan membahagiakan mereka,
mengokohkan kaki mereka di atas jalan kebaikan, dan menuntun mereka berkembang
dan maju, mencintai kemuliaan dan menjelekkkan yang hina di sisi mereka.
Rasulullah saw. Bersabda:
(Amalan
yang paling disenangi Allah swt. adalah yang rutin walaupun sedikit) dan sabda
Beliau (sesungguhnya orang yang menanam tidak ada tanah yang terputus dan
tidak ada permukaan yang lebih kekal). Dan firman Allah swt. (Allah
menghendaki kemudahan kepada kalian dan tidak menginginkan kesusahan) kemudian
Rasulullah saw. bersabda (Lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian)(Apa
yang saya larang hindarilah, dan apa yang saya perintahkan lakukanlah sesuai
dengan kemampuan kalian).
4.
Tidak
memudaratkan dan tidak dimudaratkan
Berkata
Syaikh ‘Abdul Azi>z Ja>wi>si, di antara landasan Islam adalah tidak
membahayakan dan tidak mendatangkan bahaya,
seorang muslim tidak boleh melakukan sesuatu yangg membahayakan dirinya,
kehormatan, dan hartanya. Sebagaimana tidak boleh membahayakan orang lain,
termasuk di dalamnya membebani raga dengan hal yang tidak mampu,mabuk-mabukkan,
perjudian, menyakiti orang lain dengan berbagai macam gangguan sebagaimana yang
dikenal masyarakat dimana ia berada, seperti membunuh jiwa, mencuri, menyogok, menipu,
menggosip, menggelapkan, saksi palsu, dst.
Dan
mungkin anda telah membaca apa yang telah ditetapkan para ulama kebolehan
meninggalkan salat jumat karena banyak sebab, di antaranya, orang yang bau
busuk mulutnya, atau bau bawang putih atau bawang merah, atau memiliki penyakit
menular seperti kusta, lepra, dan semacamnya segala yang membahayakan, atau
yang dibenci orang yang shalat.
Imam Syaikh
Muh}ammad ‘Abduh berkata:
Melakukan
shalat jumat wajib, kecuali bila banyak lumpur atau hujan deras, atau ada hal
yang membuat kepayahan atau kesusahan yang meggugurkan kewajiban tersebut.
Begitulah anda mendapatkan kaidah yang mencakup keselamatan badan
dipriorotaskan daripada keselamatan agama, sehingga anda menjumpai agama dalam
hukum-hukumnya menjaga keselamatan raga sebagaimana mewajibkan menjaga
keselamatan jiwa.
Dari
Kaidah yang umum ini memiliki cabang yang langsung datang setelahnya yaitu (sesungguhnya
Allah senang bila keringanannya diambil sebagaimana senangnya bila kewajiban
dilakukan) dan (siapa yang tidak mengambil keringanan kami, maka bukan
golongan kami).
Kemudahan
yang diwajibkan agama terhadap orang mukmin bukanlah keistimewaan seseorang
untuk mengambil atau tidak, tapi kemudahan itu adalah bagian dari kewajiban
yang melengkapinya, dan ibadah tidak tegak tanpa kemudahan, kemudahan itu
bagaikan makanan yang lezat yang diwajibkan kepada orang sakit bersamaan dengan
obat yang pahit, kesembuhan yang sempurna tidak akan terwujud kecuali dengan
makanan lezat dan obat.
5.
Hukum asal segala
sesuatu adalah boleh
Sesungguhnya
yang halal itu apa yang telah dihalalkan oleh Allah swt. dan yang haram apa
yang telah diharamkan Allah swt. dan apa yang didiamkan adalah ampunan.
Tiap
syarat, perjanjian, dan interaksi yang didiamkan, tidak boleh dikatakan haram,
karena sesungguhnya pendiaman itu adalah rahmat sunnah tanpa kelupaan dan pembiaran.
Allah swt. berfirman (Katakanlah
tidakkah kalian memperhatikan apa yang telah diturunkan Allah swt kepada kalian
berupa rezki, kemudian di antaranya kalian jadikan haram dan halal, katakanlah
apakah Allah telah mengizinkan kalian ataukah kalian mengatasnamakan Allah).
(Katakanlah siapa yang
mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk hambanya dan rezki
yang baik-baik)
Yang
dimaksud membolehkan sesuatu adalah mempergunakannya, untuk makan, minum, pakaian,
pengobatan, kendaraan. Menghalalkan dan mengharamkan adalah salah satu hak Allah
semata.Pengharaman tidak boleh kecuali melalui teks al-Qur'an,dan teks yang
datang dalam konteks ini haruslah qat’i> dan untuk membebani.
Di sini
Sayyid Rasyi>d mengatakan: sesungguhnya semua hukum agama berupa keyakinan, ibadah,
halal dan haram yang tidak ada dalil teksnya secara jelas dan tidak ada sunnah
perbuatannya di zaman Nabi saw., maka itu bukanlah dari agama yang menjadi
alasan bagi Allah terhadap orang-orang yang telah sampai dakwah rasul
kepadanya, yang dituntut di dunia dan ditanyakan di akhirat
6.
Interpretasi hukum
sesuai dengan perubahan waktu dan tempat
Ibn Khaldu>n
berkata: sesungguhnya keadaan dunia dan bangsa-bangsa dan kebiasaan baik
mereka dan keyakinan mereka,tidak
selamanya di atas cara yang satu dan metode yang permanen. Tetapi sesungguhnya
terjadi perbedaan seiring pergantian hari dan waktu, dan perubahan dari keadaan
ke keadaan yang lain. Sebagimana hal itu terjadi pada tiap orang, waktu, dan
daerah, juga terjadi pada tiap willayah, distrik, zaman dan negara. aturan Allah
yang telah terjadi pada hambanya.
Ibn Qayyim
berkata: (Perubahan fatwa dan perbedaannya sesuai perubahan zaman, tempat, keadaan,
niat,dan kebiasaan baik)
Dan
konsekuensi dari kaidah ini adalah seorang legislator, hakim dan qadi
sepatutnya memilih kemaslahatan yang dibangun di atas hukum-hukum syariat,
kemudian bila kemaslahatan adalah illah/sebab dan landasan hukumnya, seharusnya
juga memperhatikan kaidah yang lain, yakni
jika sebab hukum tersebut tidak ada lagi atau berubah maka hukum yang dibangun
di atasnya harus gugur juga atau berubah. karenanya dalam kaidah usul
dikatakan:sesungguhnya hukum syariat yang dibangun di atas sebab, keberadaan
hukum itu sesuai dengan ada atau tidaknya sebab tersebut.
Al-Maula
al-‘Ala>ni> berkata: hukum syariat itu dibangun di atas illahnya, bila
illahnya selesai, selesai juga hukumnya.
7.
Mendahulukan
akal di atas syara, yang z{a>hir saat kontradiktif
Al-Syaikh
‘Abdul al-‘Azi>z Ja>wi>si menyampaikan dalam kitabnya (Islam adalah
agama fitrah dan kebebasan) tentang makalah Islam dan Nasrani:
Pemeluk
agama Islam telah sepakat kecuali sedikit di antaranya yang tidak perlu dipedulikan,
bahwa bila akal dan nas kontradiktif, petunjuk akallah yang diambil, sementara nas
ada dua metode: metode validitas manqu>l dengan pengakuan ketidakmampuan
memahaminya, urusan pemahamannya diserahkan kepada Allah. metode kedua
menginterpretasi teks dengan tetap menjaga tata bahasa sampai maknanya
menyerupai pemahaman akal. Landasan seperti inilah pendirian al-Qur'an, sunnah
yang benar dan perbuatan Rasulullah saw. yang kesemuanya di depan akal ada
jalan, hukuman–hukuman di depannya dapat dihilangkan, dan melapangkan seperti
ruang yang tiada batas.
Al-Imam
Najmuddi>n al-Tu>fi> berpendapat bahwa jika maslahah berbenturan
dengan teks dan konsensus ulama maka perlindungan kemaslahatan harus
dikedepankan daripada teks dan konsensus ulama dengan metode al-takhs}i>s}
dan al-baya>n. Sayyid Rasyi>d Rid}a> mengatakan tidaklah
(metode al-Tu>fi>) sama dengan al-mas}a>lih} al-mursalah
sebagaimana pemahaman Malik, tapi (metode al-Tu>fi>) lebih kuat daripada
itu, yaitu interpretasi terhadap teks dan ijmak dalam masalah ibadah dan hiphotesis,
dan pertimbangan kebaikan dalam bermuamalah, dan hukum-hukum yang lain. Karena kemaslahatan
stategi mukallaf berkaitan dengan hak-hak mereka dapat mengetahui dengan hukum
adat dan akal. Sehingga jika kita memandang syariat tidak membawa faidah, maka
sesungguhnya kita telah mengetahui syariat mendapatkan pemeliharaannya.
al-Tu>fi>
telah menjelaskan kaidah ini kaitannya dengan muamalah: adapun muamalah dan
semacamnya seperti jual beli ada maslahatnya bagi manusia sebagaimana
dikeketahui. Maslahah dan dalil-dalil syariat yang lain bisa sepakat atau berbeda,
kalau keduanya sepakat maka itu baik, sebagaimana sepakatnya teks, ijmak dan
maslahah dalam menetapkan hukum-hukum umum yang lima dan jika keduanya berbeda,
bila memungkinkan digabungkan, digabungkan keduanya seperti sebagian
dalil-dalil diarahkan pada sebagian hukum dan situasi tanpa pengurangan, dengan
maksud tidak hampa dari maslahah dan tidak mengantarkan mempermainkan semua
dalil atau sebagiannya, jika keduanya tidak memungkinkan digabungkan ,maka
maslahat diutamakan dari yang lainnya karena sabda Rasulullah saw. (tidak
bermudarat dan tidak memudaratkan )
Dan itu
khusus dalam menafikan kemudaratan yang pasti untuk mempertahankan
kemaslahatan,mendahulukan hukumnya wajib, karena maslahat itu adalah tujuan
dalam mengatur mukallaf dengan menetapkan hukum-hukum, dan dalil yang lain
hanyalah sebagai sarana, dan tujuan lebih diutamakan daripada sarana.
Dan
bahwa kaidah umum yang fundamental yang dianggap mutiara agama adalah (tidak
ada paksaan dalam agama) maka jika Islam hadir dalam persamaan semua manusia,
dan tiada yang utama di antara mereka kecuali dengan amal, dan seseorang tidak
akan ditanyai kecuali perbuatannya sendiri, maka kesemuanya harus sempurna
dalam bingkai kebebasan yang sempurna bagi manusia.
8.
Kesalahan
pemimpin dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan memberi hukuman
Maksudnya
jelas,melepaskan orang berdosa lebih daik dari menghukum orang yang tak
berdosa.
Kedua: Kaidah-kaidah umum dalam interaksi
dan muamalah
Kaidah
pertama dari kaidah ini adalah (kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan)
Yaitu
apabila hukum syara menimbulkan kesusahan,dan mukallaf tidak mampu memikulnya,
wajib diringankan beban tersebut, kesulitan itu mencakup keterpaksaan dan
kebutuhan
Keterpaksaan
adalah apa saja yang dijadikan seseorang dalam menjaga agamanya, jiwanya,
hartanya, akalnya atau keturunannya dari kebinasaan.
Kebutuhan
adalah apa yang harus ada dalam kebaikan kehidupan bukan tertier yang sifatnya
hiasan dan keindahan.
Dan
pegangan kaidah ini telah datang dalam al-Qur'an (Allah tidak menjadikan dalam
agama ini kesulitan)(maka barangsiapa yang terpaksa tanpa melampaui batas dan
berlebihan maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang).dan
diriwayatkan dari Aisyah ra. (tidak pernah Rasulullah memilih dua pilihan pasti
memilih yang paling gampang diantara keduanya selama bukan dosa). Penerapan
kaidah ini ada dalam sabda Rasulullah saw. (jangan memotong tangan dalam
perjalanan) berdasarkan hadis ini fuqaha memfatwakan tidak menjatuhkan hukuman di wilayah musuh atau saat dalam pertempuran
agar orang Islam tidak lari ke pasukan musuh.
Kaidah yang kedua: Darurat itu
membolehkan hal-hal yang dilarang.
Kaidah
ini lebih dekat ke kaidah sebelumnya: keterpaksaaan dan kebutuhan keduanya
landasan kedua kaidah ini, karena kaidah ini merupakan pengecualian dari sumber
yang umum yang mengharankan konsumsi hal-hal yang haram atau melakukannya
sehingga ada pembatasan terhadap pengecualian ini kaidah yang lain (apa yang
boleh karena kesulitan, batal/tidak dibolehkan lagi dengan hilangnya kesulitan
tersebut)(apabila penghalang telah hilang, kembali menjadi terlarang) (keterpaksaan
ukurannya diditentukan menurut kadar kedaruratannya)(keterpaksaan tidak
membatalkan hak orang lain) dalam kaidah yang lain redaksinya (sebab itu
seiring dengan akibat ada atau tidak adanya)
Dan
penerapan kaidah ini, dibolehkan konsumsi khamar bagi orang sakit dan orang
kehausan, dan bangkai dan daging babi bagi orang yang kelaparan.
Tapi
yang takut mati atau binasa sehingga ia minum khamar orang lain atau makan
daging babi orang lain wajib mengganti harga yang telah ia minum atau makan
kepada pemiliknya.
Walaupun
Malik dan Ibn Hanbal keduanya tidak mengharuskan orang yang terpaksa
menggunakan barang orang lain dengan mengganti harganya, karena adanya kaidah
wajib menyetarakan dan menghidupkan jiwa selama mampu.
Kaidah yang ketiga: Apabila ada dua
kemudaratan bertentangan, pilih yang lebih ringan mudaratnya.
Dan
penerapan kaidah ini adalah: dilaksanakan kemudaratan yang khusus untuk menolak
kemudaratan yang umum.
Kaidah yang keempat: Hukum segala perkara itu sesuatu sesuai dengan
maksud dan niatnya.
Dan
sandaran kidah ini (sahnya amal perbuatan itu sesuai dengan niatnya, dan setiap
orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatinya)
Dan
praktek kaidah ini, apabila niat perbuatan berbeda dengan perbuatannya, yang
menjadi patokan adalah niatnya jika bisa dijelaskan dan ditampakkan, dan bila
terjadi perbedaan lafaz kalimat dari maksudnya, maka yang diambil adalah
maksudnya. Dalam konteks ini ulama
menetapkan (yang diperhitungkan adalah tujuan dan makna bukan kata-kata dan
bentuknya)
Kaidah yang kelima: Menetapkan suatu
hukum sesuai dengan yang nampak
Jika
niat perbuatan seorang pelaku tidak dapat diketahui, maka hukumnya disesuaikan
dengan apa yang nampak.
Pada
kaidah ini Ust. Farid Wajdi mengatakan: sebagian sahabat Rasulullah saw. dalam
peperangan membunuh orang yang menyatakan Islam, ketika hal itu sampai kepada Rasulullah,
beliau sangat marah dan mengatakan (ya Allah saya berlepas diri kepadamu dari
apa yang dilakukan fulan) sahabatnya menjawab, wahai Rasulullah, sesungguhnya
ucapann yaitu adalah tipuan. Rasulullah menjawab (walaupun begitu karena kita
diperintahkan mengambil yang nampak.)
Mengambil
yang zahir adalah prinsip, yang pertama menjadikan sebagai sumber dari sumber-sumber
syariat dan asas dari asas-asas muamalah adalah Islam. Rasulullah pernah
tinggal bersama kaum dari golongan orang munafik yang berselimut dengan Islam dan
menyembunyikan kekufurannya, menunggu dalam lingkaran kaum muslimin, membawa
berita keadaan kaum muslimin kepada orang-orang kafir, mereka keluar bersama
mu’minun berperang sehingga terkalahkan, dan musuh mengikutinya dan
menghancurkannya, dan Nabi tetap menghormati keimanan luar mereka.
Kaidah yang keenam: Hukum asal dari
suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya.
Apabila
perkataan itu menunjukkan arti hakikat dan arti kiasan, maka arti secara
hakikat lebih didahulukan daripada arti kiasan. Kalau tidak bisa secara hakikat
maka mengamalkan arti secara kiasan. Kalau tidak bisa juga maka diabaikan saja.
Kaidah ini memiliki cabang (mengamalkan suatu kalimat lebih utama daripada
mengabaikannya) dalam artian bahwa jika
dalam interaksi ada kalimat atau statmen
maka harus dimunculkan artinya dan mengetahui maksudnya. Jika jelas bahwa
perkataan tersebut hanyalah permainan, tidak bermakna, sekedar bunyi, maka diabaikan.
(Tapi
apa yang dimaksud hakikat?) ada kaidah yang menjelaskan hakikat ini, yaitu (bahwa
hakikat itu ditinggalkan karena penjelasan adat) yaitu jika dalam suatu ucapan
maka arti kiasan lebih kuat dari arti hakikatnya, maka yang jadi patokan arti
kiasannya.
Kaidah ketujuh: Orang yang diam tidak
bisa disandarkan suatu ucapan, tapi diamnya ketika dibutuhkan merupakan
penjelasan.
Pada
dasarnya tiap perkataan itu harus jelas dan difahami, tapi terkadang maksud
suatu perkataan terselubung, karenanya perkataan itu memiliki dua makna yaitu
petunjuk lafaz atau ucapan dan petunjuk arti atau pemahaman. Tapi bisa saja
seseorang tidak mengucapkan satu katapun. Ketika demikian, tidak dapat
dikatakan mengucapkan sesuatu, kecuali bila kondisi seseorang membutuhkan
penjelasan menerima atau menolak dan tidak ada makna ketiga, sebagai contoh
jika ia menitip sesuatu pada seseorang dan ia diam, maka diamnya berarti ia
menerimanya.
Kaidah yang kedelapan: Ucapan yang
bebas tetap tidak terikat selama tidak ada dalil yang mengikatnya, baik teks
maupun maksudnya.
Perkataan
yang bebas tidak bisa diikat kecuali bila ada indikator yang menerangkan bahwa
orang yang berbicara ingin kalau ucapannnya diikat secara gamblang ataupun
mencakup didalamnya.maka dasar tiap statemen bermakna bebas dan tak terikat.
Kaidah kesembilan: Perkataan yang
terakhir sesuai dengan perkataan pertama, dan yang pertama sesuai dengan yang
terakhir.
Walaupun
pembicaraan itu panjang dalam suatu kasus, namun tidak dapat dipisah-pisahkan,
yang pertama sesuai dengan yang terakhir, atau menilainya secara keseluruhan.
Kaidah yang kesepuluh: Menjelaskan sesuatu
yang ada di depan mata adalah perbuatan yang
sia-sia, dan menjelaskan sesuatu yang tidak ada di depan mata itulah penjelasan
yang berarti.
Seperti
bila seorang penjual menerangkan barang dagangannya di depan pembeli yang sudah melihatnya, penjelasannya itu
bukan pembenaran karena pembeli sudah melihatnya, pembeli tidak butuh lagi orang
menjelaskannya. Adapun bila barang dagangan itu tidak ada di tempat, maka
penjelasan penjual diperlukan, bila terbukti
penjelasan penjual tidak sesuai dengan barangnya, maka interaksinya belum jadi, dengan kata lain
pembeli memiliki hak memilih untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi.
Kaidah-kaidah
ini walaupun sifatnya umum, namun juga mencakup perjanjian dan muamalah, dan sebagiannya
melampaui akad seperti, kesulitan itu mendatangkan kemudahan, Kemudaratan itu
membolehkan hal-hal yang dilarang, disamping kaidah-kaidah umum ini, juga ada
kaidah-kaidah umum semacamnya yang lebih luas cakupannya, karena kaidah
tersebut juga meletakkan peraturan akhlak,muamalah dan ibadah
Ketiga: Kaidah-kaidah
umum dalam penetapan dan pengukuhan
Penetapan
dan pengukuhan adalah metode menjaga hak milik. Dan mengembalikan dari orang
yang ingkar dan merampas, dan menolak pengakuan orang yang mengada-ada dan
mengaku-ngaku. Karenanya kaidah-kaidah tersebut penting dan diwaspadai,
sebagaimana urgensi dan kewaspadaan
terhadap kaidah-kaidah persetujuan suatu
perjanjian/kontrakan, sahnya, atau sebab-sebab batal dan tidak sahnya. Rasulullah
saw. Bersabda (andaikan semua tuntutan manusia dikabulkan, maka semua orang
akan menuntut darah keluarganya dan hartanya). Berikut ini kaidah-kaidah umum
yang telah dikokohkan fuqaha syariat dan diamalkannya.
Kaidah
yang pertama: Pengukuhan dengan bukti sama kedudukannya pengukuhan saksi/orang.
Bukti keterangan
meningkat setara dengan saksi yang melihat langsung , karena tidak ada jalan
lain bagi pengadilan menjelaskan hak milik seseorang kecuali dengan petunjuk
yang dapat diterima dan masuk akal. Tanpa dalil akal ketika tidak ada juga
petunjuk materi, hak-hak menjadi hampa dan kehidupan manusia menjadi
rusak.kaidah ini memiliki cabang (keyakinan tidak bisa digantikan dengan
keraguan).
Kaidah yang
kedua: Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib
disampaikan oleh yang mengingkari/tergugat
Telah disampaikan
terdahulu bahwa pada dasarnya manusia jauh dari kesalahan dan dirinya lepas
dari tanggungan/utang, sehingga barangsiapa yang mengaku berbeda dari asas ini,
diharuskan mendatangkan bukti/keterangan.
Yang menjadi
dasar para fuqaha adalah hukum asal sesuatu itu adalah hukum sebelumnya selama tidak ada dalil yang merubahnya) atau(
bahwa yang lama itu dibiarkan sesuai dengan kondisi awalnya) namun,
dikecualikan hal yang merusak. Kaidah (kemudaratan tidak boleh lama) pada
pembahasan ini ada rinciannya, yaitu ada
dua macam sifat: sifat asli dan sifat yang datang)
Hukum asal
sifat asli adalah ada, dan hukum asal sifat yang datang adalah tidak ada,
sifat-sifat yang baru adalah dari langit seperti gila dan kurang waras, dan
yang diperoleh seperti kebodohan dan dungu. Sehingga barangsiapa yang mengaku
gila harus dengan bukti, karena kegilaan adalah sifat yang datang dan tidak
asli. Pada saat yang sama akal itu asli keberadaanya, pasti yang tidak membutuhkan
dalil.
Kaidah
yang ketiga: Hukum asal kejadian adalah Menyandarkan kejadian itu pada waktu
yang lebih dekat.
Apabila
ada seseorang mengaku mendapatkan hibah/pemberian, dan ahli waris pemberi hibah
memberi saksi bahwa hibah itu saat sakit kematian, sakit kematian itu lebih
dekat dengan kejadian, karena kematian berhubungan langsung dengan hibah,
sehingga orang yang diberi hibah harus membuktikan bahwa pemberian itu terjadi
saat pemberi hibah masih sehat.
Kaidah
yang keempat: Seseorang dituntut karena pengakuannya.
Bentuk-bentuk
penetapan bukti adalah pengakuan, keterangan, dan sumpah.
Pengakuan
adalah petunjuk yang paling kuat,dan
rasulullah saw telah mengajak kaum muslimin mengatakan yang benar walaupun
terhadap diri mereka, begitupun al-Qur'an menyeruh seperti itu(Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri )
Pengakuan
tidak memaksa kecuali orang yang mengaku, karenanya kaidah ini memiliki cabang (pengakuan
adalah bukti yang hanya berlaku bagi orang yang mengakuinya saja) saat yang
sama (keterangan adalah alasan hukum berdampak kepada orang lain)andaikan ada
seseorang yang mengaku memiliki utang pada beberapa orang, sebagiannya mengaku
dan yang lainnya tidak, maka pengakuan ini hanya berlaku bagi yang mengaku,
tapi kalau utang itu ditetapkan oleh penuntut maka ketetapan itu mewajibkan
semuanya baik yang mengaku maupun yang tidak.
Bukti adalah
kesaksian, perbincangan ini seputar jumlah saksi,kapan empat saksi (seperti
hukuman zina)dan kapan dua saksi,kapan satu saksi laki-laki dan dua perempuan,
dan apakah bolehsemua saksi itu perempuan, dan bolehkah keterangan itu diterima
dari seorang saksi saja, atau seorang saksi dan sumpah penuntut,dan apakah
kerangan itu bisa diterima oleh seorang perempuan, perkara ini tidak masuk
dalam pembahasan kita, cukup hanya sebagai isyarat saja.
Kaidah
yang kelima: Sumpah palsu lebih pantas ditolak daripada keterangan yang adil.
Bila
penggugat mengatakan tidak memiliki saksi-saksi, selanjutnya si tergugat
bersumpah, apakah setelah itu si tergugat boleh meminta saksi atau menyampaikan
keterangan setelah ia mengatakan tidak memiliki keterangan. Umar ibn al-Khattab
mengatakan (Sumpah palsu lebih berhak ditolak daripada keterangan yang adil) penjelasannya
adalah bila sumpah si tergugat tidak benar, tidak boleh dia diberikan hak. Pada
dasarnya sumpah itu adalah keterangan yang lemah, bila si tergugat kembali dan
memberikan keterangan kebohongan penggugat, tidak boleh ditolak permintaannya
walaupun mendatangkan saksi bahwa dia yang berhak, harus diputuskan.
Kaidah
yang keenam: Jika
terjadi tarik menarik antara sesuatu yang dicegah dengan sesuatu yang dituntut,
maka yang didahulukan adalah sesuatu yang dicegah(atau apabila kumpul antara
sesuatu yang halal dan sesuatu yang haram, maka yang dimenangkan adalah sesuatu
yang diharamkan.
Kaidah
yang ketujuh: Tidak bisa dijadikan alasan keterangan-keterangan
yang bertentangan, karena pertentangan adalah kesaksian yang berlawanan, alasan-alasan
tersebut menjadi berguguran, alasan-alasan bertolak belakang.
Kaidah
yang kedelapan: Siapapun yang berusaha membatalkan keinginannya
sendiri maka usahanya tersebut tertolak, ini adalah kaidah umum yang
penggunaannya tidak hanya pada interaksi, muamalah, dan penetapannya. Dan
merupakan cabang dari menepati janji (barang siapa yang membatalkan maka
sesungguhnya akibat pembatalan itu kembali kepada dirinya)
Keempat: Adat
atau urf
Sesungguhnya
adat atau urf keduanya adalah sumber undang-undang sebelum adanya undang-undang
yang tertulis, tidak ada keputusan hukum kecuali yang telah berlangsung dalam
kehidupan manusia, dan dalam muamalah mereka kedudukan adat dan urf dalam
aturan manusia tidak hilang kecuali sedikit. Undang-undang masih merupakan anak
dari adat dan urf. Keduanya tumbuh dan menetap, kemudian perkembangan
undang-undang bersumber dari asas keduanya. Manusia mengira bahwa adat dan urf
telah selesai masanya dan peranannya sudah berakhir, faktanya tidak seperti itu.
Sungguh
syariat Islam menaruh perhatian terhadap peranan adat, dan sungguh Imam Malik menganggap
perbuatan penduduk Madinah konsensus yang memadai dan dalil syari‘i ketika
tidak ada teks. Dan kebanyakan perbutan penduduk Madinah adalah urf dan adat
yang telah menyebar di tengah masyarakat. Ibn Nujjaim mendefinisikan adat
dengan mengatakan (adat adalah sesuatu yang menetap dalam hati berupa perbuatan
yang terjadi berulang-ulang serta diterima oleh tabiat yang sehat) dan di antara
hadis Rasulullah saw. (apa yang dipandang orang muslim baik maka baik pula
di sisi Allah) dan di antara kaidah umum tentang adat ialah:
1.
Adat adalah
aturan dan bisa menjadi hukum
2.
Sesuatu yang
telah diketahui secara umum hukumnya sama dengan syarat yang disyaratkan.
4.
Hakikat
diabaikan dengan adanya petunjuk adat (kekeliruan yang masyhur lebih baik
daripada kebenaran yang ditinggalkan). Adat diklasifikasikan dalam tiga
aspek, yaitu:
a.
Adat syar’i
merupakan kebiasaan yang terbentuk berdasarkan syariat yang berhukum tetap
sebagaimana syariat, seperti menutup aurat ketika beribadah.
b.
Adat yang
dikontradiksikan dengan ibadah sehingga adat bermakna sama dengan muamalah,
seperti mas kawin.
c.
Adat yang
berarti kebiasaan umum manusia, baik yang tetap maupun yang berubah-ubah,
seperti gairah makan dan minum atau cara berpakaian.
Sumber:
Fathi> Rid}wa>n, Min Falsafah
al-Tasyri>‘ al-Isla>mi>. Da>r al-Kita>b. Bairut
Abdul
Aziz, Chiefdom Madinah:Salah Paham Negara Islam. Cet. I; Jakarta: 2011.
Pustaka Alfabet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar